My Read Lists

Jumat, 28 Desember 2012

Lewat Mata Lensa

"Mbak, orang yang biasa di saung nomor 13 nggak dateng?" tanyaku pada si pramusaji.
"Enteu Neng, udah dua hari ini dia nggak keliatan." si pramusaji menjelaskan, menyodorkan buku menu padaku. Aku menolaknya.

"Pesen yang kaya biasa aja mbak."
"Oh, uluketeuk leunca ya neng. Sama bandrek, terus pepes ikan nila?" si pramusaji mengulang pesanan ku setiap makan siang. Aku mengangguk. Dia berlalu dari hadapanku.

Ya, aku sangat menyukai masakan Sunda di restoran ini. Dengan desain yang sangat Sunda, menggunakan saung dan aku bisa menikmati makan siangku sambil melihat pemandangan sawah. Hampir setiap hari aku menikmati santap siang ku. Sembari menunggu pesananku datang, aku selalu mencuri-curi foto disekitar saung dengan kamera profesional yang selalu ku bawa. 

Dan, sampai pada akhirnya aku melihatnya disini, di tempat yang sama. Dia selalu menempati saung lesehan nomer 13, ditemani oleh secangkir kopi. Dia menerawang, memandang ke sawah diseberang. Kemudian menggoreskan pensil pada buku sketsa dihadapannya.
Pertama kali aku menangkap sosoknya, tentu saja lewat lensa kamera ku. Aku agak lupa kapan tepatnya, mungkin sekitar satu bulan yang lalu. Saat itu dia memakai jeans abu-abu, dan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai siku.
 
Dia tidak terlalu tampan, tapi tidak bisa dibilang jelek juga. Kulitnya yang sawo matang, matanya agak sipit, bibirnya tipis berwarna merah muda.
Setelah aku amati, sepertinya dia setiap hari ke saung ini. Ya, setiap aku makan siang, aku selalu mendapati sosok yang sama di saung nomor 13 itu. Dengan secangkir kopinya, dan tentu saja buku sketsanya. Sungguh aku sangat penasaran, sketsa seperti apa saja yang sedang dia buat. Masa iya setiap hari dia membuat sketsa pemandangan sawah diseberang saung? Di buku sketsa setebal itu?
Ingin rasanya aku memberanikan diri, mendatangi tempat dimana dia sedang menggambar, berkenalan. Tapi rasanya  aku tidak seberani itu. Sampai saat ini aku hanya berani memperhatikannya lewat kamera ku. Mata kedua ku.
Hanya saja sudah 3 hari ini aku tidak melihatnya, entahlah. Mungkin dia bosan harus memandangi dan menggambar pemandangan yang sama.

 ***

Setelah hampir 3 bulan aku tidak melihatnya, aku mendapati sosok itu lagi. Hanya saja sekarang dia menempati saung nomor berapa aku tidak tahu, bukan di nomor 13 lagi. Yang aku heran, kenapa dia selalu ada sebelum kehadiranku. Ingin rasanya aku melihat saat pertama kali dia datang dan memilih di saung mana dia akan menggambar lagi. Tak apa lah, aku jadi bisa mengamatinya lagi, dari kejauhan. Lewat kamera lagi tentunya.

Pernah berulang kali aku menggunakan fasilitas kamera agar aku bisa mencuri foto apa yang sedang dia gambar. Tapi sulit sekali, sampul dari buku sketsa selalu dia gunakan untuk menutupi sketsa-sketsanya. Ah, hampir aku mati penasaran dibuatnya. Mungkin karena aku biasa menangkap semua gambar-gambar yang aku inginkan, menyimpannya dalam mata lensa kamera ku. Ya, aku sangat menyukai tema human interest. Sehingga aku hampir menjadi seperti paparazzi, tapi kenapa yang satu ini sulit sekali. 

Dia benar-benar misterius, dan aku penasaran karenanya.

***

Hampir tiga bulan ini aku tergila-gila karena laki-laki itu. Si pembuat sketsa, si misterius yang sungguh ingin sekali ku kenal. Aku ingin sekali bisa berbincang dengannya, duduk disampingnya, melihatnya menggambar. Tapi masa cewek dulu sih yang ngajakin kenalan? Kan malu?
Tapi, aku lelah hanya bisa mengamatinya lewat kamera seperti ini terus. Aku ingin benar-benar bisa berinteraksi langsung dengannya. 
Sampai pada suatu saat, aku beranjak dari tempat dudukku. Aku seruput jus manggaku, kemudian menghela nafas. Memberanikan diri, melangkah menuju saung dimana dia sekarang sedang menggambar. Namun, tinggal 5 meter lagi aku sampai, dia beranjak dari duduknya. 

Oh tidak, aku malu. Aku kembali berbalik arah dan kembali menuju saung tempat dudukku semula. Jantungku berdebar cukup kencang saat itu. Sayangnya saat aku berbalik melihatnya, dia telah pergi. Aku hanya bisa melihat punggungnya, saat dia berjalan meninggalkan restoran. Aku ambil foto punggungnya. Aku tersenyum memandang foto yang baru saja aku ambil, punggungnya bagus. Tegap, yang hari ini memakai kemeja warna biru tua. 
Aku heran, bagaimana bisa? Aku baru pernah melihat foto tampak belakang dari seseorang yang menurutku, indah.

***

Aku telah memutuskan, hari ini aku harus berani untuk mendatanginya, berkenalan dengannya. Sudah hampir mau meledak rasanya memendam rasa penasaran ini. Bosan aku harus menguntitnya setiap hari. Tapi...
Kenapa aku sampai sepenasaran ini ya? Apa iya cuma karena ingin melihat gambar sketsanya? Atau karena orangnya? Entahlah..

***

Ahh, kecewa aku.
Hari ini dia malah tidak datang. Disaat aku sudah mengumpulkan keberanian untuk menemuinya, kenapa dia malah tidak memunculkan batang hidungnya?
Baiklah, hari ini aku belum beruntung. Mungkin aku mesti mencoba lagi besok. Seperti sedang menggosok undian berhadiah saja.
Saat ku langkahkan kakiku meninggalkan saung yang ku tempati, Seorang pramusaji memanggilku.
"Neng, tunggu."

Aku berbalik, dan mbak pramusaji mengejarku. Dia memberikan sebuah buku, buku sketsa lebih tepatnya.
"Ini neng, ada yang nitipin buku ini untuk neng."
"Nuhun." Aku menerimanya, lalu segera meninggalkan restoran.


***

Aku terhenyak saat membuka lembar demi lembar buku sketsa yang aku pegang saat ini. Ini miliknya. Milik laki-laki yang aku sendiri tidak tahu siapa namanya. Tapi aku penasaran karenanya.
Dan yang lebih membuatku terkejut, isi daripada buku sketsanya adalah sketsa ku. Ya, seluruhnya sketsa ku. Sketsa saat aku baru saja memasuki saung, sedang memesan makanan, sedang makan, sedang menyedot jus apa lah aku lupa, sedang menyendok bandrek, sedang melihat hasil jepretanku, dan saat melihatnya. Semuanya terekam indah di buku sketsanya, dibuat langsung oleh tangannya.

Bagaimana mungkin? Ternyata dia telah lebih dulu mengetahui aku, mengamati aku, dan merekamnya dalam goresan-goresan indah ini.
Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi. Semoga saja besok aku dapat bertemu dengannya.

***

Sudah hampir lebih dari dua jam aku menunggu kehadirannya, tapi dia belum muncul juga. Aku harus menunggunya. Aku ingin mengucapkan terimakasih atas seluruh goresan tangannya yang indah itu.
Untuk membunuh rasa bosan menunggu kedatangannya, kembali aku meraih kamera ku. Aku potret beberapa kejadian, seperti saat seorang pengunjung sedang menyeruput kopi panas dihadapannya, lalu seorang ibu yang membantu anaknya mencuci tangan selepas makan siang kali ini.
Kemudian, lewat mata lensa ini lagi, aku menangkap sosoknya lagi. Aku terkesiap. Dia datang, mengenakan jeans hitam, kemeja abu-abu, seperti biasa digulung sampai siku.

Sejenak otakku berfikir, bagaimana bisa dia merekam semua kegiatanku saat di saung? Padahal waktu itu aku seperti belum melihatnya, atau lebih tepatnya saat aku melihatnya, dia terlihat sibuk sekali memandang dan menggoreskan pensilnya. Sepertinya dia tidak pernah sekalipun menyadari keberadaanku, apalagi memandangku.
Ahh sudahlah, lebih baik aku segera menghampirinya. Dan menanyakannya langsung.

"Hai, boleh duduk disini?" Aku memberanikan diri menyapanya, menghampiri saung dimana dia berada. Dia hanya tersenyum dan mengangguk. Sepertinya dia sedang mendengarkan musik, terlihat dari earphone yang terpasang di telinga kirinya.

Aku terdiam cukup lama, kemudian merogoh isi dalam tas ku. Mengeluarkan buku sketsa miliknya, lalu menyodorkannya.
"Ini, milik kamu?"

Dia hanya tersenyum dan mengangguk. Aku baru pernah melihat mata seindah itu. Selama sepersekian detik aku terbius oleh tatapannya.
"Errr... Gambarnya bagus sekali, apa ini untukku?" aku bertanya sekali lagi, masih berbasa basi. Sumpah, saat ini posisi duduk ku nggak nyaman banget, aku grogi saat menatapnya. 

Lagi-lagi dia hanya mengangguk, lalu tersenyum.
Aku mulai bingung, kenapa dia belum mengeluarkan sepatah kata pun?
Atau dia sedang batuk? Suaranya serak? Atau mungkin radang tenggorokan?

Sesaat kemudian datanglah mbak pramusaji, menyodorkan buku menu kepadanya. Dia hanya menunjuk tulisan "HOT CHOCOLATE". Oh, aku baru tahu sekarang, ternyata yang selama ini dia minum bukan kopi, melainkan cokelat panas.

Sembari menunggu pesanan kami datang, aku dan dia hanya saling berdiam diri. Oh ya, aku sampai lupa. Aku belum memperkenalkan diri.

"Err, namaku Iko." Dia cuma tersenyum, lalu mengambil handphone. Mengetik sesuatu, lalu memberikannya padaku. Tertera di layar, "NANDA".
Aku tersenyum, namanya bagus. Nanda, sesuai sama wajah dan perawakannya yang lumayan tinggi. Tapi, masih ada yang mengganjal. Kenapa dia belum mengeluarkan sepatah kata pun?

"Kamu lagi sakit?" Dia hanya menggeleng.
"Terus kenapa kamu dari tadi nggak ngomong?" tiba-tiba raut wajahnya berubah. Dia memandang ke arah sawah diseberang saung. Masih terdiam. Aku merasa tidak enak.

"Ya udah, maaf. Kalo kamu nggak bisa jawab nggak papa. Aku pergi aja ya, maaf udah ganggu waktu kamu. Makasih banget untuk gambar-gambarnya." Aku mengambil buku sketsa yang diberikan olehnya, lalu beranjak dari dudukku. 

Tiba-tiba tangannya mencengkeram lenganku, mencegahku untuk pergi dari situ. Aku menoleh, memandangnya. Tatap matanya seolah-olah menyuruhku untuk tetap duduk disitu. Aku pun mengurungkan niat untu pergi. Tak lama, pesanannya datang. Dengan segera dia menyeruput cokelat panasnya. Kemudian meraih handphonenya lagi, mengetik sesuatu. Memberikan handphonenya kepadaku.

"AKU BAKAL NGOMONG, ASAL KAMU JANJI SATU HAL. KAMU MASIH MAU JADI TEMENKU."

Aku tersenyum dan mengangguk. Dia mengambil lagi handphonenya. Kemudian, senyumku memudar.

Dia menggerakkan tangannya di ruang kosong, yang jelas aku tidak tahu apa maksudnya. Hanya saja saat dia melakukannya, suaranya tidak jelas, Ya, dia menggunakan bahasa isyarat. Dia seorang tunarungu dan tuna wicara. Earphone itu ternyata alat bantu dengar. Seketika duniaku terasa gelap.

Kamis, 27 Desember 2012

Tentang Ann

Well..

Kayaknya lama nih aku nggak nulis biografi tentang orang-orang disekitarku, terutama sahabat-sahabatku. Hmm, lebih tepatnya bikin sebuah postingan yang isinya full nyela itu orang.. :) #terdengar suara tawa bu Matsuzaka

Kali ini, orang beruntung yang bakal aku tulis biografinya adalah Annis Fitri Zamzami. #tersenyum jahat

Gadis yang... ehh bentar, prolognya rada nggak enak. Dia lebih pantes disebut anak perempuan, bukan gadis. Karena eh karena, kelebihannya yang memiliki tubuh semampai alias semeter tidak sampai membuat dia terlihat lebih pantes kaya anak SMP dibanding mahasiswa tingkat akhir yang masih mumet mikirin kapan skripsinya selesai. Ya iyalah nggak selesai-selesai, secara kerjanya ngeblog sama bikin fiksi mulu ketimbang berkutat sama questionaire dan draft skripsinya. #ehh, kayaknya celaan ini lebih baik buat main paragraph ajah

wajah Ann yang sangat menipu
Oke, kita ulangi lagi. Anak perempuan yang dilahirkan pada tanggal 5 Juni 1991 (yaa, dia emang lebih muda setahun dari ku) ini CUKUP unyu. Cuma "CUKUP" loh ya, sekali lagi aku tegaskan. Karena dia nggak akan pernah bisa menandingi keunyuanku.. hahahaha #ehh, kenapa jadi gue yang najis? ehh, narsis maksudnya

Body-nya yang semampai (sekali lagi aku tekankan, semampai disini is abbreviation of semeter tidak sampai), yaa sekitar 150-an cm mungkin, secara aku belum pernah nemenin dia ukur tinggi badan. Dia selalu menolak kalo aku ajakin ukur tinggi badan, aku nggak tau kenapa. Apa mungkin dia phobia sama meteran pengukur tinggi badan?? Aku nggak tau juga. Ntar aku bakal selidikin lagi.

Ohh ya, wajahnya sii menurut aku serasi banget sama tinggi badannya. Dia jadi keliatan kaya anak SMP ketimbang mahasiswa tingkat akhir yang masih mumet mikirin kapan skripsinya selesai. Ya iyalah nggak selesai-selesai, secara kerjanya ngeblog sama bikin fiksi mulu ketimbang berkutat sama questionaire dan draft skripsinya. #kayaknya udah pernah baca kalimat ini tapi dimana ya?

wujud asli Ann
Herannya, dia malah bangga dengan wajahnya yang menipu sangat itu. Padahal, kalo ditilik sama umurnya yang udah 21 tahun itu, pantesnya dia udah keliatan dewasa dengan memakai pakaian wanita dewasa macam rok atau blouse. Ya paling banter dia pakenya kemeja. Tapi sepertinya dia udah minder duluan karena itu nggak bakalan sesuai sama tinggi badan dan wajahnya itu. So, dia selalu lebih nyaman dengan memakai T-shirt, jeans, sama sneakers. Persis lah sama pakaian-pakaian ababil gitu. #padahal sendirinya juga lebih sering pake pakaian gitu

Annis itu gimana yaa?? Aku kenal dia pas ada perekrutan anggota ESA (English Students Association) di semester kedua. Udah gitu kenalannya klasik banget, pake dialog:

pose najis gue & Ann
Annis: "Eh, aku Annis. Kamu siapa?"
Pipit: "Hai, aku Pipit."

Berarti udah hampir 4 tahun aku kenal sama dia. Awal aku akrab sama dia yaa karena di ESA itu, karena sering ada rapat sama kegiatan. Soalnya aku sama dia beda kelas, makanya awal masuk kuliah aku belum kenal sama Annis. Mungkin karena jadwal kuliah antara kelasku dan kelasnya jarang ada yang bareng, terbukti aku pertama kali ketemu dia ya pas perekrutan ESA itu. Atau mungkin aku yang nggak terlalu merhatiin dia kali, secara waktu itu dia nggak penting buat diperhatiin dan nggak jadi pusat perhatian. ahahahha.. :D

Gara-gara sering kumpul di ESA, aku sama Annis malah bener-bener jadi akrab. Setelah selesai dua kali masa jabatan kepengurusan di ESA, kita masih akrab dan menjalin hubungan persahabatan yang baik sampai sekarang. Dia udah terlalu banyak menularkan virus KPOP sama aku. Sampe-sampe aku ikutan freak sama yang namanya Drama Korea dan boyband girlband Negeri Ginseng itu. Kalo Drama Korea sii sebenernya udah suka dari SMA, tapi gara-gara Annis aku jadi tau kalo banyak cowok cakep dari Korea yang bisa nyanyi dan nari macem SHINee, 2PM, B2ST, JYJ, TVXQ, Bigbang, etc. Aku juga sampe minta ajarin gimana caranya baca dan nulis huruf Korea yang mirip kaya donat itu, dan hasilnya.. sekarang banyak yang lupa.. hehe #maap yak

Annis juga freak banget sama yang namanya Power Rangers, heran aku udah segede itu masih suka nonton gituan. Aku aja udah banyak yang lupa.. ahaha :D

Dulu waktu aku masih ngekost, dia sering main dan tidur bareng aku. #ini nggak seperti yang kalian bayangkan. Kadang cuma sekedar nonton film bareng, dan ujung-ujungnya ngetawain itu film bareng-bareng juga. Yaa, kita berdua freak sama yang namanya film. Mulai dari film Korea, Indonesia (tapi bukan film horor yang sebenarnya sama sekali nggak horor karena cuma pamer dada dan paha mulu), Thailand, Hollywood, sampe Bollywood juga kita jabanin. #inget nggak nis kita nyampe apal dialog pidatonya Chatur Ramalinggam di 3 Idiots??? :D

foto bareng Ann setelah makan chicken steak dengan biadab
Ohh yaa, kita juga punya hobi yang sama, yang disebut dengan MAKAN. Mulai dari makan mie ayam, bakso, steak, nasi+ayam bakar, es krim, sampe snack sepanjang masa berbentuk mirip jaring dengan gambar khas anak laki-laki bertopi. Walaupun kita berdua kurus, untuk urusan makan kita berdua nggak bisa diremehin. Karena sebenernya kita memelihara seekor singa didalam perut, sampe-sampe kita selalu kelaparan dan rasanya ingin selalu mengunyah. Yang bikin heran, semua itu pergi entah kemana. Aku juga masih ajeg kurus, dan Annis juga nggak tinggi-tinggi, ajeg segitu aja. #sedih

Annis itu anaknya cuek, tapi bukan berarti nggak peduli. Cuek dalam artian yang positif, kaya sama orang yang kasih pengaruh nggak baik dalam hidupnya, atau sama hal-hal yang nggak penting, mirip lebay-lebay gitu laa..
Dia anaknya easy going, tapi bukan berarti nggak bisa serius dalam mengerjakan sebuah hal. Kalo dia udah dikasih kepercayaan untuk ngurusin satu hal, dia bakal kerjain dengan penuh tanggung jawab dan nggak main-main.
Dia juga temen yang baik, aku sering minta bantuannya tentang masalah grammar yang sebenernya nggak aku kuasain. Dia sering kasih aku benda-benda yang bener-bener sesuai dengan kesukaanku. Dia kasih aku bros dan celengan kucing. Dia bener-bener tahu banget kalo aku suka kucing. Annis juga pernah kasih aku mangga yang dia petik dari pekarangan rumahnya sendiri, tapi sayang mangganya asem. Aku berharap kalo pohon mangganya berbuah lagi, aku bakal dikasih yang manis. #aku nggak tau apa maksudnya dia ngasih mangga asem itu, apa mungkin dia benci banget sama aku sampe-sampe pingin bikin aku mati karena diare
Annis itu menyenangkan, yaa walaupun dia sering nyela aku. Tapi dia tahu kalo aku orangnya nggak marah kalo dicela-cela gitu, secara yang dia cela itu bener.. aaaaaarrrggghhh #gigit Annis dengan biadab

Mau nulis apa lagi yaaa tentang Annis??

Ohh ya hampir aja lupa, karena Annis juga passion writing aku muncul lagi. Aku suka nulis udah dari SMA, hanya saja kegiatan itu mandeg cukup lama sejak aku mulai kuliah. Lalu dimulailah postingan cerpen Annis yang salah satu tokoh fiksinya itu melibatkan aku, waktu itu dia posting di note facebook, belum di blog. Beberapa cerpen iseng dan postingan blog-nya melibatkan aku sebagai tokohnya, entah sebagai tokoh utama maupun sekedar figuran. Tapi semuanya sukses bikin aku terbahak, dan postingannya yang terakhir kemarin membuatku tersenyum penuh arti. #you know what I mean Ann :)

Annis teman dan sahabat yang bisa dipercaya, makanya aku suka curhat sama dia. Walaupun dia lebih sering menjadi pendengar yang baik ketimbang si pemberi solusi, tapi aku seneng. Dia juga bukan anak yang suka galau dalam waktu yang lama dan karena hal yang nggak penting. Rasanya aku nemuin orang yang karakternya hampir sama denganku, makanya Annis udah bukan aku anggep sebagai temen atau sahabat lagi, melainkan adik. Semoga aja hubungan persaudaraan ini akan terus terjalin sampai kapanpun, kamu mau kan jadi adikku Ann??? :)

*semoga aja dia nggak tau maksudku sebenarnya untuk menjadikannya adik tiri yang nantinya bisa aku suruh-suruh #suara hati :) :) :)

Cuma pingin curhat..

Nggak kerasa tahun 2012 udah tinggal menghitung hari lagi..

Udah 22 tahun menghirup udara yang gratis ini, menginjak bumi yang indah ini, melewati suka duka canda tawa serta lara. Bertemu dengan berbagai peristiwa, orang-orang yang datang silih berganti dalam hari-hari yang terlewati dan masih dijalani sampai saat ini.

Jadi inget, dulu waktu baru lulus SD aku mesti ikut sama budhe. Yaa, waktu itu ortu kepingin aku masuk ke SMP favorit di kabupaten. Well, aku pasrah. Saat itu berpikir bahwa ortu ku jahat, aku masih 12 tahun meeeeenn.. Aku masih polos, nggak tau apa-apa, terus mesti pisah gitu dari Mom and Dad? Hhh.. #deep sigh

Hari-hari aku jalani dengan stress karena aku sering keinget ortu, terutama Mom. Disekolah pun ada aja masalah sama temen, sampe-sampe aku lebih milih untuk sendirian, nggak punya temen. Nilai jeblok, pernah ada yang merah. Haha, mungkin itu saat-saat paling nggak enak dalam hidupku.
Tapi banyak yang nyenengin juga sih, apalagi pas tahun pertama dan kedua. Mungkin karena childhood di sekitar rumah budhe menyenangkan. Mereka kebanyakan masih SD saat itu. Hahaha, iya aku mainnya sama anak SD. Main petak umpet, main layangan, main kartu, main gobag sodor, macem-macem lah. Padahal aku udah kelas 2 SMP dan temen-temenku masih kelas 3, 4, 5, dan 6 SD. (Iya ga papa, ketawa aja)
Memasuki tahun ketiga, semuanya membaik. Prestasiku, hubunganku dengan teman-teman baru ku, intinya aku ngerasa lebih bebas dan nggak tertekan. Mungkin karena udah mulai fase pendewasaan kali yaa, jadi ababil. hahaha.. :D

Terus, pas SMA aku disuruh Mom untuk pulang. Aku bahagiaaaa... :D
Akhirnya setelah 3 tahun kangen tidur bareng sama Mom, aku pulang lagi deh.

Masa SMA tuh masa paling indah buatku. Ngrasain yang namanya cinta pandangan pertama, cinta pertama, persahabatan yang sampe sekarang masih terjalin dengan baik. Selama SMA, kayaknya nggak ada yang nggak nyenengin. Ehh.. Ada ding, ya masa-masa labil putus sama si pacar, diselingkuhin.. #nyesek

Then, tibalah saatnya aku menjalani status sebagai seorang mahasiswa. Yeeeyy.. aku udah punya KTP, lalu menyusul SIM. Senangnyaa.. :)
Sebagai mahasiswa, aku mesti ngekos. Pisah lagi deh sama Mom and Dad. Nggak papa, kan udah 18 tahun. Menyenangkan sekali punya keluarga kedua (baca: temen-temen kos). Hmm,, bikin peralatan syarat OSPEK bareng-bareng, laper dan makan juga bareng, tidur juga kadang bareng, ketawa, nangis pun pernah bareng. Mereka bener-bener amazing.
Ohh ya, temen-temen di organisasi ESA (English Students Association) dan temen lain Prodi di BEM juga menakjubkan. Dari mereka aku bisa dapet banyak ilmu, kayak English Debate, intinya berbagai macam tentang Bahasa Inggris lah. Kalo dari temen lain Prodi, bikin aku ngerti gimana caranya mengkoordinasi berbagai macam hal untuk menyukseskan sebuah event. Dan yang pasti, nambah saudara.


Ketika menjadi mahasiswa inilah, aku menemukan sahabat-sahabat yang luar biasa. Sahabat yang sampai saat ini dan kuharap selamanya akan terus bertahan menemaniku dalam suka dan duka. Bukan hanya sekedar teman yang mendekat disaat butuh saja.
Alhamdulillah, setelah melewati 8 semester yang menakjubkan di kampus biru itu, pada akhirnya aku menyandang gelar sarjana.

Ya, saat ini aku berpikir. Semua peristiwa yang telah aku lewati semua itu, membuatku menyadari bahwa setiap orang pasti tumbuh dewasa. Hanya saja, tidak semua orang akan bisa berpikir, berucap dan bersikap dewasa. 

Saat aku SMP, aku berpikir bahwa ortu jahat dan tega sekali sampai harus memisahkan aku. Kenapa juga saat aku sekecil itu, aku harus sekolah ikut sama budhe? Kini aku tahu, ternyata itu supaya aku bisa mandiri. Ya, aku memang anak tunggal. Namun kedua orang tuaku tidak ingin saat mereka tidak lagi bisa mendampingiku, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku harus bisa menjadi seseorang yang mandiri, memiliki prinsip yang kuat dan tegas.
Ketika SMA, dikhianati sama si pacar tentu membuatku sangat membencinya. Sekarang aku tahu, bahwa kepercayaan, kejujuran, dan kesetiaan itu mahal harganya.

Sampai saat ini, aku menyadari begitu banyak hal yang bisa aku ambil hikmahnya. Menjadikanku pribadi yang lebih baik lagi tentunya, karena melakukan kesalahan, kemudian sadar dan memperbaikinya. Menemukan pengetahuan dan pengalaman baru yang mungkin tidak akan pernah aku temui jika aku hanya di rumah saja.
 
Yaaah... intinya, sekarang udah 22 tahun terlewati. Banyak pelajaran hidup yang udah didapet. So, aku mesti lebih bijaksana lagi. Dewasa tentunya. Mesti lebih bisa mengendalikan ego, nggak semaunya sendiri. Kita tuh hidup nggak di hutan meeen, kita hidup di ranah sosial. Jadi mesti mikirin dampak ke orang-orang disekitar kita. Ok..



Sabtu, 22 Desember 2012

What a wonderful Dieng Plateu..

Well.. setelah hampir satu bulan nggak bikin postingan, akhirnya aku buka juga nih blog. Masih bingung dengan ending "Kehilangan Rasa Kehilangan" sih sebenernya, tapi daripada nggak nulis apa-apa jadi mending aku tulis liburan ku bareng sepupu ke Dieng sekitar 3 hari yang lalu. Cekidot..!!
Dari kanan atas ke bawah: Bella, adiknya Bella,Iko, Meli, Ivana, Salim, Annis, Yosi, Yeyen, Endri, Akuuu, mas Aris..



Hmm.. perjalanan dimulai hari Rabu, 19 Desember 2012. Aku sama sepupuku yg bernama Annisa a.k.a Annis / Nisa (ini bukan Annis Fitri Zam zami temen aku yg somplak itu loh yaaaa) berangkat kerumah temennya dulu yg bernama Bella. Yaa, disana udah kumpul semua temen2nya, such as Bella bersama ayah bundanya, tantenya, mas Aris dan kedua adiknya di mobil Daihatsu warna ijo. Then ada Salim, Yeyen, Endri, Ivana, Yosi, Iko, Meli, dan pastinya sepupuku si Annis itu tuuh.. Oh yaa, nggak lupa si supir yaitu mas Joko tak u..uu... di mobil Avanza putih. #gue sukses berdesak-desakkan disini bersama dengan Ivana, Endri dan Yeyen yg notabene badannya WOW banget deeeh... heran gue, kok bisa anak SMA tingkat kedua badannya bisa sesubur itu..ckck

on the way Dieng Plateu
Singkat cerita, jam 9 tet kita semua berangkat deeeh meninggalkan Kota Purwokerto Satria ini. Voila... 3.5 jam melewati kota Purbalingga, kemudian Banjarnegara dan Wonosobo, menikmati pemandangan dikanan kiri jalan yang penuh dengan perkebunan kentang dan wortel, ditemani dengan kabut yang perlahan turun.. keren deeh pokoknya (baca: serem, soalnya itu jalan belak-belok plus kanan kiri mirip jurang gitu..berasa naik roller coaster lah pas udah mau deket sama tempat tujuan)





sore hari di balkon homestay
Akhirnyaaaaaaaa.... sekitar jam setengah 1 an nyampe juga di Dieng Plateu, transit dulu di homestay Lotus, yaa... ngangetin badan dulu dengan minum susu coklat anget, kopi atau jahe yg udah disediain sama ibunya Bella #makasih tante, setelah lumayan kedinginan disambut dengan gerimis mengundang #halah, kabut sutra ungu #halah lagi, dan tentunya udara yang menusuk tulang.. Nggak tau deh itu kemaren nyampe berapa suhunya, mungkin bisa sekitar 13 derajat Celcius. brrrrrrr... >_<



 

Then, sekitar habis ashar, kita capcuuss ke lokasi Komplek Candi Pandawa.. padahal cuaca sedikit nggak mendukung, soalnya masih gerimis, kabut, dan tentunya itu udara rada nggak enak di pernafasan.. penuh embun gitu lah. But it's okay, takutnya besok nggak keburu kesono sii, jadi walaupun ujan badai pun kita terjang.. #halaaah

pelataran Kompleks Candi Pandawa

Melewati perkebunan kentang dan wortel, nyampe juga deh di kawasan Komplek Candi Pandawa. Ternyata setelah kabut menyeruak, perlahan terlihat bangunan-bangunan megah yang dulu cuma bisa aku liat di buku paket IPS Sejarah waktu SD-SMP. Kereen beeeeuuudd... :D

Yaa... pokoknya di Kompleks Candi Pandawa tuh banyak candinya gitu, agak mirip sama kompleks Candi Prambanan. Ada candi Arjuna, Puntadewa, de el el. Banyak banget, aku juga nggak datengin semua tuh candi, karena gerimisnya udah semakin deras. Tangan sama kaki udah kedinginan juga, ehh masih aja tuh temen-temennya si Annis minta di fotoin disini lah, disitu lah.. #susahnya kalo punya keahlian bisa motret dengan sudut pandang yang bagus gini nih ckck...

salah satu candi di Kompleks Candi Pandawa, lupa namanya..
Setelah pulang dari keliling kompleks Candi Pandawa, kita semua balik deh ke homestay buat mandi, makan dan istirahat, nyiapin fisik buat jalan-jalan ke Telaga Warna sama Kawah Sikidang besok. Eeeiiitss,, bentar, sebelum balik ke homestay, kita sempet mampir beli oleh-oleh dulu ding. Taraaaaaaaaaa.... aku beli manisan buah carica, ya sebenenya sii nggak yg istimewa-istimewa banget, di supermarket Purwokerto pun ada. Cuma yaa, buat pantes-pantes aja, masa habis liburan kesini nggak bawa apa-apa pas pulang. hoho

Selesai mandi pake air anget, masih aja kedinginan. Akhirnya aku inisiatif buat nyari bakso sama Annis dan temen-temennya, yaa biar rada anget lah ni badan.. setelah berjalan mungkin sekitar 400 meter, kita nemuin lah itu warung bakso. Yaa, sebenernya itu bakso nggak enak-enak banget, boleh dibilang keasinan #jangan-jangan itu campur keringat penjualnya? hiii... Tapi mau gimana lagi, rada laper plus pingin yang anget-anget juga, ya kita makan dengan biadab juga deh tu bakso.

Malemnya, aku kedinginan. Brrr... padahal mungkin suhunya nggak nyampe minus, tapi aku sampe kedinginan banget. Jaket juga udah tebel, mandi juga udah pake air anget, tapi masiiih aja kedinginan. Walhasil, malemnya berbekal dengan selimut dan bed cover, aku meringkuk dengan indahnya. Pun masih nggak bisa tidur, secara bau belerang mulai menyeruak memasuki homestay. Aaaarrrghhh... >_<
Hidung mulai mampet, nggak bisa napas, tidaaaaaaaaaakkk... mamaaaa.... aku kena flu..!! Kenapa harus kena flu disaat liburan kaya giniiii...??? #jambak rambut

pagi hari di balkon homestay
Keesokkan harinya, -setelah semalaman berjuang untuk bisa tidur, sampai berulang kali terbangun, mungkin karena ditempat asing dan amit-amit dinginnya- aku bangun dengan mengidap flu berat.. hadeeehh.. padahal udah jaketan, pake jilbab, celana training dan tak ketinggalan kaos kaki, masih aja dingin banget.. Berhubung aku liat itu matahari udah nongol dengan indahnya, aku keluar deh di balkon homestay. Dan.... subhanallah, pemandangan kemaren sore yg berkabut kini berubah..tuh liat sendiri di foto sebelah kiri.. :D




kompleks candi pas pagi hari
Well, setelah lumayan lama berjemur di balkon homestay dengan pemandangan tuh foto diatas, badan lumayan jadi anget.. siap-siap deh mandi, dan beres-beres sebelum check out. Eiittss,, kamera ku malah di pinjem sama Salim, dia mau balik lagi ke Candi sama Meli, Bella, Yossi dan Endri. Okeeh,, dan begini ini nih hasil jepretannya, bagus juga ternyata pemandangan candi pas nggak berkabut.
Nyesel euuuy nggak kesono pas pagi-pagi, yah mau gimana lagi mesti packing sebelum check out juga, ribet ihh..



Telaga Warna
Setelah packing selesai, kita semua sarapan dulu. Aku cukup minum jahe anget sama makan nasi dan mie goreng hehehe.. Dan, tiba saatnya buat check out dan melanjutkan perjalanan ke Telaga Warna dan Kawah Sikidang. Voilaa... keren banget deh yg namanya Telaga Warna.. nggak bisa ngomong apa-apa deh..
Tuh kan, liat ndiri bagus bangeeet... itu sebenernya nggak tau telaga beneran atau kawah. Soalnya itu bau belerang banget, terus nggak ada ikannya juga. Hahahaha,, bego banget aku yak, gimana bisa ada ikan hidup di kawah yang ada kandungan belerangnya??? ckck


Bareng Lea
Ohh iya, belum lama setelah dateng ke Telaga Warna, adalah dateng sekeluarga turis dari Switzerland. Mereka ada 4, yang 3 cewek yang 1 cowok. Kayaknya sii mereka satu keluarga gitu. Well, unfortunately aku cuma bisa ngobrol bentar sama anaknya yg namanya Lea, sama adiknya yang nggak sempet kenalan. Habis mereka keburu-buru gitu udah ditinggal sama emak bapaknya. Kata si Lea, pemandangan di Telaga Warna lebih bagus ketimbang di Swiss.. Hahaha, ngakak saya, padahal jelas-jelas pemandangan di Swiss jauh lebih indah.. ckck


Kawah Sikidang in action :)
Yaa... setelah perjalananan menyusuri Telaga Warna #yang sebenernya bingung apa aja warnanya, rombongan kita beralih menuju ke Kawah Sikidang. Sampe disana kita disambut sama segerombolan penjual masker, secara disono baunya belerang banget.. Untungnya aku udah bawa masker sendiri, jadi nggak perlu keluar duit buat beli masker.. hoho,, Hmm.. di sana nggak terlalu bagus menurutku, cuma gini doang lah.. Cekidot! ----->

Well... finally, perjalananku mengitari Dieng Plateau usai sudah.. Hmm,, kepingin sii lain kali kesini lagi, tapi nggak kuat dinginnya mas brooo.. haha :D
Welcome Purwokerto... #pulang-pulang menderita flu tingkat akut.. >_<




Senin, 26 November 2012

Tahukah Kamu?

Tahukah kamu?

Kamulah yang menenangkanku disaat aku merasa gundah. Kamu yang menggenggam tanganku disaat aku goyah. Kamu pula yang mengingatkanku bahwa kamu tempat ku berkeluh kesah.

Kamu yang merengkuh ku dalam pelukanmu disaat aku lemah. Kamu yang menemaniku disaat aku merasa sendiri. Kamu lah tempat ku berbagi. Kamu pula tempat ku mencurahkan isi hati.

Kamu yang mengingatkanku, bahwa keadaan tak akan selamanya menyenangkan. Tapi aku harus merasa yakin bahwa hidup ini indah.

Kamu..
Yang berkata ingin hidup bersamaku. Disaat senang maupun susah..
Aku pun begitu. Ingin menemanimu, menghabiskan sisa waktu ku bersamamu.
Hanya kamu, tak ada yang lain.


P.S : I need you

Rabu, 14 November 2012

Kehilangan Rasa Kehilangan Bagian 9

Oktober 2011

Emelly segera turun dari angkot di depan pintu masuk RS Gatot Subroto, panas terik begitu menyengat kulit. Tas ransel penuh dengan buku dan media mengajarnya tadi bahkan tidak terasa berat lagi baginya. Yang dia pikirkan adalah segera bertemu dengan ibunya, ibunya yang baru saja tadi pagi ditemuinya.

"Bu, Nida berangkat dulu. Doain Nida ujian ngajar nanti sukses ya bu." Emelly menggenggam erat tangan ibunya.
"Allah selalu bersamamu Da." tangan ibu yang satunya membelai lembut kepala Emelly, lalu tersenyum.

Koridor sepanjang rumah sakit tidak terlalu ramai, mungkin karena jam bezuk belum dibuka. Emelly melangkah cepat, melihat setiap papan nama ruangan rawat inap yang dia lewati. Setelah melihat papan bertuliskan Cendrawasih 17, Emelly memutar kenop pintu. Dilihatnya Dira yang masih memakai seragam putih abu-abu sedang berdiri disamping ayahnya. Beliau sedang mendekatkan wajahnya kepada sang ibu yang terbaring. Sisa air mata masih terlihat jelas di wajah Dira.
Nafas Emelly semakin memburu, peluh yang menetes di dahi tak dihiraukannya saat Pak Fauzi melambaikan tangan, memberi isyarat agar Emelly segera mendekat. Emelly mendekatkan wajahnya kepada sang ibu yang ternyata telah dipanggil menghadap-Nya. Pak Fauzi mengelus punggung Emelly, berbisik, "Tabahkan hatimu. Tawakal."

"Ibu." Emelly membelai lembut wajah ibunya yang tersenyum, terlihat bahagia diakhir menutup usia. Emelly tak sanggup membendung air matanya lagi, dipeluknya sang ibu dengan erat seolah tak ingin ibunya pergi.
"Ibuuuu... jangan tinggalin Nida buu.. Bangun buu, banguuuun..." Emelly mulai histeris, mengguncang-guncangkan tubuh ibunya. Dira memegang tubuh kakaknya yang mulai kalap. Emelly berusaha melepaskan tangan adiknya, memberontak.
"Da, ikhlaskan. Ibumu sudah tenang." Pak Fauzi mengambil alih tubuh Emelly yang tidak mau disentuh adiknya.
"Lepasin yah! Lepasin! Ayah jahat, kenapa nggak kasih tau Nida sebelum ibu pergi. Kenapa yah? Ibu jahat, ibu nggak nungguin Nida pulang dulu." Emelly kian lepas kendali, tak mau melepas pelukannya pada sang ibu.
"Mbak, jangan kaya gitu. Ini udah kehendak Allah, ikhlasin ibu mbak." Dira memeluk Emelly dari belakang. Emelly tak menghiraukannya, terus terisak sambil memeluk ibunya yang telah tutup usia.

***

Emelly berlarian menuju lobi RSCM, segera menghambur ke bagian resepsionis dan bertanya dimana ruang ayahnya sedang dirawat. Lalu Emelly menarik tangan Dira menuju lift dan segera ke lantai 11. Koridor rumah sakit yang berwarna putih, lampu neon berpendar dimana-mana menyilaukan mata. Pun terasa begitu sempit bagi Emelly saat dia menghambur keluar dari lift yang membuatnya susah untuk bernafas, seluruh pikirannya tadi kembali ke satu tahun yang lalu, saat ibunya meninggal. Dia mulai cemas, mulai khawatir. Dari kejauhan, dilihatnya Ray yang masih berseragam POLRI duduk di luar ruangan operasi.

"Ray, Ayah dimana?" Emelly bertanya dengan nafas terengah-engah. Dira mengangguk saat Ray memandangnya.
"Sabar Em, ayahmu sedang di ruang operasi." Ray membimbing Emelly untuk duduk, menenangkan diri.
"Mas, aku pergi beli air minum dulu buat mbak Nida bentar ya." Ray mengangguk saat Dira meminta izin padanya.
Ray memandang Emelly yang tidak melepaskan pandangannya dari pintu ruang operasi, berharap pintu itu segera terbuka. Emelly tidak henti-hentinya menggerakkan kaki seperti orang yang sedang menjahit, sedang tangannya dikepalkan di atas lutut. Wajah Emelly terlihat sangat cemas, kerudung abu-abunya terlihat sedikit berantakan, beberapa helai rambut menyembul keluar di bagian pipi. Ray berusaha akan membetulkannya, tapi saat baru akan menyentuh pipi Emelly, Emelly bangun dari duduknya. Pintu ruang operasi terbuka.

Emelly segera menghambur ke arah sang dokter, "Gimana keadaan ayah saya Dok?"
"Anda keluarga pasien?" tanya dokter.
"Ya Dok, saya putrinya."
"Kami kehabisan stok darah golongan AB rhesus positif, apa ada dari anggota keluarga pasien yang memiliki golongan darah yang sama?"
"Golongan darah saya sama dengan ayah Dok, silakan bisa diperiksa." jawab Emelly dengan mantap.
"Baik, silakan ikuti saya, kita lakukan pemeriksaan dulu apakah darah saudara bisa didonorkan ke pasien atau tidak."
Emelly mengangguk, lalu menatap Ray. "Gue tunggu disini Em." Ray menyentuh bahu Emelly. Kemudian Emelly bergegas mengikuti sang dokter untuk menjalani pemeriksaan.

Tak lama berselang, Dira muncul membawa kantong plastik berisikan beberapa botol air mineral.
"Mas, mbak Nida kemana? Operasinya belum selesai?" Dira duduk disebelah Ray, memberikan sebotol air mineral.
"Tadi dokter udah keluar, tapi butuh donor darah AB positif. Mbak mu sedang menjalani pemeriksaan dulu, di cek dulu bisa didonorin atau nggak." jawab Ray sambil membuka tutup botol, menenggak hampir separuh dari isi botol.
"Hmm.. semoga keadaan ayah cepet membaik. Ehh mas, gimana ceritanya kok ayah bisa ketembak gitu?" tanya Dira penasaran.
"Uhuk..huk.." Ray tersedak, kaget mendengar pertanyaan Dira.
"Mas, ceritain dong. Gue pingin tau kronologinya." desak Dira.

"Ray..!!"

Belum sempat Ray menjawab pertanyaan Dira, tiba-tiba Han muncul bersama Kinanti. Menghampiri Ray yang beranjak dari duduknya, disusul oleh Dira.
"Lo nggak papa Ray?" tanya Han.
"Iya tenang aja Han, gue nggak papa." jawab Ray.
"Kinanti? Ngapain lo disini?" tanya Dira bersamaan saat Ray menjawab pertanyaan Han.
"Lho? Kalian saling kenal?" tanya Ray dan Han bersamaan, menuding Kinanti dan Dira.
"Iya mas, Anti sama Dira satu kelas. Nah kakak Dira itu yang guru Bahasa Inggris di kelas Anti ." Kinanti menjelaskan.
"Oh, jadi mas Ray dan Briptu Handika itu kakak lo?" tanya Dira.
"Iya Ra."
"Kamu... kayaknya saya pernah lihat, tapi dimana ya?" Han mengingat-ingat wajah Dira.
"Saya yang dulu pernah mas tolongin pas ada kecelakaan."
"Oh iya ya, inget saya. Anti juga cerita pernah nengokin temen sekelasnya, dia bilang saya yang nolongin pas kecelakaan. Ternyata kamu toh cowok yang di.."
Kinanti langsung mencengkeram lengan Han, "Mas Han!"
"Eh maap, hampir aja keceplosan.. hehe" Han terkekeh.

Sementara Kinanti dan Dira melanjutkan perbincangan mereka, Ray mengajak Han sedikit menjauh ke arah pintu keluar darurat, sepertinya ada hal yang ingin mereka bicarakan.
"Kronologinya gimana Ray?" Han mulai menginterogasi kakaknya.
"Tadi siang, Pak Fauzi kirim gue SMS, gue mesti segera ke kantor. Gue bingung, tumben banget beliau suruh gue segera ke kantor. Apalagi hari ini bukan giliran gue piket, gue juga masih jalan sama anaknya waktu itu."
"Oh, yang guru Bahasa Inggrisnya Anti?" Han memastikan.
"Iya, dia temen SMA gue. Gue langsung pulang dan ganti seragam, terus meluncur ke kantor. Ternyata ada laporan dari warga, ada rumah yang udah beberapa bulan terakhir ini digunakan orang-orang yang nggak dikenal. Kita langsung koordinasi sama Densus 88 buat gerebek tuh lokasi.
"Terus?" Han menunggu lanjutan cerita Ray. Tanpa disadari, dari balik tembok ada seseorang yang menguping pembicaraan mereka.

"Semuanya bener-bener di luar dugaan gue Han. Lo tau kan, jaringan teroris yang akhir-akhir ini marak muncul. Mereka mulai berani menunjukkan diri secara terang-terangan, dan sasarannya aparat kepolisian. Kayaknya mereka dendam banget karena pemimpin-pemimpin mereka satu persatu udah masuk ketangkep, bahkan ada yang udah dihukum mati."
"Hmm.. gue rasa, pelakunya itu anggota rekrutan mereka yang baru. Beberapa komplotan mereka yang notabene masih buron, kayaknya mulai nyiapin bibit baru." Han berspekulasi.
"Mungkin. Setelah kita datengin lokasinya, ya ternyata bener itu sarang teroris baru. Baku tembak sama mereka nggak terhindarkan lagi, mereka berani melawan Han. Persenjataan mereka lengkap, beberapa bom rakitan dan senjata juga udah diamankan."
"Kok bisa Pak Fauzi ketembak gitu?"
"Gue.. waktu itu gue hampir aja ketembak. Pak Fauzi nyoba buat nyelametin gue dan nembak tuh teroris duluan, tapi beliau kalah cepet. Beliau ketembak di dada kanan." Ray terlihat sangat merasa bersalah. Seseorang yang sedang menguping pembicaraan mereka mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.
"Astaghfirullah, terus gimana?"
"Ya gue langsung tembak tuh teroris lah, pas kena paha kiri. Sekarang dia lagi di interogasi."

Emelly tiba-tiba muncul dari arah belakang Ray dan Han, "Ray."
Ray terkejut bukan main, wajahnya terlihat bingung, takut Emelly mendengar semua pembicaraannya dengan Han barusan.
"Ehh, iya Em. Kenapa?" Ray berusaha menutupi kegugupannya.
"Tekanan darahku terlalu rendah, jadi nggak bisa didonorin ke ayah. Golongan darah Dira B. Gue mesti gimana Ray?" Emelly bingung, matanya mulai berkaca-kaca.
"Butuh golongan darah apa?" Han langsung bertanya.
"AB positif." Ray dan Emelly menjawab hampir bersamaan.
" Saya bisa bantu Miss." celetuk Kinanti yang muncul bersama Dira.
"Beneran kamu bisa?"
"Iya Miss, ayo cepetan kita periksain. Jangan buang waktu." desak Kinanti. Tanpa pikir panjang, Kinanti menggandeng Emelly untuk segera memeriksakan darahnya.

***

"Ra, ngapain lo disini?" Kinanti mendekati Dira yang sedang duduk sendiri di lobi lantai 11.
Dira memandang Kinanti dengan tatapan tajam, dingin. "Duduk, lo liatnya gue lagi ngapain?" ucap Dira ketus. Kinanti kaget dengan apa yang baru saja Dira ucapkan. "Dira kenapa jadi ketus gini sama gue?" ucap Kinanti dalam hati.
"Kalo nggak ada yang lo mau omongin, mending lo pulang aja deh An." usir Dira setelah Kinanti lama berdiam diri disebelahnya.
"Lo kenapa jadi berubah gini Ra? Padahal gue nggak bikin salah sama lo. Malahan gue donorin darah buat ayah lo."
"Ohh, jadi karena lo udah donorin darah buat ayah gue, gue mesti gimana? Gue mesti bilang 'makasih ya Anti, lo udah nolongin ayah gue. Gue nggak tau mesti gimana ngebales semua kebaikan lo.' Iya?" perkataan Dira baru saja melukai perasaan Kinanti.
"Lo.. kenapa tiba-tiba jadi berubah gini Ra? Tadi juga lo baik-baik aja." Kinanti berusaha sabar, menyentuh lengan Dira.
Dira menepis tangan Kinanti dengan kasar lalu berdiri dari duduknya, "Iya! Sebelum gue tau penyebab ayah gue sampe ketembak kaya gitu gara-gara kakak lo!!" mata Dira menatap tajam, api kemarahan terpancar sangat jelas dimatanya.
"Maksud lo apa?" mata Kinanti mulai berkaca-kaca.
"Tanya sendiri sana sama si brengsek Ray!!"

Plaakkk!!

Kinanti menampar Dira. Dia tidak tahan lagi dengan semua ucapan kasar Dira. Beberapa suster yang bertugas dan orang yang berlalu lalang memperhatikan mereka.
"Lo boleh marah sama gue Ra, tapi lo nggak perlu sampe ngomong kaya gitu tentang Mas Ray. Gue nggak ngerti apa maksud lo ngomong kaya gitu." air mata mulai membasahi wajah Kinanti.
"Nggak usah deh lo nangis gitu, air mata buaya. Lo sama Ray tuh sama aja, munafik. Gue tau lo naksir gue kan? Terus lo pikir, setelah lo donorin darah buat ayah, gue bakal suka sama lo? Nggak usah mimpi deh lo!"
"....." Kinanti tercekat mendengar perkataan Dira, hatinya terluka dalam.
"Sampe kapanpun gue nggak bakalan maafin abang lo yang brengsek itu, dan jangan harap gue bakal suka sama lo. Ngerti...!!" mata Dira menyala-nyala, penuh kebencian.

"Zan... Ayah..." Emelly tiba-tiba muncul, dengan wajah penuh kesedihan. Air mata membanjiri wajahnya.
Dira menghambur mencengkeram lengan Emelly, "Ayah kenapa mbak?"
Emelly tak mampu berkata-kata lagi, hanya terisak. Dira berlari menuju ruangan dimana ayahnya dirawat. Saat Dira hendak membuka pintu, bersamaan dengan Ray yang membuka pintu dari dalam.
"Minggir lo...!!" ucap Dira kasar, menabrak bahu Ray.
Emelly menangis tertunduk, Kinanti mendekati dan mengenggam tangannya. Emelly memeluknya, menangis sejadi-jadinya. Ray memandang mereka dari depan kamar rawat Pak Fauzi. Dia merasa sangat bersalah.

Selasa, 13 November 2012

Di Berlalunya 22 Tahun Usiaku

Ehh.. hari ini aku ultah ya??
Waaah.. aku lupa... #muka cengo :D



My 22nd Birthday

Tepat hari ini usiaku berkurang 22 tahun.

Benar-benar tak menyangka, aku sudah setua ini. Sepertinya baru saja kemarin aku mengenakan seragam merah putih. Lalu aku beralih mengenakan seragam putih biru. Kemudian, 7 tahun yang lalu aku merasakan bangku putih abu-abu yang begitu penuh warna persahabatan, cinta pertama, dan pengkhianatan..

Semuanya terasa cepat berlalu, walaupun dulu aku ingin segera mencapai titik ini. Titik dimana:
1. Aku sudah pantas memakai baju yang terkesan lebih dewasa daripada wajahku yang sebenarnya masih pantas mengenakan seragam SMA #ini ciyuuus loh!
2. Aku tidak lagi meminjam kosmetik milik ibuku yang digunakan hanya sekedar untuk main-main saja, melainkan karena emang udah butuh untuk menciptakan kesan dewasa pada wajahku yang imut nan unyu ini
3. Aku bisa memakai sepatu yang udah nggak rata lagi alias rada tinggi (belum berani pake heels diatas 10 cm)
4. Aku mulai sering menghadiri pernikahan teman-temanku #yang ini bikin mupeng
5. Aku telah mengubah statusku dari mahasiswa menjadi pengangguran #nyesek

Udah 22 tahun ya ternyata? Tapi, di hari lahirku kali ini biasa aja menurutku mah.

"No more celebration, tart, candle, even more gift. I've been 22nd now."

Kalimat diatas benar-benar terjadi dan berlaku padaku saat ini. Hari lahir yang dulu-dulu sering dirayakan bersama teman dan keluarga, tidak lupa dengan acara tiup lilin dan potong kue, lalu begitu banyak kado yang aku dapatkan, sekarang semua itu nggak ada lagi. Ulang tahun bukan sesuatu yang pantas dirayakan lagi, karena umurku sedang dikurangi. Ya, sisa hidupku didunia ini semakin berkurang, dan tentu saja aku tidak tahu berapa banyak lagi sisa yang masih aku miliki. Bisa setahun, setengah tahun, satu bulan, satu hari, atau mungkin satu jam lagi.

Namun begitu, aku berharap di 22 tahun berlalunya hari-hariku ini, semoga saja aku sudah sedikit memberikan manfaat untuk agamaku, orang-orang disekelilingku, orang-orang yang ku sayangi dan menyayangiku, sekolahku, lingkunganku, dan juga negaraku. Aku sadar banyak hal yang sudah aku perbuat selama ini yang ternyata tidak memberikan manfaat, atau bahkan menyakiti dan melukai orang-orang disekelilingku. Tidak ada manusia yang sempurna didunia ini, tapi sungguh aku menyesal dan berusaha ingin mengurangi semua tabiat burukku itu. :(

Ya, di berlalunya 22 tahun usiaku ini banyak hal yang harus aku lakukan dan mimpi-mimpi ingin aku wujudkan. Tak perlu muluk-muluk lah, segala keinginan yang berbau materi insya Allah bisa dicari dan didapatkan asal rajin menabung. Tapi, untuk urusan kepribadian dan membahagiakan orang-orang yang kusayangi sepertinya akan sedikit membutuhkan waktu. Never mind, I'll do my best.


 Hmm... yang jelas, di berlalunya 22 tahun usiaku ini, banyak sekali yang sudah aku lalui. Banyak hal yang membuatku semakin menyadari betapa sering aku tidak bersyukur atas segala yang telah diberikanNya, dan nikmat sehat dan sempat yang diberikan Allah swt padaku hingga saat ini tak ternilai harganya. Dan juga banyak orang yang baru aku temui, atau orang-orang lama yang sampai saat ini masih bertahan dan setia menemaniku. Aku ingin berterimakasih pada:

1. Allah swt yang masih mengizinkanku untuk bernafas hingga saat ini.
2. Ayah & Ibuku, yang sudah memberikan begitu banyak hal yang sudah pasti tidak akan bisa aku ganti.
3. Keluarga ku yang jelas tak mungkin aku sebutkan satu persatu, terimakasih atas semua dukungan dan doa kalian.
4. Sahabat-sahabatku: Devina a.k.a Diphi, Intan Rosza a.k.a Budhe, Tutus Eshananda a.k.a Nanda, Siska Andriyani a.k.a Tita, M. Ridlo Nur Ar-Rofi a.k.a Warjo, Fitri Setyaningsih a.k.a Mamah Pipit, Nawangi Dahlia a.k.a Ni Naw, Aurora Rizka HP a.k.a Bebeb, Annis Fitri Z a.k.a Farhan, Heru Pramono, M.Ridlo Nur Ar-Rozzaq a.k.a Kodok, dan Mega Mareta Ngalih a.k.a Meg. Terimakasih kalian sudah memberikan begitu banyak warna dalam hari-hariku dulu, kini dan nanti.
5.  Semua teman-teman yang aku kenal dan mengenalku, semua orang yang ku sayang dan menyayangiku. Terimakasih telah menjadi bagian dalam hidupku.
8. Guru dan dosenku, terimakasih atas semua ilmu dan pengalaman yang sudah kalian berikan padaku,

Tanpa kalian semua, aku tidak akan menjadi seperti sekarang. Untuk orang-orang yang menyakitiku dan membenciku, terimakasih karena kalian aku jadi bisa lebih bersyukur dan menyadari segala kekuranganku.

Waaahh... udah deh sesi melow-nya. Sekarang saatnya menatap kedepan, bersiap menjadi seorang wanita seutuhnya (yang kata Annis Fitri Zamzami gue itu nggak utuh sebelumnya #puas lo?) yang berpikir dan bertindak dewasa. Nggak ada lagi tuh yang namanya perilaku yang kekanak-kanakan. Malu ah sama muka yang kian lama semakin menua #aarrgh.. keriput. 

Well, udah dulu kali ya.. Semoga aja masih diberi kesempatan buat nulis postingan "Di Berlalunya 23 Tahun Usiaku" tahun depan. Amiiin..

Senin, 12 November 2012

Kehilangan Rasa Kehilangan Bagian 8

"Ternyata selama ini lo yang sering kasih bunga buat kakak gue?" 

Dira memergoki seseorang yang sangat dikenalnya sedang bersiap menaruh setangkai bunga mawar merah di atas jok motor matic milik kakaknya.
"Gu..gue..." laki-laki itu tergagap, salah tingkah. Bunga mawar merah yang dipegangnya terjatuh.
"Gue kira malah Arga dibalik semua ini, ternyata lo." Dira tersenyum mengambil bunga mawar dan menyerahkannya kembali pada sosok yang dia kenal sebagai Agung, teman yang duduk sebangku dengan Arga, di depan bangkunya.
"Gue.. gue bisa jelasin sama lo Ra." Agung benar-benar terkejut, tak menyangka Dira memergokinya. Dari kejauhan Dira melihat Emelly menuju parkiran, hendak pulang.
"Sini lo." Dira cepat menarik Agung untuk bersembunyi, sebelum Emelly memergoki mereka berdua. Setelah kepergian Emelly, Agung mengajak Dira ke lapangan basket, dia ingin menjelaskan semuanya.

"Ra, ini nggak seperti yang lo pikirkan." Agung memulai percakapan, wajah tirusnya terlihat tegang, walaupun begitu dia tetap rupawan, mirip Chef Juna di Master Chef Indonesia.
"Biasa aja kali bro, lo nggak usah tegang gitu. Gue ngerti kok, gue cuma nggak nyangka aja kalo ternyata itu lo. Gue sempet mikir kalo yang kasih bunga buat kakak gue tuh si Arga." Dira mencoba menenangkan Agung yang masih terlihat cemas.
"Gue... gue..." Agung bingung mencari kata yang tepat untuk menjelaskan semuanya pada Dira.
"Lo suka sama kakak gue?" pertanyaan Dira langsung menohok hati Agung, dia terkesiap.
"Love at the first sight mungkin lebih tepatnya. Waktu Ms. Em pertama kali masuk ke kelas kita." Agung menunduk, tak berani memandang Dira.
"Tapi, sikap lo waktu itu biasa aja kayaknya. Malah justru sikap si Arga yang bikin gue curiga. Dia tuh pernah senyum-senyum gitu waktu tanya Mbak Nida."
"Dia... gue yang suruh. Gue nggak berani nanya langsung sama lo. Gue emang berusaha nutupin, biar sikap gue terlihat biasa aja."
"Hmm.. terus?"
"Ms. Em cinta pertama gue. Rasanya bener-bener beda, bukan kaya sebatas suka sama cewek-cewek seumuran kita. Makanya gue cuma berani cerita sama Arga, terus dia nyaranin buat kasih bunga mawar aja sebagai ungkapan perasaan gue."
"Pengecut lo bro."
"Gue nggak berani Ra. Beneran deh, yang ini beda. Waktu liat atau ketemu Ms. Em, gue deg-degan banget. Makanya gue berusaha nutupin dengan sikap gue yang malah jadi aktif gitu. Kalo gue diem aja mesti anak-anak banyak yang tau. Please Ra, jangan kasih tau Ms. Em." pinta Agung.
"Hmm.. gimana ya? Gue juga awalnya rada ragu, gue pikir si Arga, tapi tulisan puisi-puisinya itu tulisan tangan lo. Tanpa gue ngomong pun, suatu hari Mbak Nida bakalan tau. Apalagi kalo sambil ngoreksi essay Bahasa Inggris, tulisan lo jelas ketahuan lah."
"Ya ampuuuuuuuuuuuuuun.. Kenapa gue nggak mikir mpe situ sih?" Agung menjambak rambutnya sendiri.
"Harusnya lo pake ketik komputer aja bro."
"Terus gimana dong?" Agung bingung.
"Tenang aja ntar gue bantuin, lagian hampir semua bunga dan puisi yang lo kasih gue yang nyimpen. Mbak Nida nggak terlalu perhatiin."
"Gitu ya?" Agung kecewa.
"Maaf ya bro, gue ngerti lo kecewa. Tapi lo mesti realistis, masa iya dia mau ngembat muridnya sendiri, apa kata dunia?"
"Iya sih, gue juga mikir gitu. Makanya gue juga nggak berani terang-terangan ngungkapin perasaan gue."
"Gue sih cuma bisa ngasih saran, ya dikit-dikit lo kurangin deh perasaan suka lo itu. Ya walaupun susah, tapi pasti bisa. Dari pada lo lebih sakit lagi ntar."
"Udah nggak ada harapan ya buat gue? Katanya Ms. Em masih single?"
"Ya emang Mbak Nida masih single, tapi lo kan muridnya."
"Gitu ya?" raut wajah Agung terlihat sangat kecewa.
"Ya udah, pulang yuk bro. Move on man!" Dira menepuk bahu Agung sambil beranjak pergi. Agung tersenyum getir.

***

Handphone Emelly menjerit saat dia baru saja keluar kamar, handuk tersampir di bahu kiri. Di layar handphone tertera nama RAY.

"Hallo, assalamualaikum.
"Wa'alaikumsalam, Em."
"Ada apa Ray?"
"Em, kira-kira lo ada waktu minggu ini?" Ray bertanya pada Emelly.
"Gue palingan bisa malem Minggu atau hari Minggu nya Ray, emang kenapa?" Emelly melangkah menuju meja makan, membuka tudung saji.
"Lo mau nggak nemenin gue ke toko buku?"
"Ehh, sejak kapan lo suka baca buku?"
"Yaelaah.. bukan buat gue, tapi buat adik gue yang cewek. Dia minta kado ultahnya minggu depan, tapi gue nggak tau mesti kasih apa. Gue cuma tau kalo dia suka baca novel. Nah, gue mau minta lo bantuin pilih."
"Oh." Emelly mencomot perkedel tahu sisa sarapan tadi pagi.
"Tuh kan. Ekspresi lo dari dulu selalu ber-oh ria." wajah Ray merengut, sambil membetulkan posisi earphone di telinganya.
"Errr.. mau nyari kemana emang? Jam... berapa?" Emelly tersenyum sambil mengunyah perkedel, membayangkan wajah Ray yang cemberut.
"Ke toko buah." jawab Ray sekenanya. Terdengar suara tawa Emelly dari seberang. "Ya di toko buku lah. Sekalian kita jalan-jalan kemana gitu. Besok Minggu aja gimana?" Ray menawarkan.
"Boleh, mau jam berapa?"
"Gue jemput lo aja jam setengah satu, sekalian kita lunch. OK?"
"OK. Udah dulu ya Ray, gue mau mandi."
"OK, Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam Ray."

Emelly menutup percakapan, handphone dia letakkan di meja makan. Kemudian melirik jam, sudah pukul 16.00.
"Fauzan kok belum pulang jam segini? Main kemana tuh anak?" Emelly masuk ke kamar mandi.

***

Emelly mematut diri di depan kaca, merapikan tatanan kerudung biru tuanya. Dia sematkan bros kupu-kupu biru muda di dada, serasi dengan warna blouse biru muda bermotif sulaman berbentuk lingkaran. Dengan bawahan celana kain berwarna hitam, dia akan padu padankan dengan sepatu teplek hitamnya. Sekali lagi dia mematut diri, membenarkan bajunya, menyapukan lipstik berwarna orange lembut di bibirnya. Hasilnya tidak mengecewakan, Emelly terlihat cantik, sederhana dan dewasa. Diliriknya jam tangan hitam di pergelangan tangan kirinya, sudah pukul 12.15. Emelly bersiap menunggu Ray yang akan menjemputnya di teras rumah.
Tak lama kemudian, Ray datang mengendarai sepeda motor hitamnya, tulisan 86 berwarna merah glitter dengan format angka digital terlihat jelas di tankinya. Dia melepas helm, tersenyum pada Emelly yang duduk di teras rumah. Wajahnya sumringah, badannya terlihat tegap dan gagah mengenakan kaos bermotif belang-belang gradasi warna hitam, abu-abu dan putih. Serasi dengan celana jeans hitamnya, Ray mendekati Emelly.
"Kereta sudah siap mengantar kemanapun tuan puteri akan pergi." Ray tersenyum lebar.
"Apaan sih lo Ray, jayus tau nggak sih." Emelly tersipu malu.
"Hehe.. ayo berangkat." Ray mengulurkan tangan, berharap Emelly akan menyambutnya.
"Ayo." Emelly hendak meletakkan tangannya di atas uluran tangan Ray, lalu kemudian menarik tangannya kembali. Emelly tersenyum jahil, meninggalkan Ray yang tersenyum geli melihat tingkah Emelly.
"Semoga aja Mas Ray bisa bahagiain Mbak Nida." Tak disadari, Dira memperhatikan mereka berdua di teras tadi dari dalam rumah.

***

Drrt...drrrt...

Handphone Ray bergetar, saat dia dan Emelly sedang makan siang di sebuah restoran cepat saji dekat toko buku. Dia segera membuka pesan, tertera nama AIPTU FAUZI. Ray mengerutkan dahi, berpikir ada apa ayah Emelly mengirim pesan padanya.

From: AIPTU FAUZI
 

segera ke kantor.

To: AIPTU FAUZI

86


"Ada apa Ray?" Emelly bertanya pada Ray saat mengetik balasan SMS entah dari siapa.
"Ehh.. nggak papa kok." Ray berbohong, meletakkan handphone di saku celananya.
"Lo yakin? Atau lo dipanggil karena ada tugas?" Emelly menyelidik.
"Ehmm.. iya." Ray akhirnya menjawab jujur.
"Ya udah, sana lo cepet balik ke kantor. Tugas lo lebih penting."
"Terus lo pulangnya gimana?"
"Tenang aja, gue bisa naik angkot."
"Beneran? Lo nggak papa gue tinggal?"
"Iya nggak papa, lo tenang aja Ray."
"Ya udah, gue balik dulu ya Em. Makasih banget udah nemenin gue, maaf lo jadi gue tinggal." Ray menyedot habis minumannya, disambut oleh anggukan Emelly. Emelly memandang Ray yang segera pergi meninggalkannya, membayar ke kasir, kemudian berlari ke parkiran dan berlalu dari pandangannya.

"Assalamualaikum." Emelly membuka pintu rumah, Dira menunggunya di ruang tamu.
"Wa'alaikumsalam mbak. Gimana tadi jalan-jalannya? cicuiiittt, hehe." ledek Dira.
"Apaan sih Zan, orang cuma nyari buku doang." Emelly beralih ke meja makan, menuang air putih dan segera meminumnya.
"Nggak cuma nyari buku juga nggak papa mbak. Gue nggak dibeliin oleh-oleh ya? Jahat banget lo sama adek sendiri." Dira menggerutu.
"Bawel lu.. nih." Emelly melempar sebatang cokelat dengan bungkus warna kuning pada Dira, lalu masuk ke kamarnya.
"Asiiik..." Dira langsung melahap cokelat yang baru saja dilempar Emelly.

***

"Mbak, kok Ayah udah jam segini belum pulang ya? Nggak biasanya." Dira mencemaskan ayahnya saat makan malam bersama Emelly.
"Baru jam 8 Zan, biasanya juga ayah bisa pulang lebih malem. Atau mungkin ayah lagi ada urusan." Emelly lanjut mengunyah suapannya.
"Tadi ayah cuma bilang kita suruh makan duluan aja, nggak usah nunggu ayah." Dira menyelesaikan suapan terakhirnya, lalu beranjak mencuci piring.
Saat Emelly hendak menuang minuman, handphone miliknya berdering. Nama RAY tertera di layar, Emelly segera menjawabnya.

"Halo, assalamualaikum. "
"Wa'alaikumsalam Em." suara Ray terdengar tidak bersemangat."
"Ada apa Ray? Tumben lo telpon lagi."
"Hmm.."
"Ada apa sih Ray?" Emelly penasaran.
"Gini Em, lo sama adik lo sekarang ke RSCM ya."
"Ehh, emang siapa yang sakit Ray?"
"Hmm..." Ray bingung akan mengatakannya atau tidak.
"Ray!! Ngomong dong." Emelly mendesak. Dira yang sedang menonton televisi melirik Emelly yang suaranya meninggi.
"Pak Fauzi, sekarang di RSCM. Beliau tertembak tadi siang. Cepetan Em, lo mesti kesini sekarang." Ray mengatakan semuanya.

Praaang....!!!
Gelas yang ada dalam genggaman Emelly meluncur jatuh.

Sabtu, 27 Oktober 2012

Kehilangan Rasa Kehilangan Bagian 7

Bandung, April 2006

"Em.....!!"

Emelly menoleh, dia berdiri di lobi sekolah, baru saja akan pulang setelah mengikuti rapat OSIS. Ray berlari menghampirinya, seragam OSIS yang dipakainya berantakan, keluar disana sini. Tangannya mencengkeram lengan Emelly, berusaha untuk mencari pegangan agar tidak jatuh, tas ranselnya melorot ke lengan kanannya. Keringat menetes dari dahinya, terlihat lelah. Dia terengah-engah, mengatur nafas, seperti akan mengucapkan sesuatu. Emelly masih menatap Ray, rambut hitam ikalnya yang panjang melebihi bahu tertiup angin.

"Lo kenapa sih? Kaya abis dikejar anjing gitu?" tanya Emelly sambil merapikan poni yang sedikit mengganggu pandangannya.
"Hhh... gue..gue...hhh..." Ray masih sibuk mengatur nafas.
"Sini deh, lo duduk dulu." kata Emelly sambil membimbing Ray duduk di kursi lobi, memberikan bekal air mineralnya. Suasana sekolah siang itu mulai sepi, hampir seluruh siswa SMA 7 Bandung sudah pulang, hanya tersisa beberapa yang masih mengikuti ekstrakurikuler basket dan akan pulang setelah mengikuti rapat OSIS.
"Gue.... Fira." kata Ray, masih berusaha mengatur nafas setelah meminum air yang diberikan Emelly.
"Tenang dulu ngapa Ray." Emelly mengelus-elus punggung Ray.
"Gue... udah jadian sama Fira." ucap Ray, tersenyum senang.
"Oh." wajah Emelly datar.
"Cuma oh doang?"
"Terus gue mesti ngapain dong?" Emelly tidak paham respon seperti apa yang Ray harapkan.
"Ya ampuuun. Lo jahat banget sih Em, sahabat lo jadian gini ya kasih selamat kek. Minimal kasih ekspresi seneng apa gimana, malah cuma 'oh' doang yang gue dapet." Ray menggerutu.
"Ehh, iya iya. Selamat ya." Emelly tersenyum.
"Nah gitu dong. Aduh gue seneng banget deh sekarang udah jadian sama Fira." Ray tak henti-hentinya menebar senyum bahagianya sambil memeluk botol air mineral Emelly. Beberapa siswa yang melewatinya tertawa geli melihat tingkah Ray. Emelly menunduk malu, malu akan tingkah Ray.
"Gue nggak kenal lo." Emelly ngeloyor pergi.
"Ehh, Em.. lo mau kemana??" Ray mengejar Emelly, meraih lengan kirinya.
"Pulang lah Ray, udah sore nih, ntar nggak ada angkot lagi." Emelly berbalik.
"Gue anterin deh, kaya nggak biasanya aja lo nebeng gue."
"Bukannya lo mesti anterin Fira pulang? Emang dia nggak nungguin lo?"
"Dia udah gue suruh pulang duluan tadi, soalnya gue mesti ngomong kabar bahagia ini sama lo dulu."
"Jahat banget lo sama pacar sendiri. Ehh, ini tangan ngapain masih disini?" kata Emelly sambil menunjuk tangan Ray yang masih mencengkeram erat lengannya.
"Eh,, ni tangan nakal banget ya?" Ray nyengir sambil melepas lengan Emelly, lalu tangan kirinya memukuli tangan kanan.
"Hhh.. dasar somplak. Udah ah, gue mau pulang."
"Ehhh.. udah gue bilang lo pulang sama gue, ya sama gue. Ngeyel banget nih anak." Ray menarik tangan Emelly, menyeretnya ke parkiran motor, Emelly tak bisa berbuat apa-apa.

***
Keesokan harinya..

"Em....!!" Ray memanggil Emelly yang sendirian saat di kantin sekolah. Emelly menghentikan kunyahannya, melihat ke arah Ray yang menggandeng seorang gadis, berseragam OSIS. Putih, cantik, rambut panjangnya dibiarkan terurai indah.
"Kamu duduk sama Emelly dulu ya, aku pesen makan dulu." ucap Ray pada gadis itu, gadis itu mengangguk. Ray pergi memesan makanan. Emelly tersenyum, lalu kembali menikmati mie ayamnya yang masih separuh.
"Maaf ya lama, minumnya ntar katanya mau dianterin." Ray kembali membawa dua piring somay. "Em, lo udah kenal Fira kan?" kata Ray memulai suapannya.
"Ya cuma tau kalo Fira anak kelas XII IPA 3, tapi belum pernah ngobrol. Ya nggak Fir?" jawab Emelly, menoleh ke arah gadis yang dikenalkan Ray sebagai Fira.
"Iya." Fira menjawab singkat.
"Oh ya udah. Sayang, Emelly ini sahabat aku. Kita tuh dari dulu susah seneng bareng. Ehh, makasih bu." tiba-tiba ibu kantin mengantarkan dua es jeruk saat Ray berbicara pada Fira.
"Iya." Fira tak banyak berkomentar, lalu tersenyum pada Emelly.
"Bagus deh kalo gitu, kalo kalian jadi akrab kan gue jadi seneng Em. Apalagi kalian juga ntar bisa bersahabat kaya gue sama lo."
"Tenang aja Ray." Emelly meyakinkan, lalu menyelesaikan suapan terakhirnya.
"Thanks ya Em." Ray tersenyum senang.

"Cantik sih, tapi kok kaya nggak suka gitu ya liatin gue? Hmm.. mungkin perasaan gue aja kali ya?" ucap Emelly dalam hati saat meminum soft drink, sambil memandang Ray dan Fira yang sedang ngobrol. "Eh, gue duluan yah Ray, gue belum ngerjain PR Bahasa Inggris nih, mana jam terakhir pula." Emelly beranjak dari duduknya.
"Ya udah gih sono, ntar gue nyontek ya, hehe." Ray nyengir.
"Hmm.. tapi makan gue barusan lo yang bayar ya?" tawar Emelly.
"Hhh.. dasar. Ya udah gih sono cepet kerjain." Ray cemberut.
"Hahaha.. ya udah, gue ke kelas dulu ya. Daah Fira." Emelly melambaikan tangan, meninggalkan kantin. Fira tersenyum lalu melambaikan tangan.

***
Dua bulan kemudian..

"Em, gue boleh minta tolong sama lo?" ucap Ray di parkiran sepulang sekolah.
"Tinggal ngomong aja, emang kenapa?"
"Kita sekarang jangan terlalu sering keliatan bareng ya, Fira cemburu sama lo."
"Hmm.. gitu ya. Ya udah deh, tapi kita masih sahabatan kan?."
"Ya lah, kita bakal jadi sahabat terus. Gue cuma minta tolong pengertian lo aja, lo pasti tau lah gimana perasaan cewek. Walaupun gue udah berulang kali jelasin ke Fira kalo kita ini sahabatan doang, tapi tetep aja dia cemburu sama lo."
"Iya gue ngerti Ray." Emelly melirik tangan kiri Ray, gelang bambu bertuliskan EMELLY sudah tidak ada.
"Makasih banget ya Em. Ya udah, gue jemput Fira dulu ke kelasnya ya, dia masih nungguin." pamit Ray.
"Gue udah tau bakal kaya gini Ray. Apa mungkin setelah ini lo jadi jauhin gue?" ucap Emelly menatap punggung Ray yang semakin lama menjauh.

***
Satu minggu kemudian..

"Ray...!!" Emelly memanggil Ray saat melihatnya di parkiran. Ray hanya memandang sekilas, lalu buru-buru memakai helm. "Ray.. tunggu Ray!!" Emelly berlari menghampiri Ray."
"Ada apa?" jawab Ray singkat, membuka kaca helm.
"Gue boleh nebeng nggak, gue.."
"Sory gue udah ditunggu Fira di depan sekolah Em. Sory banget ya." potong Ray saat Emelly akan menyelesaikan ucapannya, kemudian segera menyetater motornya. Emelly kembali menatap kepergian Ray dengan tersenyum getir.
Malam harinya, Emelly mulai merasa ada yang berbeda dari Ray beberapa hari terakhir ini. Dia tak tahan lagi, segera meraih handphone. Karena satu-satunya jalan hanya mengirim SMS, sebab Ray selalu menghindar dan menjauhi Emelly saat ini.

To: Ray

Lo knp sih Ray?
Skrg beda bgt ma gw?
Sorry kalo gw punya salah.

Emelly menunggu balasan SMS dari Ray. Lima menit. Sepuluh menit. Setengah jam. Emelly mulai resah, tidak biasanya Ray lama membalas SMSnya. Emelly mulai beringsut menuju meja belajar, berusaha melupakan hal yang sangat mengganggu pikirannya itu dengan mengerjakan PR Matematika. Baru setengah soal dia kerjakan, Emelly memandang fotonya bersama Ray yang dia taruh di meja belajar. Di foto itu terlihat tangan Ray memiting leher Emelly, tangannya mengepal seperti hendak menjitak kepala Emelly. Sedang ekspresi wajah tak berdaya Emelly terlihat sangat alami. Foto tersebut diambil saat mereka sedang menghabiskan waktu istirahat di depan perpustakaan. Tanti, teman sekelas mereka lah yang tidak sengaja memotretnya waktu akhir semester gasal kelas XI. Emelly meraih foto itu, tersenyum memandanginya.
"Apa mungkin kita bisa kaya gini lagi Ray?" ucap Emelly, dia mengusap foto pada bagian wajah Ray.

Setelah menyelesaikan PRnya, Emelly akan beranjak ke tempat tidurnya. Dia kembali memandang handphone, berharap handphone itu bergetar, dan balasan dari Ray bisa segera dia baca. Tapi handphone yang tergeletak di samping bantal tak bergetar, sunyi.
"Hhh..." Emelly menghela nafas. Dia mematikan lampu belajar, merebahkan badannya, memejamkan mata.

Ddrrrtt...drrtt...

Baru saja Emelly terlelap, dia dikagetkan oleh getar handphonenya. Dia meraih handphone, melihat SMS dari Ray tertera dilayar, ternyata sudah pukul 23.30. Dengan segera Emelly memencet pilihan 'Read'.

From: Ray
Gw gak knpa-napa.
Biasa aja kok.

Emelly kecewa, sangat kecewa dengan balasan yang dia baca. Bukan balasan yang seperti itu yang dia harapkan. Dia meletakkan handphonenya, berusaha memejamkan matanya kembali. Setetes air mata menetes dari ujung matanya.

Selama hampir satu bulan Ray masih saja bersikap menghindar, atau bahkan lebih tepatnya menjauhi Emelly. Emelly benar-benar bingung dengan perubahan sikap Ray yang sangat drastis, sedang mereka tidak ada masalah apalagi bertengkar. Emelly merasa ini pasti ada hubungannya dengan Fira. Dia berniat untuk menemui Fira pulang ekstrakurikuler nanti, dia tau kalau hari ini jadwal latihan ekstra teater drama.
"Fira." panggil Emelly saat melihat Fira berjalan menuju lobi, dia sudah menunggu sekitar satu jam.
"Ya, ada apa Emelly?" jawab Fira.
"Boleh ngomong sebentar?"
"Boleh, ada apa ya?"
"Hmm.. gue to the point aja kali ya. Lo nggak suka ya gue sama Ray sahabatan?" pertanyaan Emelly tepat sasaran, perubahan wajah Fira sangat terlihat.
"Maksudnya apa ya?"
"Yaa, lo cemburu kan sama gue?"
"Gue.."
"Udah lo jujur aja Fir, biar kita sama-sama enak."
"Gue.. gue tau kalo lo dan Ray udah sahabatan lama. Ray juga cerita kalo kalian susah seneng bareng, intinya lo itu sahabat yang paling ngertiin dia. Walaupun berulang kali Ray yakinin gue kalo kalian cuma sahabatan, tapi gue nggak bisa bohongin perasaan gue. Gue nggak suka dengan kedekatan kalian." Fira tak bertele-tele lagi.
"OK, gue paham. Gue ngerti, tapi apa nggak bisa sih lo percaya sama Ray, sama gue juga kalo kita emang cuma sahabatan, NGGAK LEBIH." Emelly memberi penekanan.
"Gue udah coba, tapi rasanya sulit Em. Ray sering cerita dulu begini lah, dulu begitu lah sama lo. Kalo lo jadi gue, gimana perasaan lo waktu pacar lo lebih sering cerita tentang cewek lain didepan lo?" pertanyaan Fira membungkam Emelly. "Lo nggak bisa jawab kan? Tapi gue juga nggak mau ngrusak persahabatan kalian. Kayaknya gue lebih baik mundur."
"Maksud lo apa Fir?"
"Lo pasti tau lah apa maksud gue. Gue bakal ninggalin Ray, gue nggak mau ngrusak persahabatan kalian."
"Nggak! Lo nggak boleh ninggalin Ray. Ray sayang banget sama lo Fir, gue yang bakal jauhin Ray."
"Ray juga butuh lo Em, lo sahabatnya."
"Ray bisa tanpa gue, tapi kalo lo ninggalin dia.."
"Dia bakal baik-baik aja. Sebaliknya, kalo dia nggak ada sahabat kaya lo, dia pasti kehilangan." Fira memotong ucapan Emelly. "Udah ya Em, gue pikir obrolan kita udah selesai. Tolong jagain Ray." Fira pergi meninggalkan Emelly.
"Fir... Fira!! Kita belum selesai bicara. Firaaa!!" Emelly berteriak memanggil Fira yang tetap berlalu meninggalkannya.

Hari-hari berikutnya sikap Ray masih sama, menjauhi Emelly. Bahkan Ray sudah sangat jarang untuk mau berbicara dengan Emelly, padahal mereka satu kelas. Tatapan mata Ray pun tak sehangat dulu lagi, saat bertemu atau berpapasan dengan Emelly dia hanya menatap sekilas kemudian membuang muka. Ray tetap bersama Fira, Emelly pun cukup tahu diri dan tidak berani mendekati Ray lagi. Di sisi lain, dia senang Ray bahagia bersama Fira. Namun, di sisi lain dia merasa sakit harus menjauhi dan dijauhi Ray seperti itu. Dia merasa sakit sekali, apalagi Ray berubah tanpa ada satupun penjelasan keluar dari mulutnya.
Gelang bambu bertuliskan RAY pun telah dia lepas dan tidak dipakai lagi. Dia hanya mampu menyimpan barang-barang yang memiliki kenangan tentang Ray seperti gelang, sketsa-sketsa buatan Ray, dan beberapa barang yang lainnya.
Sampai mendekati kelulusan SMA, Emelly dan Ray semakin jauh. Hingga akhirnya setelah kelulusan, mereka tak sempat mengucapkan kata perpisahan.

***

Pagi ini Emelly sangat bersemangat, dia akan mengawasi UlanganTengah Semester di SMA Bina Karya. Merasa bahwa seminggu kedepan kegiatanya tidak terlalu melelahkan, karena dia hanya perlu mengawasi dan mengoreksi hasil ulangan kelas yang diampu olehnya.
Seperti biasa, sebelum memulai aktifitasnya, Emelly harus menyiapkan sarapan dulu untuk Pak Fauzi dan Dira. Kali ini dia memasak mie goreng, cah kangkung, dan tidak ketinggalan tempe goreng. Saat Emelly mengiris tempe, handphonenya menjerit, ada sms.

From: Ray
Good morning Em..
Lagi ngpain lo?

To: Ray

Morning Ray..
Bikin breakfast nih

From: Ray

Emang sejak kpn lo bisa masak?

To: Ray

Sialan lo..!
Gw masak dulu ya, sambung ntar lagi.
813 Ray :)

From: Ray

Hahaha.. okay..
86 Em :)

Emelly tersenyum menyudahi SMSan singkatnya dengan Ray, dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya. Dia melihat jam yang tertera di layar handphone, sudah pukul 05.50 dan dia belum mandi. Emelly segera menyelesaikan masakannya, kemudian pergi mandi dan bersiap untuk sarapan.

Ket:
kode kepolisian  813 : selamat bertugas
kode kepolisian  86   : dimengerti