My Read Lists

Sabtu, 27 Oktober 2012

Kehilangan Rasa Kehilangan Bagian 7

Bandung, April 2006

"Em.....!!"

Emelly menoleh, dia berdiri di lobi sekolah, baru saja akan pulang setelah mengikuti rapat OSIS. Ray berlari menghampirinya, seragam OSIS yang dipakainya berantakan, keluar disana sini. Tangannya mencengkeram lengan Emelly, berusaha untuk mencari pegangan agar tidak jatuh, tas ranselnya melorot ke lengan kanannya. Keringat menetes dari dahinya, terlihat lelah. Dia terengah-engah, mengatur nafas, seperti akan mengucapkan sesuatu. Emelly masih menatap Ray, rambut hitam ikalnya yang panjang melebihi bahu tertiup angin.

"Lo kenapa sih? Kaya abis dikejar anjing gitu?" tanya Emelly sambil merapikan poni yang sedikit mengganggu pandangannya.
"Hhh... gue..gue...hhh..." Ray masih sibuk mengatur nafas.
"Sini deh, lo duduk dulu." kata Emelly sambil membimbing Ray duduk di kursi lobi, memberikan bekal air mineralnya. Suasana sekolah siang itu mulai sepi, hampir seluruh siswa SMA 7 Bandung sudah pulang, hanya tersisa beberapa yang masih mengikuti ekstrakurikuler basket dan akan pulang setelah mengikuti rapat OSIS.
"Gue.... Fira." kata Ray, masih berusaha mengatur nafas setelah meminum air yang diberikan Emelly.
"Tenang dulu ngapa Ray." Emelly mengelus-elus punggung Ray.
"Gue... udah jadian sama Fira." ucap Ray, tersenyum senang.
"Oh." wajah Emelly datar.
"Cuma oh doang?"
"Terus gue mesti ngapain dong?" Emelly tidak paham respon seperti apa yang Ray harapkan.
"Ya ampuuun. Lo jahat banget sih Em, sahabat lo jadian gini ya kasih selamat kek. Minimal kasih ekspresi seneng apa gimana, malah cuma 'oh' doang yang gue dapet." Ray menggerutu.
"Ehh, iya iya. Selamat ya." Emelly tersenyum.
"Nah gitu dong. Aduh gue seneng banget deh sekarang udah jadian sama Fira." Ray tak henti-hentinya menebar senyum bahagianya sambil memeluk botol air mineral Emelly. Beberapa siswa yang melewatinya tertawa geli melihat tingkah Ray. Emelly menunduk malu, malu akan tingkah Ray.
"Gue nggak kenal lo." Emelly ngeloyor pergi.
"Ehh, Em.. lo mau kemana??" Ray mengejar Emelly, meraih lengan kirinya.
"Pulang lah Ray, udah sore nih, ntar nggak ada angkot lagi." Emelly berbalik.
"Gue anterin deh, kaya nggak biasanya aja lo nebeng gue."
"Bukannya lo mesti anterin Fira pulang? Emang dia nggak nungguin lo?"
"Dia udah gue suruh pulang duluan tadi, soalnya gue mesti ngomong kabar bahagia ini sama lo dulu."
"Jahat banget lo sama pacar sendiri. Ehh, ini tangan ngapain masih disini?" kata Emelly sambil menunjuk tangan Ray yang masih mencengkeram erat lengannya.
"Eh,, ni tangan nakal banget ya?" Ray nyengir sambil melepas lengan Emelly, lalu tangan kirinya memukuli tangan kanan.
"Hhh.. dasar somplak. Udah ah, gue mau pulang."
"Ehhh.. udah gue bilang lo pulang sama gue, ya sama gue. Ngeyel banget nih anak." Ray menarik tangan Emelly, menyeretnya ke parkiran motor, Emelly tak bisa berbuat apa-apa.

***
Keesokan harinya..

"Em....!!" Ray memanggil Emelly yang sendirian saat di kantin sekolah. Emelly menghentikan kunyahannya, melihat ke arah Ray yang menggandeng seorang gadis, berseragam OSIS. Putih, cantik, rambut panjangnya dibiarkan terurai indah.
"Kamu duduk sama Emelly dulu ya, aku pesen makan dulu." ucap Ray pada gadis itu, gadis itu mengangguk. Ray pergi memesan makanan. Emelly tersenyum, lalu kembali menikmati mie ayamnya yang masih separuh.
"Maaf ya lama, minumnya ntar katanya mau dianterin." Ray kembali membawa dua piring somay. "Em, lo udah kenal Fira kan?" kata Ray memulai suapannya.
"Ya cuma tau kalo Fira anak kelas XII IPA 3, tapi belum pernah ngobrol. Ya nggak Fir?" jawab Emelly, menoleh ke arah gadis yang dikenalkan Ray sebagai Fira.
"Iya." Fira menjawab singkat.
"Oh ya udah. Sayang, Emelly ini sahabat aku. Kita tuh dari dulu susah seneng bareng. Ehh, makasih bu." tiba-tiba ibu kantin mengantarkan dua es jeruk saat Ray berbicara pada Fira.
"Iya." Fira tak banyak berkomentar, lalu tersenyum pada Emelly.
"Bagus deh kalo gitu, kalo kalian jadi akrab kan gue jadi seneng Em. Apalagi kalian juga ntar bisa bersahabat kaya gue sama lo."
"Tenang aja Ray." Emelly meyakinkan, lalu menyelesaikan suapan terakhirnya.
"Thanks ya Em." Ray tersenyum senang.

"Cantik sih, tapi kok kaya nggak suka gitu ya liatin gue? Hmm.. mungkin perasaan gue aja kali ya?" ucap Emelly dalam hati saat meminum soft drink, sambil memandang Ray dan Fira yang sedang ngobrol. "Eh, gue duluan yah Ray, gue belum ngerjain PR Bahasa Inggris nih, mana jam terakhir pula." Emelly beranjak dari duduknya.
"Ya udah gih sono, ntar gue nyontek ya, hehe." Ray nyengir.
"Hmm.. tapi makan gue barusan lo yang bayar ya?" tawar Emelly.
"Hhh.. dasar. Ya udah gih sono cepet kerjain." Ray cemberut.
"Hahaha.. ya udah, gue ke kelas dulu ya. Daah Fira." Emelly melambaikan tangan, meninggalkan kantin. Fira tersenyum lalu melambaikan tangan.

***
Dua bulan kemudian..

"Em, gue boleh minta tolong sama lo?" ucap Ray di parkiran sepulang sekolah.
"Tinggal ngomong aja, emang kenapa?"
"Kita sekarang jangan terlalu sering keliatan bareng ya, Fira cemburu sama lo."
"Hmm.. gitu ya. Ya udah deh, tapi kita masih sahabatan kan?."
"Ya lah, kita bakal jadi sahabat terus. Gue cuma minta tolong pengertian lo aja, lo pasti tau lah gimana perasaan cewek. Walaupun gue udah berulang kali jelasin ke Fira kalo kita ini sahabatan doang, tapi tetep aja dia cemburu sama lo."
"Iya gue ngerti Ray." Emelly melirik tangan kiri Ray, gelang bambu bertuliskan EMELLY sudah tidak ada.
"Makasih banget ya Em. Ya udah, gue jemput Fira dulu ke kelasnya ya, dia masih nungguin." pamit Ray.
"Gue udah tau bakal kaya gini Ray. Apa mungkin setelah ini lo jadi jauhin gue?" ucap Emelly menatap punggung Ray yang semakin lama menjauh.

***
Satu minggu kemudian..

"Ray...!!" Emelly memanggil Ray saat melihatnya di parkiran. Ray hanya memandang sekilas, lalu buru-buru memakai helm. "Ray.. tunggu Ray!!" Emelly berlari menghampiri Ray."
"Ada apa?" jawab Ray singkat, membuka kaca helm.
"Gue boleh nebeng nggak, gue.."
"Sory gue udah ditunggu Fira di depan sekolah Em. Sory banget ya." potong Ray saat Emelly akan menyelesaikan ucapannya, kemudian segera menyetater motornya. Emelly kembali menatap kepergian Ray dengan tersenyum getir.
Malam harinya, Emelly mulai merasa ada yang berbeda dari Ray beberapa hari terakhir ini. Dia tak tahan lagi, segera meraih handphone. Karena satu-satunya jalan hanya mengirim SMS, sebab Ray selalu menghindar dan menjauhi Emelly saat ini.

To: Ray

Lo knp sih Ray?
Skrg beda bgt ma gw?
Sorry kalo gw punya salah.

Emelly menunggu balasan SMS dari Ray. Lima menit. Sepuluh menit. Setengah jam. Emelly mulai resah, tidak biasanya Ray lama membalas SMSnya. Emelly mulai beringsut menuju meja belajar, berusaha melupakan hal yang sangat mengganggu pikirannya itu dengan mengerjakan PR Matematika. Baru setengah soal dia kerjakan, Emelly memandang fotonya bersama Ray yang dia taruh di meja belajar. Di foto itu terlihat tangan Ray memiting leher Emelly, tangannya mengepal seperti hendak menjitak kepala Emelly. Sedang ekspresi wajah tak berdaya Emelly terlihat sangat alami. Foto tersebut diambil saat mereka sedang menghabiskan waktu istirahat di depan perpustakaan. Tanti, teman sekelas mereka lah yang tidak sengaja memotretnya waktu akhir semester gasal kelas XI. Emelly meraih foto itu, tersenyum memandanginya.
"Apa mungkin kita bisa kaya gini lagi Ray?" ucap Emelly, dia mengusap foto pada bagian wajah Ray.

Setelah menyelesaikan PRnya, Emelly akan beranjak ke tempat tidurnya. Dia kembali memandang handphone, berharap handphone itu bergetar, dan balasan dari Ray bisa segera dia baca. Tapi handphone yang tergeletak di samping bantal tak bergetar, sunyi.
"Hhh..." Emelly menghela nafas. Dia mematikan lampu belajar, merebahkan badannya, memejamkan mata.

Ddrrrtt...drrtt...

Baru saja Emelly terlelap, dia dikagetkan oleh getar handphonenya. Dia meraih handphone, melihat SMS dari Ray tertera dilayar, ternyata sudah pukul 23.30. Dengan segera Emelly memencet pilihan 'Read'.

From: Ray
Gw gak knpa-napa.
Biasa aja kok.

Emelly kecewa, sangat kecewa dengan balasan yang dia baca. Bukan balasan yang seperti itu yang dia harapkan. Dia meletakkan handphonenya, berusaha memejamkan matanya kembali. Setetes air mata menetes dari ujung matanya.

Selama hampir satu bulan Ray masih saja bersikap menghindar, atau bahkan lebih tepatnya menjauhi Emelly. Emelly benar-benar bingung dengan perubahan sikap Ray yang sangat drastis, sedang mereka tidak ada masalah apalagi bertengkar. Emelly merasa ini pasti ada hubungannya dengan Fira. Dia berniat untuk menemui Fira pulang ekstrakurikuler nanti, dia tau kalau hari ini jadwal latihan ekstra teater drama.
"Fira." panggil Emelly saat melihat Fira berjalan menuju lobi, dia sudah menunggu sekitar satu jam.
"Ya, ada apa Emelly?" jawab Fira.
"Boleh ngomong sebentar?"
"Boleh, ada apa ya?"
"Hmm.. gue to the point aja kali ya. Lo nggak suka ya gue sama Ray sahabatan?" pertanyaan Emelly tepat sasaran, perubahan wajah Fira sangat terlihat.
"Maksudnya apa ya?"
"Yaa, lo cemburu kan sama gue?"
"Gue.."
"Udah lo jujur aja Fir, biar kita sama-sama enak."
"Gue.. gue tau kalo lo dan Ray udah sahabatan lama. Ray juga cerita kalo kalian susah seneng bareng, intinya lo itu sahabat yang paling ngertiin dia. Walaupun berulang kali Ray yakinin gue kalo kalian cuma sahabatan, tapi gue nggak bisa bohongin perasaan gue. Gue nggak suka dengan kedekatan kalian." Fira tak bertele-tele lagi.
"OK, gue paham. Gue ngerti, tapi apa nggak bisa sih lo percaya sama Ray, sama gue juga kalo kita emang cuma sahabatan, NGGAK LEBIH." Emelly memberi penekanan.
"Gue udah coba, tapi rasanya sulit Em. Ray sering cerita dulu begini lah, dulu begitu lah sama lo. Kalo lo jadi gue, gimana perasaan lo waktu pacar lo lebih sering cerita tentang cewek lain didepan lo?" pertanyaan Fira membungkam Emelly. "Lo nggak bisa jawab kan? Tapi gue juga nggak mau ngrusak persahabatan kalian. Kayaknya gue lebih baik mundur."
"Maksud lo apa Fir?"
"Lo pasti tau lah apa maksud gue. Gue bakal ninggalin Ray, gue nggak mau ngrusak persahabatan kalian."
"Nggak! Lo nggak boleh ninggalin Ray. Ray sayang banget sama lo Fir, gue yang bakal jauhin Ray."
"Ray juga butuh lo Em, lo sahabatnya."
"Ray bisa tanpa gue, tapi kalo lo ninggalin dia.."
"Dia bakal baik-baik aja. Sebaliknya, kalo dia nggak ada sahabat kaya lo, dia pasti kehilangan." Fira memotong ucapan Emelly. "Udah ya Em, gue pikir obrolan kita udah selesai. Tolong jagain Ray." Fira pergi meninggalkan Emelly.
"Fir... Fira!! Kita belum selesai bicara. Firaaa!!" Emelly berteriak memanggil Fira yang tetap berlalu meninggalkannya.

Hari-hari berikutnya sikap Ray masih sama, menjauhi Emelly. Bahkan Ray sudah sangat jarang untuk mau berbicara dengan Emelly, padahal mereka satu kelas. Tatapan mata Ray pun tak sehangat dulu lagi, saat bertemu atau berpapasan dengan Emelly dia hanya menatap sekilas kemudian membuang muka. Ray tetap bersama Fira, Emelly pun cukup tahu diri dan tidak berani mendekati Ray lagi. Di sisi lain, dia senang Ray bahagia bersama Fira. Namun, di sisi lain dia merasa sakit harus menjauhi dan dijauhi Ray seperti itu. Dia merasa sakit sekali, apalagi Ray berubah tanpa ada satupun penjelasan keluar dari mulutnya.
Gelang bambu bertuliskan RAY pun telah dia lepas dan tidak dipakai lagi. Dia hanya mampu menyimpan barang-barang yang memiliki kenangan tentang Ray seperti gelang, sketsa-sketsa buatan Ray, dan beberapa barang yang lainnya.
Sampai mendekati kelulusan SMA, Emelly dan Ray semakin jauh. Hingga akhirnya setelah kelulusan, mereka tak sempat mengucapkan kata perpisahan.

***

Pagi ini Emelly sangat bersemangat, dia akan mengawasi UlanganTengah Semester di SMA Bina Karya. Merasa bahwa seminggu kedepan kegiatanya tidak terlalu melelahkan, karena dia hanya perlu mengawasi dan mengoreksi hasil ulangan kelas yang diampu olehnya.
Seperti biasa, sebelum memulai aktifitasnya, Emelly harus menyiapkan sarapan dulu untuk Pak Fauzi dan Dira. Kali ini dia memasak mie goreng, cah kangkung, dan tidak ketinggalan tempe goreng. Saat Emelly mengiris tempe, handphonenya menjerit, ada sms.

From: Ray
Good morning Em..
Lagi ngpain lo?

To: Ray

Morning Ray..
Bikin breakfast nih

From: Ray

Emang sejak kpn lo bisa masak?

To: Ray

Sialan lo..!
Gw masak dulu ya, sambung ntar lagi.
813 Ray :)

From: Ray

Hahaha.. okay..
86 Em :)

Emelly tersenyum menyudahi SMSan singkatnya dengan Ray, dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya. Dia melihat jam yang tertera di layar handphone, sudah pukul 05.50 dan dia belum mandi. Emelly segera menyelesaikan masakannya, kemudian pergi mandi dan bersiap untuk sarapan.

Ket:
kode kepolisian  813 : selamat bertugas
kode kepolisian  86   : dimengerti

Selasa, 23 Oktober 2012

Kehilangan Rasa Kehilangan Bagian 6

Suasana malam kompleks Puri Dharmawangsa sepi, hanya terlihat sekumpulan bapak-bapak yang sedang berkumpul di pos kampling ujung jalan Blok B. Walaupun baru pukul delapan malam, mereka sedang nonton bareng pertandingan bola Arsenal VS Manchester United yang kedudukannya masih kosong sama di menit ke tiga puluh sembilan. Salah satu warga yang rumahnya dekat dengan pos kampling dengan sukarela memindahkan televisinya ke pos kampling, agar agenda nobar tetap terlaksana. Mereka tersenyum pada Emelly yang sedang berjalan menuju taman kompleks, disebelahnya berjalan Ray dengan tangan kiri di saku celana. Lencana POLRI berwarna emas mengkilat menempel di dada kirinya, bet dikanan dan kiri bahunya menunjukkan pangkatnya sebagai seorang Ajun Inspektur Dua atau AIPDA, sedang name tag RAY WIBISONO berada di dada kanan.

"Errr... lo sekarang pake kerudung Em?" Ray memecah keheningan malam. Mereka cukup lama terdiam saat duduk bersama di bangku taman, kali ini di sebelah kanan sisi taman, dekat dengan ayunan.
"Iya, setelah lulus SMA. Lo juga. Gimana bisa jadi polisi gitu?" jawab Emelly memandang ayunan, kedua tangan ditangkupkan di atas lutut.
"Ceritanya panjang." Ray menyandarkan tubuhnya ke bangku.
"Oh."
"Cuma oh doang?" Ray memandang ekspresi datar Emelly, disamping kirinya. Mengharapkan respon Emelly yang lebih.
"Terus gue mesti ngapain?" matanya masih menatap ayunan. Dia masih tidak percaya, baru saja semalam dia berbincang dengan bayangan Ray di taman itu. Lalu sekarang dia benar-benar berbincang Ray, Ray yang mengenakan seragam polisi, bukan dengan kaos dan topi yang dia biasa kenakan saat masih SMA.
"Ya tanya dong, gimana ceritanya gue bisa jadi polisi." gerutu Ray. Dia berusaha menghilangkan semua perasaan canggungnya. Padahal sudah sekitar enam tahun dia tidak berbicara akrab dengan Emelly. Emelly terdiam.
"Em, kok diem aja?"
"Lo bagus pake seragam polisi kaya gitu, nggak kurus kaya waktu SMA dulu."
"Oh ya? Keren nggak?" Ray tertawa. Emelly tersenyum, lalu meliriknya.
"Gue boleh tanya sesuatu Ray?" Emelly sudah tidak sabar ingin menanyakan sesuatu yang dari kemarin mengganggu pikirannya.
"Apa?"
"Beberapa hari yang lalu gue habis ke kantor Satlantas buat jemput adik gue yang kecelakaan, terus disana gue ketemu sama.."

"Han." Ray memotong ucapan Emelly. "Lo ketemu sama kembaran gue."
"Kembar? Jadi selama ini lo kembar?" ucap Emelly tak percaya.
"Han sama gue tuh kembar identik. Dia lahir dua menit setelah gue lahir." Ray menjelaskan.
"Kok waktu SMA dia nggak sekolah bareng kita? Lo juga nggak pernah cerita kalo lo kembar, lo cuma cerita kalo lo punya satu adik cowok dan  adik cewek."
"Han kan emang adik gue, ya walaupun kita kembar. Waktu umur enam bulan, Han dibawa sama budhe gue yang tinggal di Semarang. Mereka udah lama nggak punya anak.  Terus gue sama adik cewek gue yang tinggal sama ortu di Bandung."
"Terus, gimana bisa sekarang lo sama Han disini?"
"Han sekolah taruna polisi di Ambarawa. Ortu minta gue juga daftar jadi polisi, biar bareng sama Han. Ya udah, gue nurut aja walaupun sebenernya gue pingin jadi arsitek. Setelah lulus SMA gue nyusul Han ke Semarang, dan ikut pendidikan taruna polisi bareng dia. Selesai pendidikan, Han ditempatin di Polres Wonosobo, dan gue di Polres Magelang. Karena suatu hal, dia di mutasi ke bagian Lantas." jelas Ray panjang lebar.
"Terus?" Emelly menunggu kelanjutan cerita Ray.
"Setahun lalu dia di mutasi ke Satlantas Pusat, ya karena gue masih di Magelang, dia ajak ibu dan adik gue pindah dari Bandung ke sini. Kasian kalo mereka berdua mesti berdua doang di Bandung."
"Ayah lo?"
"Ayah meninggal karena kecelakaan 3 tahun yang lalu Em."
"Oh, maaf. Gue ikut berduka cita Ray."
"Iya, makasih."
"Ehh, kok bisa nama lo sama Han beda banget gitu? Bukannya kalo kembar biasanya namanya mirip gitu ya? Barusan lo juga bilang kalo Han dibawa sama budhe lo umur enam bulan, berarti yang ngasih nama ortu lo dong?" cerocos Emelly penasaran.
"Jadi gini, ortu gue pingin kasih nama anaknya dengan nama Raihan, yang artinya angin surga. Nah ternyata kita lahir kembar, yang satu dikasih nama Ray dan yang satunya Han. Kayak gabungan gitu."
"Ohh." Emelly mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti.
"Sekitar enam bulan yang lalu Han nikah sama orang Bandung, gue kesana. Gue sempet ke rumah lo, tapi kata tetangga lo, lo udah lama pindah."
"Iya, gue pindah ke sini ikut ayah yang pindah tugas, sekitar empat tahun yang lalu."
"Oh, jadi setelah lulus SMA, ayah lo pindah tugas kesini?"
"Iya."

"Gimana kabar lo sama Fira?" tanya Emelly setelah cukup lama mereka kembali terdiam.
"Gue belum lama putus sama dia, ya sekitar setengah tahun yang lalu."
"Kenapa?"
"Dia selingkuh. Nggak tahan kali gue tinggal kelamaan di Magelang."
"Gue kira lo malah udah nikah sama Fira."
"Pacaran lama nggak menjamin bisa sampe pelaminan Em."
"Gitu ya?"
"Yaa gitu lah. Kalo lo sendiri, sekarang calon lo siapa?"
"Gue... gue masih single."
"Oh.." Ray terdiam sebentar, lalu berkata, "Maafin gue Em."
"Maaf kenapa?" Emelly menoleh ke arah Ray, setelah lama berbicara tanpa memandang Ray.
"Maaf karena gue nggak bisa nolak permintaan Fira buat jauhin lo. Dia cemburu sama persahabatan kita dulu."
"Iya gue ngerti Ray. Gue ngerti banget posisi lo dan Fira saat itu, apalagi waktu itu kita masih kelas 3 SMA. Ya, masih labil-labilnya." mata Emelly berkaca-kaca. "Gue cuma kecewa aja lo tiba-tiba jauhin gue, lo nggak ngomong sama gue kalo Fira nggak suka sama persahabatan kita. Waktu itu gue bingung Ray, awalnya kita masih baik-baik aja. Terus tiba-tiba lo main jauhin gue, nggak mau ngomong sama gue, bahkan tatapan lo ke gue dingin banget."
"Maafin gue Em." kata Ray, meraih tangan Emelly. Emelly terkesiap, berhadapan dengan Ray. Air matanya menetes tak tertahankan lagi. Ray mengusap air mata Emelly. Emelly melepaskan genggaman tangan Ray, berpaling.

Setelah Emelly cukup lama mengurai air mata, terkenang waktu dijauhi oleh Ray, dia berusaha mengendalikan perasaannya.
"Lo juga jahat Ray, setelah lo jauhin gue, no hp lo ganti. Sedih rasanya waktu inget lo, tapi gue nggak bisa hubungin lo."
"Iya gue salah, gue minta maaf. Dulu Fira minta gue buat ganti no, dia sengaja biar temen-temen gue nggak bisa hubungin gue lagi. Makanya waktu gue di pindahin ke Polsek Jatibarang, terus gue ketemu sama ayah lo, gue seneng banget. Gue langsung tanya kabar lo sama Pak Fauzi, terus gue minta alamat lo."
"Lo nggak tau kan gimana kaget dan bingungnya gue waktu ketemu sama kembaran lo itu? Gue kira itu lo, tapi kenapa dia nggak kenalin gue. Waktu liat nametag di seragamnya pun bukan nama lo." cerocos Emelly dengan intonasi tinggi.
"Maafin gue Em."
"Maaf.. maaf. Kalo minta maaf berguna, buat apa ada polisi?" jawab Emelly masih kesal. Ray tersenyum.
"Lo nggak berubah ya, selalu ngomong kayak gitu kalo ada orang yang minta maaf." Emelly tidak menanggapi. "Please maafin gue ya, jangan marah lagi dong Em. Kaya anak kecil aja lo main ngambek gitu." ledek Ray.
"Ya udah, lo gue maafin. Asal lo nggak tinggalin gue lagi, ehh.." kata Emelly keceplosan, lalu menutup mulutnya.
"Hahahaha.... iya iya, tenang aja Em. Gue bakal nebus semua kesalahan gue dulu. Gue yang udah jauhin lo, gue yang udah tinggalin lo tanpa kabar." kata Ray.
Emelly menatap Ray, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Ray tersenyum. Rambutnya yang cepak sangat berbeda dengan potongan rambutnya saat SMA. Dia terlihat sangat gagah, dan tentu saja tampan.
"Udah malem Em, yuk pulang. Ntar lo dimarahin Pak Fauzi lagi, gue juga mesti udah ditungguin ibu."
"Loh? Katanya ibu lo sama Han dan adik cewek lo."
"Han sekarang tinggal bareng sama istrinya lah, lo lupa ya sama cerita gue tadi?"
"Oh iya gue lupa, hehe. Ya udah yuk pulang." jawab Emelly yang sudah bisa kembali mengakrabkan diri pada Ray, dia sudah memaafkan semua kejadian di masa lalu.
Di jalan pulang menuju rumah Emelly, tak lupa Ray meminta nomor handphone Emelly. Lalu mereka bercanda dan mengenang saat mereka bermain bersama dulu SMA.

***

Emelly bingung, menoleh kesana kemari. Di area parkiran sekolah sudah sepi, hanya tersisa motornya dan motor Pak Nardi, satpam sekolah. Dia meraih setangkai mawar merah yang diletakkan di atas jok motornya. Lalu membuka kertas yang disematkan di plastik pembungkusnya.

Bunga mawar itu ibarat kamu..
Jika berupa kuncup aku penasaran karenanya
Setelah mekar aku tau bahwa cantiknya dirimu
Dan bau harum yang kau tebarkan
Menandakan baiknya dirimu
Yang selalu membawa kedamaian

P.S   I Love You

"Siapa sih? Hari gini masih sok misterius gini." Emelly memasukkan bunga itu ke dalam tas yang disampirkan ke bahunya. Meraih helm dan memakainya, menyetater motor lalu berlalu meninggalkan area SMA Bina Karya.
Sedang dari kejauhan, tepatnya di parkiran khusus siswa, seorang remaja laki-laki, mengenakan seragam Pramuka, tersenyum menyaksikan kepergian Emelly. Dia senang bisa mengutarakan perasaannya pada orang yang disukainya, walaupun harus dengan cara sembunyi-sembunyi. Dia tidak cukup berani untuk mengekspresikan rasa sukanya secara terang-terangan.

***

"Assalamualaikum." Emelly membuka pintu rumahnya.
"Wa...alaikum...sss..alam.." jawab Dira dengan mulut penuh, mengunyah makan siangnya.
"Makan apa lo?" tanya Emelly mencopot sepatu pantofel hitamnya, melangkah ke rak sepatu di sebelah kanan meja makan, di bawah tangga menuju loteng jemur pakaian.
"Lo tadi masak apa coba? Adanya capcay sama ayam goreng ya gue makan aja. Laper mbak." jawab Dira melangkah ke tempat cuci piring, masih terpincang-pincang.
Emelly masuk ke kamar, mengganti pakaian batiknya dengan kaos biru tua dan celana panjang training warna hitam. Dia membuka ikat rambutnya, menyisir rambutnya yang panjang sepinggang, mematut diri di cermin.
"Kayaknya mesti di potong deh, biar nggak kepanjangan nih." ujar Emelly di depan cermin, menyanggul rambutnya dengan sumpit rambut. Dia keluar kamar membawa bunga mawar merah yang dia temukan tadi disekolah, memberikannya pada Dira yang menonton televisi.
"Dek, tadi ada yang naruh ini di jok motor gue."
"Emang dari siapa?" tanya Dira ingin tahu, membuka kertas yang tersemat. "Cieeeee.... Mbak Nida punya secret admirer nih yeeee..." ledek Dira, padahal Emelly baru saja akan menjawab pertanyaannya.
"Tau tuh dari siapa, hari gini masih jaman ya rahasia-rahasiaan gitu?" kata Emelly sambil memulai makan siangnya.
"Hahahaha.. jangan-jangan ini dari Pak Soni mbak, lumayan tuh guru olahraga. Masih muda kok." Dira terbahak, lanjut meledek Emelly.
"Apaan sih lo?" Emelly merengut, menyuapkan nasi.
"Atau jangan-jangan dari Pak Gunawan, dia belum nikah lo mbak." Dira tak henti-hentinya meledek Emelly.
"Ih,, amit-amit deh. Bujang lapuk kaya gitu. Ogah gue, kaya nggak ada bujangan yang lebih oke aja." Emelly bergidik. Dira terbahak lalu membaca kertas berisikan puisi yang tersemat di bunga, dia memutar otak. Mencoba mengingat-ingat tulisan siapa itu, namun tak kunjung diingatnya. Tulisan yang agak familiar baginya.

Kehilangan Rasa Kehilangan Bagian 5

Dira meraih handphone, melihat pukul 14.00 tertera di layar. Dia menghela nafas, merasakan penat yang memenuhi dirinya. Bosan sekali rasanya seharian hanya menonton televisi, tidak ada yang bisa dia lakukan karena kakinya masih sakit. Untuk berjalan saja dia kesusahan, untuk kesekian kalinya dia mengoleskan gel pereda memar yang diberikan kakak perempuannya. Kemudian meraih remote control, mematikan televisi. Dia beranjak menuju ruang tamu, dibukanya pintu utama rumah. Angin menerpa wajahnya, terasa agak panas. Padahal Dira hanya memakai kaos tanpa lengan warna krem dengan celana training selutut, kulitnya yang sawo matang sedikit terlihat kering. Rambutnya yang lurus terpotong rapi dia acak-acak, kemudian dia benarkan lagi poninya yang sedikit mengganggu mata.
Dira duduk di kursi yang ada di teras rumah, melihat mushola yang sepi. Jalan depan rumahnya pun lengang, tidak ada satu pun penjual jajanan yang lewat. Biasanya tukang somay, bakso, bakpao, sampai es krim dengan logo gambar hati selalu lewat depan rumah. Tiba-tiba tiga sepeda motor lewat, kemudian berhenti di depan rumahnya. Enam remaja berseragam identitas SMA Bina Karya, atasan hijau alpukat dengan bawahan hijau lumut, yang sepertinya mencari alamat. Salah satu melepas helm hitamnya dan berkata, "Setau gue sih yang ini rumah Dira."

"Hei,, pada ngapain lo disini?" Dira beranjak dari kursinya, menyadari sosok yang melepas helm adalah Agung, teman sekelasnya. Lalu mendekati pintu gerbang, membukakan grendel dan menggeser gerbang.
"Ya ampun, kenapa lu sob?" tanya Agung turun dari motor, membonceng Arga yang kemudian membuka helmnya.
"Udah sini pada masuk dulu, daripada kepanasan. Ntar gue ceritain." kata Dira mempersilahkan teman-temannya.
Arga, Yogi, dan Yudha, masuk memarkirkan motor ke halaman rumah Dira yang terbuat dari paving blok, persis di depan garasi rumahnya yang tertutup. Lalu Kinanti dan Widya yang membonceng Yogi dan Yudha turun dari motor, mencopot helm.

Kinanti memandang rumah Dira yang tidak terlalu besar, terasnya yang sederhana, dengan dua kursi yang terbuat dari rotan. Lantainya berwarna putih bermotif, serasi dengan warna cat rumahnya yang berwarna abu-abu. Ada undak-undakan yang harus di lewati sebelum mencapai teras, karena memang rumah Dira tanahnya lebih tinggi dibanding garasinya yang seperti basement, tepat dibawah kamar Dira. Persis di depan rumah, rumput hijau terpotong rapi, dengan sekumpulan sansievera yang tumbuh berjejer di bawah jendela kamar ayah Dira. Lampu taman berbentuk bulat berdiri di pojok kanan menambah cantik halaman. Sederhana dan asri, itulah kesan yang teman-teman Dira tangkap saat pertama kali melihat-lihat tampak depan rumahnya.
"Silakan masuk temen-temen, ya gini lah keadaan gubuk gue." Dira mempersilakan teman-temannya masuk ke ruang tamu. Yogi, Yudha, Agung, dan Arga langsung duduk di kursi tamu. Sedang Kinanti dan Widya masih melepas sepatu di teras.
"Asyik kok Ra, sejuk dan nggak panas. Rumahnya menghadap ke timur sih." kata Kinanti yang baru saja memasuki ruang tamu. Dia melihat sekeliling yang kursinya sudah penuh dihuni semua teman laki-lakinya. Dengan segera Arga turun dan duduk lesehan, lalu mempersilakan Kinanti duduk. Kemudian disusul Yogi yang tubuhnya lebih besar dibanding yang lain, mempersilakan Widya yang memakai kerudung hijau lumut menggantikan tempatnya.

"Eh, mau minum apa nih. Gue bikinin dulu ya." kata Dira yang sedari tadi masih berdiri.
"Apa aja deh, yang penting dingin." kata Yudha, teman Dira yang kulitnya coklat eksotis, mirip Taylor Lautner pemeran Jacob di Twilight Saga.
"OK. Ar, bantuin gue." Dira beranjak ke dapur. Membuka lemari geser berisi gelas yang ada di bawah kompor gas. Arga menyusul Dira, yang kemudian membantu mengambilkan air dingin dari kulkas.
"Sini gue aja yang anterin ke temen-temen Ra, nampannya dimana?" kata Kinanti. Tiba-tiba muncul diantara Arga dan Dira yang sedang membuat sirup leci.
"Ehh, itu di lemari atas. Pintu kedua dari kiri. Buka aja." kata Dira.
Kinanti mengambil nampan ke tempat yang ditunjukkan Dira. Dia sengaja membantu Dira, sudah sejak awal pertama masuk kelas XI dia suka pada Dira. Oleh karena itu, saat mengetahui Dira absen masuk sekolah karena kecelakaan, Kinanti lah yang antusias mengajak Arga dan teman-teman untuk menengok Dira.

"Lo kecelakaan kapan sob? Bukannya lo kemaren terakhir futsal bareng gue?" Arga membuka percakapan setelah tidak berapa lama mereka menikmati minuman dan makanan ringan yang disuguhkan Dira.
"Kemaren malem Ar, pas gue balik dari futsal itu."
"Terus, ada yang luka sampe lo susah jalan gitu?"tanya Yogi.
"Nggak, cuma memar aja nih kaki gue kejatuhan motor."
"Ooh.. emang lo jatuh dimana si?" tanya Yogi lagi, menyeruput minumannya.
"Lo tau perempatan Jensud itu kan?" jawab Dira duduk dengan posisi kaki diluruskan.
"Iya.. (kraukk..kraauk...) gue tau." jawab Arga sambil mengunyah keripik singkong.
"Gue kan mau belok ke kanan tuh, padahal udah nyalain lampu sent. Eh tau-tau ada yang nyalip gue, ya gue ngindar lah. Jatuh deh akhirnya." Dira menceritakan.
"Yang nyalip lo ketangkep nggak?" tanya Yudha.
"Kurang tau gue, pas itu sih gue ditolongin polisi yang jaga deket situ. Terus polisi satunya ngejar yang nyalip gue." jawab Dira.
"Eh, bentar. Lo kecelakaan di perempatan Jensud semalem ya?" Kinanti bertanya.
"Iya, kenapa emang?" kata Dira sambil mencomot biskuit cokelat.
"Jangan-jangan polisi yang nolongin lo kakak gue. Akhir-akhir ini dia jaga di situ." kata Kinanti.
"Kakak kamu yang tugas jadi polisi lalu lintas itu ya?" tanya Widya yang akhirnya membuka suara, dia memang bicara seperlunya. Dira menyukainya, karena Widya orangnya kalem dan yang paling penting karena Widya memakai kerudung.
"Iya." jawab Kinanti singkat.
"Emang kakak lo itu siapa Nan?" tanya Dira.
" Namanya Handika, gue biasa manggil Mas Han."
"Oooohh.. ya. Bener banget, dia yang nolongin gue semalem. Sampein makasih gue yah Nan. Gue semalem lupa bilang makasih." kata Dira sambil tersenyum.
"Iya, Ra." Kinanti membalas senyuman Dira, hatinya senang.

Terdengar suara motor Emelly memasuki halaman rumah, dia sudah mengira teman-teman sekelas adiknya akan datang menengok. Dia memasukan motor ke garasi, lalu masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam." seluruh penghuni ruang tamu seketika menoleh ke arah pintu. Arga yang baru saja menyuapkan kripik singkong ke bibirnya, dia jatuhkan saat melihat Emelly. Dia sangat terkejut mendapati sosok guru Bahasa Inggris barunya ada disitu.
"Kok Miss ada disini?" Kinanti bertanya sambil menyalami Emelly. Emelly menyalami Widya, Agung, Yudha, serta Arga dan Yogi yang seketika bangun dari duduk lesehannya.
"Iya Miss."Agung mengiyakan dengan wajah bingung, menunggu jawaban Emelly. Arga masih berdiri memandang Emelly, tidak menyangka bisa bertemu Emelly disini.
"Hehe, jadi gini temen-temen. Maap nih yee sebelumnye.. Jadi, Ms. Emelly ini sebenernya kakak gue." Dira menjelaskan.
"Itu Dira udah kasih tau, saya masuk dulu ya. Silakan di terusin dulu ngobrol-ngobrolnya." Emelly tersenyum, berlalu meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya.
"Aduh..!!" Dira mengaduh karena dipukul lengannya oleh Arga.
"Kok lu nggak ngomong dari awal si kalo Ms. Em itu kakak lu?" seru Arga pada Dira.
"Iya Ra, pantesan aja kamu kemaren berani ngledekin beliau masih kaya tujuh belas tahun." kata Widya, yang kali ini buka suara lagi.
"Hehe, sory deh teman-temanku sebangsa dan setanah air. Masalahnya, ya biar profesional aja gitu, Mbak Nida ya guru gue kalo disekolah, terlepas kalo dia sebenernya kakak gue."
"OK, alasan lo gue terima." kata Arga tersenyum, dia senang. Benaknya merencanakan sesuatu.

***

"Oh ya Da, di kantor ayah ada anggota baru, mutasi dari Polres Magelang. Dia bilang dia teman SMA kamu, dia masih inget wajah ayah pas dulu ambil rapormu." kata Pak Fauzi membuka percakapan selepas makan malam.
"Oh ya? Emang siapa?" jawab Emelly tak begitu tertarik, menyelesaikan cuci piringnya.
"Gooooooooooollll...." suara Dira yang asyik menonton pertandingan bola mengagetkan Emelly dan ayahnya.
"Ntar katanya mau kesini, ayah udah kasih alamat kita." jawab Pak Fauzi tertarik dengan apa yang ditonton Dira. Beringsut mendekati televisi.

Tok..tok..tok...!!

Tak lama berselang, terdengar suara pintu rumah Emelly diketuk. Pak Fauzi dan Emelly di dalam kamarnya masing-masing, dengan terpaksa Dira beranjak dari depan televisi. Masih terpincang-pincang, membukakan pintu rumah. Tepat dihadapannya seorang polisi, yang memegang kertas kecil. Dira tersenyum, mengenal sosok didepannya sebagai Briptu Handika.
"Wah, mas udah tau rumah kita ternyata. Nyari Ayah ya mas? Silakan duduk dulu, saya panggilkan sebentar." cerocos Dira tanpa memperdulikan polisi didepannya yang ingin mengucapkan sesuatu.
"Yah, ada tamu tuh." seru Dira mendekati kamar ayahnya yang terletak di belakang tempat menonton televisi. "Oh ya mas, makasih ya udah nolongin saya kemarin." kata Dira mengucapkan terimakasih pada polisi yang duduk di ruang tamu. Dia diam, wajahnya sedikit bingung.
"Eh, udah sampe. Nggak nyasar kan?" kata Pak Fauzi keluar dari kamar, sudah berganti kemeja biru tua dengan celana kain hitam. Lalu menyalami polisi itu.
"Alhamdulillah nggak pak, tadi tanya sama satpam yang jaga di pintu masuk." jawab sang polisi.
"Nggak langsung pulang dulu apa? Kok masih pake seragam? Nggak ada piket kan hari ini?" tanya Pak Fauzi.
"Saya piket besok malem pak. Nanti sekalian pulang dari sini, baru saya pulang ke rumah. Emelly nya ada pak?" tanya si polisi lagi.
"Oh ya sebentar, saya panggilkan." Pak Fauzi mendekati pintu kamar Emelly. "Da, ini temen SMA mu yang tadi ayah ceritain udah dateng." kata Pak Fauzi sambil mengetuk pintu.
"Iya sebentar Yah." suara Emelly dari dalam kamar.
"Saya tunggu di teras ya pak." kata si polisi lagi.
"Eh iya, ditunggu dulu sebentar." jawab Pak Fauzi.

"Mana Yah orangnya?" kata Emelly keluar dari kamar, sudah memakai kerudung merah muda dan kaos lengan panjang berwarna abu-abu. Bawahannya rok dengan warna merah muda yang lebih lembut.
"Itu di teras." jawab Pak Fauzi melanjutkan menonton televisi.
"Cieeee... Mbak Nida ternyata udah lama kenal sama Briptu Handika. Kemaren pake pura-pura kenalan segala." seru Dira.
Emelly bingung, lalu berlalu ke teras, tidak menanggapi apa yang dikatakan Dira.
"Itu bukan Briptu Handika, Zan. Tapi kakaknya." kata Pak Fauzi, sayang Emelly tidak mendengarnya.
"Kakaknya?" Dira bingung.

"Hmm.. " Emelly berdehem, dia melihat seorang polisi yang duduk di teras depan rumah, memunggunginya.
"Hai Em, long time no see." polisi itu beranjak dari duduknya. Lalu berbalik memandang Emelly, tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya yang rata.
Kornea mata Emelly melebar, wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya, lalu berkata lirih.

"RAY...".

Senin, 22 Oktober 2012

Kehilangan Rasa Kehilangan Bagian 4

"Sini mbak obatin dulu kaki mu yang memar Zan." kata Emelly setelah sampai di rumah sepulang dari kantor Satlantas.

Emelly membuka pintu rumah, melihat jam dinding di atas daun pintu rumahnya yang menunjukkan pukul sembilan malam. Lantas bergerak menuju kotak obat yang menempel di ruang keluarga berwarna salem. Mengambil kapas, antiseptik, dan gel pereda memar. Dira memasuki rumah sambil dipapah Pak Fauzi, berjalan dengan sedikit terpincang-pincang, lalu didudukkan di kursi tamu. Pak Fauzi berlalu ke kamarnya sementara Emelly berjongkok di depan meja tamu, menuang antiseptik ke dalam mangkok berisi air bersih, mengoleskannya ke lutut kanan dan tulang kering Dira.
"Aduuuuh!! Pelan-pelan ngapa sih lo! Sakit tau nggak sih gue." Dira menjerit kesakitan.
"Fauzan... yang sopan. Sejak kapan kamu jadi ber gue-elo sama mbak mu?" Pak Fauzi tiba-tiba keluar dari kamar, telah berganti kaos abu-abu dan mengenakan sarung bermotif kotak-kotak, senada dengan warna atasannya. Duduk di ruang tamu, mengawasi Emelly yang mengobati adiknya.
"Sukurin." mulut Emelly bergerak-gerak tak bersuara, meledek Dira yang meringis kesakitan.
"Maaf yah, Fauzan kan reflek ngomong gitu, habis mbak Nida nggak pake perasaan gitu sih ngobatinnya. Kan sakit Yah." jawab Dira membela diri, lalu menjulurkan lidahnya ke Emelly.
"Memarnya lumayan lebar nih Zan, mbak kasih thrombo gel aja ya. Ntar kamu olesin lagi sendiri kalo tiap habis mandi, pokoknya tiap gelnya udah kering." kata Emelly sambil mengoleskan gel pereda memar.
"Iya mbak, sini aku olesin sendiri aja. Mbak istirahat aja sana." kata Dira seraya meminta gel yang ada di tangan Emelly. Emelly berdiri, menuju dapur. Hendak memasak sesuatu.
"Kita kan belum makan malam, mbak masakin fuyung hai aja ya." usul Emelly.
"Tempe goreng Da, jangan lupa." celetuk Pak Fauzi sambil membaca koran.
"Iya yah, tenang aja, itu kan menu wajib keluarga kita." jawab Emelly sambil mengambil beberapa buah telur dari kulkas kemudian mengiris kobis dan wortel.
"Sampe-sampe muka kita mirip tempe ya mbak?" kata Dira cengengesan, berjalan agak pincang menuju kamarnya yang tepat disamping kamar Emelly. Emelly hanya tertawa ringan, diiringi senyum simpul Pak Fauzi.

Emelly menghidangkan sepiring fuyung hai dan tempe goreng di meja makan, tak lupa saus asam manis yang penuh bawang bombay dan kacang polong kesukaan Dira. Biasanya dia guyurkan di atas fuyung hai. Pak Fauzi segera duduk dan menunggu Emelly mengambilkan nasi, sedang Dira masih belum keluar dari kamarnya.
"Raaaa!! Cepetan makan, udah malem. Ntar dingin loo." teriak Nida. Pak Fauzi memulai suapan pertamanya, tidak berkomentar.
Emelly mengambil nasi, mencomot tempe, lalu beranjak ke kamar Dira yang tidak menyahut. "Dek, makan dulu, kamu belum makan lo." kata Emelly di depan pintu kamar Dira.
Menunggu suara dari kamar Dira yang tak kunjung muncul, Emelly membuka kenop pintu. Ternyata tidak dikunci. Dira sudah terlelap.
"Hmm, belum makan malah udah tidur. Udah dibikinin makanan kesukaannya juga" gerutu Emelly melangkah ke meja makan, memulai makan malamnya.
"Udah biarin aja, dia mesti kecapekan Da. Besok kan bisa dimakan pas sarapan." Pak Fauzi menyendok dua suapan terakhirnya.
"Iya Yah." Emelly menyahut, sambil mengunyah, menyelesaikan makan malamnya. Sedang Pak Fauzi sudah selesai, kemudian duduk di ruang keluarga samping kanan meja makan. Berhadapan dengan ruang tamu, dengan latar belakang dapur dan lemari cokelat di atasnya, menempel di dinding. Beliau menyalakan televisi.

***

Emelly sulit memejamkan mata, padahal jam weker di meja samping kanan tempat tidurnya telah menunjukkan pukul 22.30. Setiap menutup mata, bayangan wajah Briptu Handika muncul, diselingi dengan bayangan-bayangan Ray waktu SMA. Emelly terbangun, lalu beranjak turun dari tempat tidurnya. Mengambil kerudung hitam langsungan, dan jaket merah abu-abu yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Dia segera memakainya, mematut diri di cermin sebentar lalu membuka pintu kamarnya.
Ternyata lampu di ruang tamu sudah dimatikan, baik ayahnya dan Dira sudah terlelap di kamar masing-masing. Emelly membuka pintu rumahnya, keluar dan kembali menguncinya. Dia membuka grendel pintu gerbang yang berwarna hitam mengkilat, lalu melangkah ke taman kecil masih dalam kompleks perumahan. Dia berjalan melewati beberapa rumah tetangganya, melewati pos kampling di ujung jalan blok B. Ternyata masih ramai di huni bapak-bapak yang asyik mengobrol di sela kegiatan ronda. Emelly menyapa mereka sejenak, berbasa-basi kemudian belok ke kiri. Tidak sampai sepuluh langkah, taman kecil di kompleks Puri Dharmawangsa sudah terlihat. Sepi, tanpa satu orang pun.
Taman berukuran sekitar 30 x 30 meter ini cukup cantik, dengan rumput hijau terhampar dan beberapa buah lampu taman berbentuk bulat telur di setiap sisinya. Bangku taman bercat hitam dengan sandaran pun tersedia di lima tempat, menyebar tak beraturan. Dua ayunan berwarna biru dan merah terletak berdampingan di sebelah kanan taman. Lalu sebuah perosotan dan papan jungkat-jungkit terletak berhadapan dengan ayunan. Taman ini sering dipakai warga kompleks rumah Emelly untuk bermain anak-anak di sore hari, tak jarang banyak juga tetangga Emelly yang mengajak anak mereka yang masih balita untuk bermain bersama kawan sebayanya.
Emelly menuju sebuah bangku di sebelah kiri taman, tidak terlalu jauh dari jalan utama kompleks perumahan yang terbuat dari paving blok. Dia menghela nafas, mendongakkan kepalanya, memandang langit yang hitam kelam tanpa ada satupun bintang. Teringat lagi olehnya peristiwa tadi di kantor Satlantas, bagaimana saat dia berhadapan dengan Briptu Handika. Lalu tiba-tiba bayangan bersama Ray muncul, saat mengunjungi sebuah pameran karya seni, dia dan Ray membuat sepasang gelang yang terbuat dari bambu berukirkan nama mereka.
"Coba lo sekarang ada disini Ray, gue pingin cerita." gumam Emelly.

"Cerita aja lagi, kaya nggak biasanya."
Emelly menoleh ke samping kanannya, Ray sudah berada disana. Mengenakan kaos putih dan topi hitam, persis sama dikenakannya saat mengunjungi pameran. Duduk bersandar disamping kanan Emelly, menghadap ke depan.
"Lo pergi kemana aja sih?" Emelly menatap sosok Ray didepannya.
"Gue nggak pernah pergi Em, gue selalu ada di hati lo." jawab Ray tersenyum. Emelly diam mengiyakan, hanya membalas senyuman Ray. Lalu melirik tangan Ray, gelang bambu bertuliskan EMELLY masih menghiasi pergelangan tangannya.
"Lo masih pake gelang itu?" tanya Emelly.
"Tentu aja, kan dulu kita udah janji, kalo gelang ini nggak boleh ilang." Ray mengubah posisi duduknya, menghadap Emelly.
Sejenak Emelly membalas tatapan Ray, lalu menghadap ke depan tak menghiraukan Ray yang masih menatapnya. Perasaan menyesal tiba-tiba muncul karena Emelly telah membuang gelang bambu bertuliskan RAY ke danau dekat tempat tinggalnya dulu di Bandung.
"Gue kangen lo Ray." ucap Emelly, matanya berkaca-kaca. "Gue pingin lo balik dan ada buat gue sekarang, lo mau ka...."

Belum sempat Emelly menyelesaikan kata-katanya, saat dia menoleh, Ray menghilang dari pandangannya. Ternyata tadi hanya pikirannya saja yang menghadirkan sosok Ray dihadapannya. Emelly menunduk, terisak. Dadanya sesak, hatinya terasa sakit sekali, rindu ibunya, rindu Ray.

***

Keesokan harinya, seperti biasa Emelly mengawali paginya dengan shalat shubuh berjama'ah bersama ayahnya di mushola Baitul Karim. Namun pagi ini Dira absen, karena dia masih susah untuk berjalan dan berlutut saat posisi sujud, sehingga dia shalat dengan cara duduk dan kakinya diselonjorkan di tempat tidur. Dira juga absen berangkat sekolah hari ini karena memar di tulang keringnya sedikit lebih parah dari kemarin.
"Ayah berangkat ke kantor dulu ya Da. Kamu hati-hati dijalan nanti ke sekolahnya. Oh ya, ini buat benerin lampu motormu." Pak Fauzi berpamitan setelah menyelesaikan suapan terakhirnya, kemudian mengambil dompet dan memberikan selembar lima puluh ribuan.
"Hmm, nggak usah Yah. Nida masih ada uang kok." Emelly menolak dengan halus.
"Udah nggak papa, buat jajan kamu juga. Lama ayah nggak kasih kamu uang jajan." Pak Fauzi memaksa.
"Hehe, ya udah deh kalo ayah maksa. Makasih Yah." Emelly nyengir sambil menerima uang yang diberikan ayahnya.

"Buat jajan Dira mana Yah?" Dira tiba-tiba muncul dari kamarnya, masih terpincang-pincang.
"Halah... kamu kan hari ini istirahat di rumah, jadi nggak jajan kan? Ayah berangkat dulu." Pak Fauzi berpamitan, tak lama berselang terdengar suara motor yang berlalu dari rumah Emelly.
"Ah, ayah mah pilih kasih. Giliran sama lo aja dikasih uang jajan, kan lo udah punya duit ndiri mbak." gerutu Dira saat berjalan menuju meja makan untuk sarapan.
"Hahaha, gitu aja ngambek lo. Eh lagian ya..... kalo lo nggak jatuh, itu motor nggak perlu dibenerin kan?". jawab Emelly sambil mengunyah suapan terakhirnya.
"Gue kan nggak minta naik motor lu mbak, lu ndiri yang nawarin kan? Jadi bukan salah gue dong." Dira masih menggerutu. "Hmm,, lumayan nih bukan nasi goreng lagi." lanjut Dira mengambil fuyung hai sisa tadi malam, lalu mengguyurkan saus asam manis ke atasnya.
"Lo juga nerima tawaran gue kan? Hehe, iya iya, gue yang salah. Kalo aja lo nggak naik motor kemaren, lo nggak akan kecelakaan." ucap Emelly terdengar menyesal, kemudian menyuci piring.
"Eh biasa aja lah mbak, gu...gue nggak nyalahin lo lagi. Na...namanya aja kecela..kaan, gue aja... yang nggak ati-ati." jawab Dira dengan mulut penuh.
"Iya iya, ya udah, nih dua puluh ribu buat beli pulsa. Jaga rumah baik baik." kata Emelly meletakkan uang dua puluh ribu di meja makan, lalu masuk ke kamarnya.
"Makasih mbak, ati-ati lo di jalan." jawab Dira memasukkan uang yang diberikan Emelly ke saku celananya.
"Iya, gue berangkat dulu. Assalamualaikum." kata Emelly keluar dari kamar, lalu berangkat mengajar.
"Sendirian deh." gumam Dira menyelesaikan sarapannya.

Minggu, 21 Oktober 2012

Kehilangan Rasa Kehilangan Bagian 3

Emelly mengemasi buku-buku di meja kerjanya, memasukkannya ke dalam tas. Dia bergegas meninggalkan ruang guru yang mulai sepi ditinggalkan penghuninya, hanya terlihat Pak Hadi dan Bu Titi yang terlihat sibuk mengoreksi tugas siswanya. Emelly berpamitan dan menyalami keduanya, tersenyum dan mengangguk takzim. Kemudian dia menuju pelataran parkir, memakai helm dan menyetater motornya. Motor matic hitamnya mulai melaju meninggalkan area SMA Bina Karya, menyusuri sepanjang Jl. Gatot Subroto, dan menuju Jl. Jend. Soedirman. Dalam benaknya ingin segera sampai ke toko yang menjual bahan membuat roti, lalu membeli segala keperluannya untuk membuat brownies. Sampai di perempatan lampu merah, kira-kira 250 meter tidak jauh dari toko yang dia tuju, Emelly berhenti menunggu lampu hijau menyala. Pandanganya dia sapukan ke segala arah, seperti pengendara motor berjaket kulit gelap di sebelah kanannya, lalu pos polisi di samping kiri jalan. Emelly seketika terhenyak dengan apa yang dilihatnya.

"Astaghfirullah, Ray." Emelly terkejut bukan main saat melihat sosok polisi lalu lintas yang terlihat sedang berdiri di samping pos polisi, mengawasi lalu lintas jalan. Polisi itu terlihat sangat lelah dan kepanasan, untuk kesekian kalinya dia mengusap keringat di keningnya. Dia sangat mirip dengan seseorang di masa lalunya. "Nggak mungkin Ray kembali, nggak mungkin." kata Emelly dalam hati.

Tiiiiiiiiiiinnn....!!!!!

Suara klakson mengagetkan Emelly yang masih menatap lekat sosok polisi itu. Dia tersadar, melihat ke arah lampu hijau yang menyala, kemudian dengan buru-buru menarik gas. Dia tidak enak pada pengguna jalan yang lain karena sempat mematung di jalan tadi. Emelly segera memarkirkan motornya di area parkir toko yang dia tuju tadi. Kemudian segera membeli apa yang dia butuhkan, dan berlalu meninggalkan toko itu menuju rumahnya.

Sesampainya di rumah, Emelly meletakkan barang belanjaanya di meja ruang tamu, lalu bergerak menuju kamarnya. Dia berganti pakaian, di pilihnya kaos lengan pendek berwarna cokelat dan celana hitam selutut. Pikirannya masih saja menampilkan bayangan wajah polisi yang dia lihat di jalan tadi. Dia merebahkan diri di tempat tidurnya. Perasaan senang menyeruak di hatinya, namun akal sehatnya cepat bereaksi.

"Nggak mungkin Ray kembali lagi. Dia udah pergi jauh dan bahagia dengan orang lain. Ray juga nggak mungkin jadi polisi." Emelly bergumam sendiri dalam kamarnya.

Kamar berukuran 3 x 4 meter, berwarna hijau pupus, dengan jendela yang terbuka separuh. Di dekat jendela terpampang rapi foto-foto di atas sebuah meja kecil. Fotonya bersama Dira, bersama ayah dan almarhum ibunya, serta foto mereka berempat semasa ibunya masih hidup. Ibunya meninggal satu tahun yang lalu karena penyakit kanker serviks. Saat itu Emelly masih semester 7, dia dikabari ibunya meninggal setelah selesai melaksanakan ujian praktek mengajar. Emelly tentu saja sangat kehilangan ibunya, tapi dia tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Dia sadar tugasnya menggantikan sosok ibu dalam rumahnya, untuk mengurus ayahnya dan Dira. Dia bukan gadis belasan tahun yang harus menangis terus-terusan saat kematian menjemput ibunya, walaupun hal tersebut tetap saja meninggalkan luka yang mendalam di hati.

"Mbak, udah pulang belum?" suara Dira yang mengetuk pintu kamarnya membangunkan Emelly yang tidak sadar sejenak tertidur. Dia terbangun dan beranjak dari tempat tidurnya, membuka pintu.
"Kenapa Zan?" jawabnya sambil mengikat rambutnya yang panjang sepinggang, Dira masih berdiri di depan pintu kamarnya. Mengenakan kaos berwarna orange-hitam dominan, dengan warna orange bertuliskan X.1 DIRA di dada kirinya.
"Gue berangkat futsal dulu ya, udah ditunggu temen-temen." jawabnya sambil memasukkan sepatu bola dan botol air mineral kedalam tas slempangnya.
"Main berapa jam emang? Lo udah makan?" Emelly berjalan keluar kamar, melangkah ke meja makan, menuangkan air putih kemudian meminumnya.
"Dua jam, kaya biasa. Ntar magrib juga udah nyampe rumah. Gue udah makan nasi goreng sisa sarapan tadi kok. Gue berangkat ya." kata Dira bersiap keluar rumah, menaiki sepeda kesayangannya.
"Lo nggak mau pake motor gue aja? Lumayan panas, kasian lo belum main udah kecapekan gara-gara naik sepeda." Emelly menawarkan.
"Aduuuhh... kakak gue pengertian banget si. Ya udah gih sono ambilin kontak motor lu." kata Dira senang, mengembalikan sepedanya ke garasi. Emelly masuk ke kamar, mengambil kontak motor lalu memberikannya ke Dira.
"Ati-ati di jalan ya, inget, lu belum punya SIM. Jadi lewat jalan yang sepi aja, ntar ketilang lagi." Emelly mengingatkan.
"Iya bawel, hehe." kata Dira menyetater motor, "Assalamualaikum." dan berlalu meninggalkan Emelly yang masih berdiri di teras rumah.
"Wa'alaikumsalam." jawab Emelly.
Adzan shalat ashar terdengar dari mushola depan rumah, Emelly segera masuk dan mengambil air wudhu, lalu bergegas menuju mushola dan melaksanakan shalat ashar berjamaah.

***

Selepas pulang shalat magrib berjamaah bersama ayahnya, Emelly mulai mengkhawatirkan Dira yang tidak kunjung menujukkan batang hidungnya. Tak henti-hentinya dia menghubungi Dira, karena SMSnya tak dibalas-balas.
"Sabar Da, bentar lagi mungkin Fauzan pulang. Lagi dijalan kali." kata ayahnya yang membaca buku di ruang tamu.
"Dia bilang magrib juga udah nyampe rumah Yah, ini udah mau isya juga belum keliatan." jawab Emelly cemas.
"Mungkin main dulu sama temen-temennya, dia kan cowok Da. Wajar kan nongkrong dulu, kamu nggak usah berlebihan gitu." ayahnya coba menenangkan.
"Iya juga ya Yah. Nida cuma takut Fauzan kenapa-napa." ucap Emelly.

Tak lama berselang, handphone Emelly menjerit, layarnya menampilkan sebuah nomor yang asing. Emelly mengerutkan keningnya, lalu menjawab telpon.
"Halo."
"Halo, bisa bicara dengan orang tua wali Andira Fauzan?" suara lawan bicara Emelly. Suaranya terdengar familiar. Emelly memandang ayahnya, lalu memberikan handphone.
"Ya dengan saya sendiri, ayahnya." jawab ayah Emelly.
"Begini pak, putra bapak mengalami kecelakaan. Sekarang sedang bersama kami di Kantor Satlantas Pusat." suara diseberang memberitahukan.
"Terus bagaimana keadaanya pak?" tanya ayah Emelly, namun dengan intonasi yang tenang.
"Alhamdulillah putra bapak hanya terkilir kakinya saja, silakan kami tunggu untuk dijemput."
"Baik pak, kami segera kesana. Terimakasih." ayah Emelly menutup percakapan di telpon.
"Ada apa Yah dengan Fauzan?" tanya Emelly cemas.
"Fauzan kecelakaan, sekarang di kantor Satlantas. Tapi alhamdulillah cuma terkilir kakinya. Kamu mau ikut kesana?" jawab ayahnya.
"Astaghfirullah, iya Yah, Nida siap-siap ganti pakaian dulu."

Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, Emelly keluar dari kamarnya mengenakan celana jeans hitam, jaket merah abu-abu dan kerudung abu-abu. Ayahnya sudah menunggu di ruang tamu, mengenakan celana hitam dan jaket hijau army. Mereka bergegas ke Kantor Satlantas Pusat.

***

Motor bebek buatan pabrik kenamaan Jepang melaju menuju Kantor Satantas, Pak Fauzi memboncengkan Emelly. Memasuki area kantor Satlantas, Pak Fauzi disambut teman-teman polisi yang sedang berjaga.
"Wah Pak Fauzi, ada keperluan apa nih kesini, nggak biasanya." seorang polisi bertubuh tambun menyapa ayah Emelly, tingginya hampir sama dengan Emelly.
"Selamat malam Pak Gito, iya nih, barusan di telpon katanya Fauzan kecelakaan, terus suruh jemput kesini." jawab Pak Fauzi.
"Oh, anak laki-laki yang tadi itu apa mungkin ya? Mari masuk dulu, biar saya panggilkan Briptu Handika dulu, tadi dia yang ngurusin." jelas polisi yang dipanggil Pak Gito oleh ayah Emelly.
Kemudian Pak Fauzi, Pak Gito, disusul oleh Emelly masuk ke ruangan utama kantor Satlantas. Mereka melihat Dira sedang duduk di ruang tunggu, melihat ayah dan kakaknya, dia nyengir.

"Yah, Mbak." Dira memanggil.
Emelly segera mendekat dan duduk disamping Dira, melihat pergelangan kaki kanan dan tulang keringnya yang berwarna kebiruan. Sedang Pak Fauzi masih menunggu orang yang Pak Gito panggilkan.
"Lo nggak papa?" tanya Emelly pada Dira, sambil memeriksa tangan dan wajah Dira. Takut ada yang lecet.
"Aduuuh mbak, lo biasa aja kali. Gue nggak papa kok, nih cuma kaki kanan gue yang bengep, tadi kejatuhan motor lo." jelas Dira.
"Emang gimana ceritanya sih lo bisa jatuh gitu?" tanya Emelly.
"Gue tadi mau pulang mbak, pas lewat perempatan Jl. Jensud itu, gue kan mau belok ke kanan tuh mbak, eh ada yang main nyalip gue. Padahal gue udah nyalain lampu sent, ya udah gue jatuh deh. Untung bapak polisi yang jaga di deket situ liat, terus nolongin gue. Terus temennya ngejar orang yang nyalip tadi." Dira menjelaskan.
"Syukur deh lo nggak kenapa-napa, gue khawatir banget tadi lo nggak pulang-pulang. Eh, motornya gimana??" tanya Emelly.
"Yaelah mbak, disaat kaya gini masih aja mikirin motor. Jahat banget lo." Dira mrengut.
"Hehe, ya kan antisipasi aja."
"Motor lu cuma pecah lampu sent kanannya doang, sama bempernya kegores dikit. Tenang aja, masih bisa dipake kok." jawab Dira.
"Alhamdulillah kalo gitu jadi nggak perlu gue bawa ke..." belum sempat Emelly menyelesaikan ucapanya, Dira memotong.

"Tuh polisi yang nolongin gue mbak." Dira menunjuk ke arah seorang polisi yang berjabat tangan dengan ayahnya. Emelly terkejut. Ternyata polisi yang dia lihat tadi siang.
Polisi itu berbincang sebentar dengan Pak Fauzi lalu mendekati Dira dan Emelly, "Gimana dek Dira, masih sakit kakinya? Bisa jalan nggak kira-kira?" tanya polisi itu.
"Udah nggak papa mas, bisa kok kalo buat jalan doang mah. Oh ya kenalin, ini kakak saya, namanya mbak Nida." ucap Dira sambil memperkenalkan Emelly.
"Handika. Panggil saja Han." ucap polisi yang mengulurkan tangannya pada Emelly. Emelly beranjak dari duduknya, menatap lamat-lamat sosok yang ada didepanya. Dengan ekspresi tak percaya, melirik ke arah name tag polisi tersebut, bertuliskan HANDIKA PAMUJI.

"Mbak." Dira menyenggol lengan Emelly, matanya mengisyaratkan tangan kanan polisi yang masih menggantung di udara.
"Eh,, Nida." jawab Emelly gugup, membalas jabatan tangan Briptu Handika.
"Begini mbak, lain kali adiknya jangan dibolehin naik motor dulu ya, kan belum punya SIM. Walaupun kecelakaan ini bukan murni kesalahan dek Dira, tapi Dira tetap di tilang karena tidak memiliki SIM." ucap Han panjang lebar.
"I...iya Pak." Emelly masih gugup, belum bisa mengendalikan sikapnya.
"Ya sudah, saya permisi dulu. Hati-hati di jalan nanti pulangnya." Han berpamitan, tersenyum ramah pada Emelly dan Dira, bersalaman dengan ayah mereka. Kemudian berlalu pergi masuk ke sebuah ruangan di dalam kantor itu.

"Semuanya sama, wajah, tinggi, senyumnya, bahkan suaranya. Tapi bagaimana bisa namanya Handika Pamuji? Kenapa bukan Ray Wibisono?" ucap Emelly dalam hati.
Isi kepalanya berputar-putar, masih memunculkan berbagai pertanyaan seputar miripnya Briptu Handika dan Ray, sahabatnya waktu SMA.

Kehilangan Rasa Kehilangan Bagian 2

Mentari menyapa ramah penghuni bumi dengan kehangatan sinarnya, menyentuh lembut embun yang bergelayut manja di ujung dedaunan. Menguap, menebarkan aroma basah sisa hujan tadi malam. Hiruk pikuk jalanan mulai terasa, orang-orang segera memulai aktifitas paginya. Jalanan penuh sesak dengan metromini dan angkot, dijejali gerombolan remaja berseragam putih abu-abu, dan putih biru. Mobil-mobil seakan ingin meramaikan suasana, berjejal memadati jalanan yang macet oleh ribuan pengendara sepeda motor.

Emelly mulai harap-harap cemas, melirik ke arah jam di pergelangan tangan kirinya. Tangan kanannya masih bersiap untuk menarik gas, dan melaju ke sekolah tempat mengajarnya. Dia khawatir akan terlambat dihari pertamanya mengajar. Dengan sedikit gerakan tangan, dia menaikkan kecepatan sepeda motornya, dan mulai memasuki sebuah gerbang sekolah di kawasan Jl. Gatot Subroto. Di depan gerbang dia berhenti sejenak, antri bersama dengan murid-murid yang sedang berjejal memasuki sekolah. Dia mendongakan kepala, membaca sebuah tulisan SMA BINA KARYA di atas pintu gerbang sekolah.
"Selamat pagi Bu Emelly." sapa Pak Nardi, satpam sekolah.
"Selamat pagi Pak." Emelly membuka kaca helm, membalas sapaan dan tersenyum ramah. Dia melaju menuju parkiran sepeda motor di samping kanan lobi sekolah. Melepaskan helm, meletakkannya di bawah jok motornya. Dia tersenyum pada beberapa guru yang juga masih di area parkiran. Emelly menghembuskan nafas, dan melangkah menuju ruang  guru.
"Siap dengan hari pertama mengajar Bu?" sapa Bu Rina, guru Fisika yang meja kerjanya persis di sebelah Emelly.
"Oh, sangat siap dong bu." jawab Emelly dengan penuh keyakinan, duduk dan merapikan meja kerjanya. Mulai mengeluarkan buku-buku yang dia siapkan dalam tas hitamnya, membuka buku silabus dan jadwal mengajarnya. Memeriksa kelas mana yang akan dia masuki, dan materi apa yang akan dia ajar.

Teeeng... Teeeng...!!

Lonceng sekolah berbunyi, Emelly melirik jam tangannya, tepat pukul 7. Dia beranjak dari tempat duduknya, melangkah bersama dengan guru-guru lain yang juga akan mengajar. Dia berjalan beriringan dengan Bu Rina, menyusuri koridor sekolah, menuju kelas XI IPA 2.

***

"Woooyyy!! Kita kedatangan guru Bahasa Inggris baru temen-temen." seru Arga, ketua kelas XI IPA 2.
"Jadi bukan Pak Desta lagi yang ngajar kita?" tanya Kinanti.
"Bukan, kemarin gue baru di kasih tau sama Pak Desta, kalo beliau nggak ngajar kita di semester 2 ini. Beliau mesti bolak balik ke Singapura buat pengobatan kankernya. Kita doain aja semoga beliau cepet sembuh dan bisa balik kumpul bareng kita lagi." Arga menjelaskan. "Amiiin.." seluruh murid mengucap hampir serempak.
"Guru barunya cewek apa cowok Arga?" celetuk Agung, remaja jangkung yang duduk di pojok kanan depan, di dekat pintu kelas.
"Cewek, cuma gue masih belum tau siapa namanya, katanya sih cantik..hehe." cengir Arga.
"Really?" celetuk Emelly didepan mulut pintu kelas XI IPA 2.
Arga menengok ke arah pintu, sejenak memandang guru baru yang baru saja dia katakan cantik, berdiri mematung, lalu berkata, "Definitely."
"Pardon me." jawab Emelly memasuki ruang kelas dan meletakkan buku-bukunya di meja guru.
"Eh.. I'm sorry Ma'am." jawab Arga tergagap, segera kembali ke bangkunya. Murid-murid lain hanya tersenyum geli melihat tingkah ketua kelas mereka itu.

Emelly memandang seluruh isi kelas berwarna biru langit itu, tersenyum menatap murid-murid barunya. Ingin memberi kesan pertama yang baik pada mereka.
"Beneran cantik Ar." celetuk Agung lagi, membuat seluruh isi kelas heboh.
Emelly tersenyum, melihat sekeliling lalu menyapa. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." jawab seluruh isi kelas serempak.
"Well, who is the leader of this class?" tanya Emelly. Arga mengacungkan tangan, wajahnya sumringah. "Praying, please." kata Emelly.
"Let's pray together!" Arga memberi aba-aba. Seluruh murid menundukkan kepala, berdoa sebelum memulai aktifitas belajar mereka. "Finish." mereka menegakkan kembali kepala mereka.
"Thank you." Emelly menganggukkan kepala pada sang ketua kelas, yang dia masih belum tahu siapa namanya, remaja laki-laki itu tersenyum padanya. "Well, I'm your new English teacher. Have you known it?" Emelly membuka percakapan.
"Yes I have, Ma'am." jawab murid-murid.
"OK, don't waste the time. Lets start our lesson today." Emelly to the point, menunggu reaksi murid-muridnya.
"Kok nggak kenalan dulu Bu? Kan kita belum tau nama Ibu." seru Kinanti tiba-tiba.
"Iya Bu, masa langsung mulai pelajaran. Pemanasan dulu dong bu, kenalan gitu..hehe." Agung nyengir sambil menyenggol Arga yang duduk disebelahnya. Arga menganggukan kepala, mengiyakan.
"Baik, apa yang ingin kalian ketahui dari saya, silakan bertanya. Saya akan menjawabnya." jawab Emelly, sudah menduga bahwa murid-muridnya akan meminta kenalan lebih dulu. Dia memang sengaja tidak membuka perkenalan lebih dulu, dia lebih suka muridnya antusias terhadap dirinya.
"What's your name Ma'am?" tanpa membuang kesempatan, Arga bertanya.
"My name is Emelly Nida. You can call me Ms. Em." jawab Emelly sambil menuliskan namanya di white board.
"Ohh.." seisi kelas ber-oh ria.
"Any other?" Emelly bertanya lagi.
"How old are you Ms?" seorang murid laki-laki di belakang Arga bertanya. Emelly memandangnya sejenak, tersenyum penuh arti. Murid itu ternyata Dira, adiknya, nyengir jahil kepadanya. "Dasar anak nakal, mau bikin malu gue nih anak, biar gue keliatan tua didepan temen-temennya." gumamnya dalam hati.
"What do you think?" Emelly balik bertanya.
"Seems like seventeenth." Dira menjawab, seisi kelas geger. Emelly tertawa ringan. "Next." Emelly melanjutkan.
"Are you single?" tanya Agung. "Huuuuuuuuuu..."seisi kelas serempak.
"I think we can start our lesson today. Shall we?" jawab Emelly sambil tidak henti-hentinya menebar senyum manisnya.
"OK Ma'am." jawab murid-murid.

"Let me know you all first, Andira Fauzan." Emelly meraih daftar absen kelas, memanggil nama mereka satu persatu. Dira mengacungkan tangan saat namanya disebut, disusul oleh teman-temannya.
"Kinanti Ayu Larasati.. Lazuardi Arga Pamungkas." remaja perempuan yang duduk didepan white board dengan potongan rambut bob mengacungkan tangan, disusul si ketua kelas. "Oh, nama kamu Arga." kata Emelly, Arga menundukkan kepala, tersipu malu, entah apa yang sedang dia rasakan.
Emelly menyelesaikan daftar presensinya, kemudian memulai pelajaran yang di awali dengan materi Analytical Exposition.

***

Lonceng pulang sekolah berbunyi, Dira menghela nafas lega karena ingin segera pulang. Bersyukur mata pelajaran Fisika telah berakhir. Sambil memasukkan buku dan pulpennya, dia melirik Bu Rina tengah berjalan meninggalkan kelas. Tiba-tiba Arga yang juga sedang memasukkan buku ke dalam tas bertanya padanya. "Menurut lo, Ms. Emelly single nggak?"
"Emang kenapa? Sejak kapan lo tertarik sama yang lebih tua?hehe.." ledek Dira seraya melihat isi laci mejanya, memastikan tidak ada yang tertinggal.
"Sialan lo! Tapi kan dia masih muda Ra, bener kata lo tadi, keliatan kaya tujuh belas tahun tuh orang. Pake obat apa tuh orang bisa awet muda gitu? Mungkin umurnya sekitar dua puluh empat kali ya?" Arga menerka, memakai tas slempangnya, beranjak dari bangkunya untuk segera keluar kelas.
"Apa nggak ketuaan? Gue malah ngira kalo Ms. Emelly tuh sekitar dua puluh dua tahun, mungkin." sahut Dira mengangkat bahu, menyusuri koridor sekolah berdampingan dengan Arga, menuju parkiran.
"Wah, muda banget kalo gitu ya? Baru jadi sarjana langsung ngajar, keren ya." ucap Arga menunjukkan rasa kagum, memakai helm, bersiap menaiki motor Ninja hitamnya.
"Kurang tahu juga gue, kan kita juga baru kenalan tadi. Gue pulang duluan sob." Dira sudah bersiap menggowes sepeda fixienya.
"Oke, jangan lupa ntar jam 4 futsal di Soccer!" Arga mengingatkan.
Dira mengacungkan jempol sambil mengayuh sepedanya, berlalu dari pandangan Arga. "Ada-ada aja tuh Arga, Mbak Nida nggak doyan lah sama brondong macem lo. hehe." gumam Dira dalam perjalanan pulangnya.