My Read Lists

Senin, 08 April 2013

Don't You Remember-Part 3


Ara membuka mata. Mengerjapkanpandangannya yang silau karena sinar lampu, hanya putih yang dilihatnya. Jarijemarinya bergerak-gerak perlahan, Nathan tak percaya dengan apa yang dirasakantangannya saat menggenggam tangan Ara.

“Ara! Ara, kamu bangun. Tante!” Nathansegera memanggil Tante Widya, lalu berlari mencari dokter.

“Ara, kamu sudah sadar nak?” Tante Widyamenghambur ke kamar rawat, menangis bahagia, tidak menyangka Ara telah sadar.Ara mengangguk lemah. Kepalanya terasa sakit, berdenyut-denyut. Ingin rasanyadia segera beranjak dari tidurnya, namun dia merasa lemah sekali, tidakmemiliki sedikitpun tenaga.

Dokter dan dua suster menghambur masukke kamar rawat Ara, “Ibu bisa menunggu di luar dulu sementara pasien kamitangani.” Seorang suster mempersilakan Tante Widya meninggalkan kamar. “Tante,Ara udah sadar.” ekspresi Nathan begitu bahagia. “Iya Than, kamu ngomong apaaja sampe Ara bisa sadar?” Tante Widya mengusap air mata yang sebelumnyamembanjiri wajahnya.

“Nathan cuma ngomong Ara mau sampe kapanbiarin Nathan ngomong sendirian terus tante. Nathan bener-bener lepas kendalitadi, semua yang Nathan rasain Nathan ungkapin semua ke Ara. Mungkin Ara dengerdan akhirnya sadar. Kita berdoa aja tante, semoga kondisi Ara baik-baik aja.”ucap Nathan optimis.

“Iya Than, semoga aja kondisi Ara nggakada masalah.” Tante Widya mengintip dari kaca pintu kamar, cemas melihat doktersedang memeriksa mata Ara dengan senter.

Dokter sepertinya telah selesaimemeriksa kondisi Ara, para suster juga telah mencatat apa saja yang dokterperintahkan. Mereka keluar dari kamar rawat Ara, “Padahal baru beberapa jamtadi saya memberitahukan kondisi pasien tidak menunjukkan perkembangan yangsignifikan. Namun tiba-tiba saja tingkat kesadarannya pulih dengan cepat. Sayaucapkan selamat.”

“Terimakasih Dok, bagaimana kondisiAra?” Tante Widya masih cemas. “Kami akan lakukan pemeriksaan lebih lanjut besok,sementara pasien memulihkan kesadarannya terlebih dahulu. Sejauh ini keadaanpasien baik, ibu tunggu saja hasil pemeriksaan selanjutnya.” jawaban daridokter melegakan. “Terimakasih Dok.” ucap Tante Widya dan Nathan hampirbersamaan.

Mereka berdua segera masuk dan melihatkondisi Ara, “Sayang, ini mama.” Tante Widya menggenggam tangan Ara. Ara belumbisa merespon dengan baik, dia hanya bisa memandang, lalu mengedipkan matanyadengan perlahan. “Mungkin Ara masih butuh istirahat tante.” kata Nathan. TanteWidya mengangguk, membiarkan Ara beristirahat untuk memulihkan tenaganya.

Keesokkanharinya…

Cahaya matahari menyeruak menyinari kamarrawat Ara saat Tante Widya membuka gorden jendela, Ara mengerjapkan matanya,merasa silau. Tante Widya membereskan tempat tidur untuk penunggu pasien yg diatempati, lalu menghampiri Ara. “Selamat pagi sayang, gimana? Masih pusing?” Aramengangguk perlahan. “Ya udah, istirahat aja dulu. Sebentar lagi dokter ke sinibuat periksa kamu, mama mandi dulu ya.” Tante Widya berlalu meninggalkan Ara kekamar mandi.

Ara berusaha menggerakkan tangannya,dilihatnya dengan seksama jarum infus yang masih menempel. Disapukan seluruhpandangannya, hanya ada tembok yang putih. Terdengar pintu kamar terbuka,dilihatnya seorang laki-laki berkacamata mendekatinya. Lalu membelai lembutkeningnya, “Selamat pagi Ara sayang.” yang kemudian mengecup keningnya.

“Hari ini kamu mesti CT-Scan, jangantakut ya sayang. Semua akan baik-baik saja.” Ara mengangguk, lalu dengan sekuat tenaga dia berusaha mengucapkansesuatu. Namun begitu, laki-laki dihadapannya tidak dapat mendengar denganjelas, kemudian mendekatkan wajahnya.

“Kkka… mu.. ssii..a..pa..?” ucap Araterbata-bata.

Tante Widya keluar dari kamar mandi danmendapati Nathan telah ada di dalam kamar. “Tante.” Nathan memandangnya denganpandangan nanar. “Kenapa Than?”

“Ara.. nggak inget siapa Nathan.” wajahNathan begitu muram. Tante Widya kaget saat Nathan menceritakan apa yang barusaja dia dengar. Saat memandang Ara pun, pandangan Ara terlihat bingung. Taklama kemudian, dokter dan para suster datang menjemput Ara dan segeramembawanya untuk melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan.
Sepeninggal Ara, Nathan masih belum bisamenerima kenyataan. “Apa kamu yakin Ara nggak inget sama kamu Than?” TanteWidya memastikan. “Ara emang ngomongnya terbata-bata tante, tapi Nathan dengerdengan jelas, Ara nanyain Nathan tuh siapa. Berarti Ara nggak inget siapaNathan kan tante?”

“Mungkin Ara masih shock, jadikesadarannya belum bener-bener pulih. Kamu yang sabar ya, setelah pemeriksaanlanjutan ini pasti semuanya akan kembali normal. Sekarang kamu berangkat kerjadulu gih, ntar kalo ada apa-apa tante kabarin kamu.” Tante Widya berusahamenenangkan. Nathan hanya mengangguk lemah, dan berlalu meninggalkan kamarrawat Ara.

Setelah melakukan beberapa pemeriksaanlanjutan seperti CT-Scan, sistem saraf juga motorik, Ara tidak selemahsebelumnya. Dia tidak lagi merasa kepalanya berdenyut-denyut, alat pendeteksidetak jantung serta beberapa selang yang terpasang juga sudah dilepas. Anggotatubuhnya masih berfungsi sebagaimana mestinya, hanya saja Ara masih belumdiperbolehkan untuk berjalan sehingga masih menggunakan kursi roda. Kepalanyapun masih dibebat perban.

“Nah, gimana perasaanya Ara?” tanyadokter setelah melakukan terapi sistem motorik. “Baik dok.” jawab Ara singkat.

“Sekarang kamu umur berapa?” dokter kembali bertanya.

“Sembilan belas tahun.”

“Lalu sekarang tahun berapa?”

“Dua ribu sembilan.” Dokter hanyamenganggukkan kepalanya.

“Baiklah, cukup dulu untuk hari ini, Ara bisaistirahat kembali. Suster, tolong antar pasien kembali ke kamarnya.” perintahdokter, si suster hanya mengangguk tanda mengerti dan mengantarkan Ara kekamarnya.

Sementara Ara masih diurus oleh suster,Tante Widya diminta segera menemui dokter yang memeriksa Ara, karena adabeberapa hal yang perlu dibicarakan. “Silakan masuk bu, silakan duduk.” doktermempersilakan Tante Widya saat membuka pintu.

“Kami telah melakukan pemeriksaanCT-Scan, sistem saraf dan motorik Ara, dan hasilnya hampir seluruh anggotatubuhnya masih berfungsi dengan baik. Namun begitu, kami akan terus melakukanterapi agar fungsi motorik tubuh Ara bisa kembali normal lagi.” doktermemberitahukan kondisi Ara pasca pemeriksaan. “Syukurlah kalau seperti itu. Ohhya dok, ada hal yang ingin saya tanyakan.” ucap Tante Widya.

“Silakan bu.”

“Begini dok, tunangan Ara bilang padasaya bahwa Ara tidak ingat siapa dirinya. Apa mungkin Ara masih shock hinggabelum bisa mengingat orang-orang disekelilingnya?” Dokter mengangguk tandamengerti,”Hal ini pula yang ingin saya bicarakan bu. Apa Ara pernah mengalamikecelakaan yang melibatkan benturan di kepala?”

“Iya pernah dok, sekitar lima tahun yanglalu. Ara pernah jatuh di kamar mandi, terus kepalanya terbentur ubin. Ada apadok?” Tante Widya kebingungan.

“Ara mengalami amnesia retrograde. Dimana Ara terperangkap pada ingatan sebelum kecelakaan tersebut. Ketika Aramembentur dashboard cukup keras, dia mengalami trauma yang lebih hebat daripadabenturan yang sebelumnya.  Yang Ara tahubahwa dia sekarang pada tahun dua ribu sembilan, dan dirinya berusia sembilanbelas tahun. Ara tidak dapat mengingat semua kejadian setelah kecelakaan dikamar mandi tersebut, sehingga untuk orang-orang mungkin baru saja hadirsetelah kecelakaan tersebut, dia tidak dapat mengingatnya.” jelas dokterpanjang lebar.

“Apa ada kemungkinan bagi Ara untukmengingat semuanya dok?”

“Ada, hanya saja harus melalui prosesyang cukup lama. Karena Ara harus bertemu dengan orang-orang atau peristiwayang bisa mengembalikan ingatannya. Namun perlu saya ingatkan, tolong janganmemaksakan Ara untuk dapat mengingat dengan cepat. Karena sedikit saja adatekanan pada saraf memorinya akan membuat ingatan Ara tidak dapat kembalisecara permanen. Jadi benar-benar harus telaten dan sabar.”

“Baik dok, terimakasih.” Tante Widyapamit meninggalkan ruangan dokter tersebut. Saat kembali menuju kamar rawatAra, Tante Widya berpapasan dengan Nathan di depan pintu lift. Tante Widyamemahami sorot mata kesedihan Nathan, bagaimana mungkin dia tidak sedihmengetahui Ara tidak ingat padanya. Tante Widya hanya bisa membelai lembutpundak Nathan, menahan diri untuk segera mengatakan apa yang dokter sampaikansaat itu juga.

-bersambung-

Don’t You Remember-Part 2

Sepulang kerja dari kantornya di bilangan Mampang Selatan, Nathan akan segera menuju rumah sakit, mengunjungi Ara, seperti biasa. Tangannya memegang beberapa gulungan sketsa rancangan bangunan yang sedang ia persiapkan. Walaupun baru lulus dari S1 Teknik Arsitek setengah tahun yang lalu, kemampuan Nathan tidak bisa dianggap remeh. Buktinya dia sudah bekerja sama dengan beberapa arsitek ternama di ibu kota untuk merancang proyek pembangunan masjid, rumah, atau gedung. Desain-desain Nathan yang kreatif cukup mendapat sambutan yang hangat dari klien-klien kantornya. Karir Nathan meroket dengan pesat, walaupun dia harus merawat Ara sepulang bekerja, tapi seluruh pekerjaannya selalu selesai sesuai jadwal. Para klien pun puas dengan kinerjanya.
Saat melaju menuju rumah sakit, handphone Nathan menjerit. Dia meraihnya, nama “Anggun” tertera di layar.

“Halo.” Nathan memasang headset bluetooth, lalu meletakkan handphone di jok sebelahnya. “Halo Than, lo dimana?” jawab Anggun.
“Gue lagi mau balik, biasa ke rumah sakit. Kenapa?”

“Gue ikut boleh?”
“Boleh, lo sekarang dimana? Nggak sama Edo?”
“Hmm, nggak. Lo jemput gue ya, gue tunggu.”
“OK.” Klik, Nathan menutup sambungan telponnya. “Tumben si Anggun minta dijemput sama gue? Apa mungkin lagi ada masalah sama Edo?” Nathan menduga-duga, sambil memutar balik menuju apartemen Anggun.

Anggun melambaikan tangan saat melihat sedan hitam Nathan mendekati area parkir apartemennya. Dia segera masuk ke mobil, sepertinya dia mulai tidak rela angin merusak tiap helai rambut halusnya menjadi berantakan seperti surai singa. Nathan tersenyum melihat tingkah Anggun, baru saja sepersekian detik duduk di jok mobilnya, dia mengaduk-aduk isi tas nya. Lalu mengambil kondisioner rambut tanpa bilas untuk merapikan rambutnya, setelah rambutnya dirasa cukup rapi, Anggun memakai kacamata hitamnya. Tanpa banyak komentar, Nathan segera menjalankan mobilnya menuju rumah sakit.

“Apa kabar Ara-ku sayang? Kamu makin cantik aja.” ucap Nathan sesampainya di kamar rawat Ara, membelai lembut kepala Ara. Anggun memandang apa yang Nathan lakukan, tanpa memperdulikannya dia kemudian memeluk Tante Widya yang memang sejak tadi sedang merajut di sofa.

“Kamu apa kabar? Makin cantik aja.” sapa Tante Widya setelah mencium pipi kanan dan pipi kiri Anggun. “Baik tante, ini Anggun bawain brownies buat tante.” Anggun menyerahkan sekotak brownies. Tidak terlalu banyak berbasa-basi, Anggun memang orangnya kaku. “Makasih ya, duh jadi merepotkan.” Tante Widya meletakkan brownies di meja, “kamu udah makan Than?”

“Udah tante. Tenang aja.” Nathan kembali memandang Ara, lalu menceritakan apa saja yang dia lakukan di kantor tadi. Walaupun Ara tidak bisa menanggapi, tapi Nathan sudah terbiasa menceritakan semua padanya. Tante Widya yang biasa melihat sikap Nathan pun tidak heran.

“Kamu masih sibuk pemotretan atau fashion show ya? tanya Tante Widya sambil terus merajut, kelihatanya mulai membentuk seperti sebuah sweater, berwarna abu-abu. “Hmm, bulan ini Anggun lagi minta cuti tante, capek juga nggak ada istirahatnya.” jawab Anggun, mencuri pandang pada Nathan yang masih bermonolog dengan Ara. “Hmm gitu to. Than, tante pulang dulu ya beres-beres rumah dulu kaya biasa, nyalain lampu juga. Ntar tante kesini lagi.”  pamit Tante Widya. “Iya tante, tenang aja Ara nggak bakalan ilang kok.” Nathan menanggapi dengan candaan yang membuat Tante Widya tersenyum.

“Tante pulang dulu ya Anggun, kalo mau minum itu banyak air mineral di kulkas. Ada buah juga kok.” Tante Widya berpamitan pada Anggun. “Ohh iya tante, hati-hati dijalan.” Anggun mengantar sampai pintu kamar. Begitu Tante Widya menghilang dari pandangan, Anggun mendekati Nathan, membelai pundak Nathan dengan sentuhan yang membuat Nathan tersentak.

“Anggun, lo ngagetin gue aja.” Nathan merasa risih dengan sentuhan tangan Anggun, lalu ditepiskannya dengan perlahan.

“Lo mau nyampe kapan nungguin Ara? Apa lo nggak jenuh ngomong sama Ara yang bahkan nggak nanggepin lo sama sekali?” Anggun terlihat tidak senang dengan “penolakan” Nathan. “Maksud lo apa?” dahi Nathan mengernyit, dia merasakan tangan Ara seperti tersentak.

“Ya lo liat aja deh, Ara tuh persis banget kaya mayat hidup. Nggak bisa apa lo tinggalin dia? Masa depan lo masih panjang Than, jangan lah lo sia-siain buat nungguin Ara yang nggak jelas kapan bisa sadar.” Anggun mengucapkan semuanya tanpa beban, mengibaskan rambut panjangnya.

Nathan bangun dari duduknya, “Lo kenapa sih jadi gini? Ada masalah sama Edo?” Anggun melirik Nathan dengan pandangan acuh, “Gue sama Edo udah bubar. Gue bosen sama dia, sampe sekarang nggak dapet kerjaan juga.” Nathan terhenyak mendengar pernyataan Anggun, dia sama sekali tidak menyangka, sementara Edo memang tidak menceritakan sedikitpun perihal berakhirnya hubungan mereka.

“Kapan kalian bubar?” Nathan merasa iba pada Edo. “Ah nggak penting bahas ginian Than. Mending sekarang lo pertimbangin tawaran gue, lo lebih pantes bersanding sama gue. Ketimbang sama Ara yang.. ya lo tau lah gimana. Karir lo yang bagus bisa makin bersinar kalo lo bareng sama model terkenal macam gue.” dengan pongahnya Anggun mengucapkan hal tersebut. Nathan memandang dengan ekspresi tidak percaya, bagaimana mungkin Anggun mengatakan semua itu.

“Becanda lo nggak lucu tau.” Nathan memalingkan wajahnya, memandang Ara. Dibawah alam sadar Ara, dia dapat mendengar semua percakapan Nathan dan Anggun. “Lo kenal gue dengan baik Than, apa gue tipe orang yang bisa becanda?” ucapan Anggun membuat Nathan bersyukur sahabatnya berpisah dengan wanita macam Anggun.

“Temen macam apa lo, tega ngomong kaya gitu disaat sahabat lo lagi koma kaya gini. Bukannya lo sahabat dekatnya Ara.” ucap Nathan tanpa mengalihkan pandangannya dari Ara, lalu mengusap air mata yang mengalir dari pelupuk wajahnya. “Gue tau gue jahat, tapi gue suka sama lo dari pertama gue kenal lo. Tapi kenapa lo lebih milih Ara? Apa sih bagusnya Ara? Dia nggak secantik gue, lo lebih pantes sama gue!” nada suara Anggun meninggi.

“Stop!” bentak Nathan. Anggun terkejut dengan reaksi Nathan. “Kalo lo kesini cuma mau bikin Ara sedih, lebih baik lo pergi.” Nathan mempersilakan Anggun meninggalkan ruangan.

“Tapi Than…”

“Please, Ara butuh istirahat. Gue rasa lo lebih baik pulang.” Nathan kembali duduk, tidak memandang Anggun kembali. “OK Than, kalo itu mau lo. Tapi lo mesti inget, kalo gue bener-bener suka sama lo, kalo lo berubah pikiran..”
“Sampai kapanpun gue cuma mencintai Ara.” potong Nathan sebelum Anggun menyelesaikan perkataannya.

“Nathan! Bisa nggak sih lo kasih sedikit gue kesempatan bikin lo bahagia? Gue nggak mau liat lo sedih terus-terusan dengan kondisi Ara.”

“Siapa bilang gue sedih?!” Nathan berbalik, kilat kemarahan terlihat jelas di wajahnya, “siapa bilang gue sedih hah? Nggak usah sok tau deh lo, urus aja urusan lo sendiri.” rahang Nathan mengeras.

Tiba-tiba monitor di sebelah Ara berbunyi, detak jantungnya meningkat, seketika Nathan panik. “Ra, kamu kenapa? Ara please, bertahanlah.” Tubuh Ara kejang, Anggun ikut panik. “Tolong panggilin dokter!” perintah Nathan. Tanpa banyak tanya Anggun segera keluar ruangan dan memanggil dokter dan para suster. Saat mereka datang, Nathan dan Anggun diminta untuk menunggu di luar ruangan.
“Ma… maafin gue.” sesal Anggun. “Kalo sampe terjadi sesuatu sama Ara, gue nggak bakal maafin lo!” Nathan menatap Anggun penuh kebencian.

Setengah berlari, Tante Widya tergesa-gesa menuju kamar rawat Ara. Belum sampai satu jam berada di rumah, Nathan memberi kabar bahwa Ara kolaps. “Ara kenapa Than?” Tante Widya terlihat sangat cemas. “Tubuh Ara tiba-tiba kejang tante, sekarang lagi ditangani sama dokter.” jawab Nathan merasa bersalah, disaat dia harusnya menjaga dan memastikan keadaan Ara, Ara malah mengalami hal yang tidak terduga. Nathan memandang Anggun sengit, Anggun menunduk, tak berani banyak bicara.

Dokter keluar dari kamar, “Silakan masuk, pasien sudah kami tangani. Saya sarankan agar tidak membicarakan hal-hal yang dapat membuat pasien sedih atau shock. Walaupun pasien tidak dapat merespon, namun pasien dapat mendengarnya. Kalau bisa bicarakan hal-hal yang membuatnya senang, ajak pasien mengobrol hal-hal yang membuatnya optimis, agar tingkat kesadarannya segera pulih.”

“Baik dok, terimakasih.” ucap Tante Widya dan Nathan hampir bersamaan, dokter dan suster pun meninggalkan mereka. Tante Widya merasa curiga, pasti terjadi sesuatu saat dia pulang tadi. “Ada apa Than? Apa yang kamu bicarakan sama Anggun?” mata Tante Widya menyelidik keduanya.

“Err, Anggun pamit dulu tante. Besok Anggun datang lagi. Maaf sudah mengganggu.” pamit Anggun tanpa menunggu banyak waktu, dia segera berlalu dari hadapan Tante Widya dan Nathan. Sepertinya dia ketakutan, tidak ingin diinterogasi lebih banyak lagi oleh Tante Widya.

Tante Widya merasa ada yang janggal, namun begitu Nathan langsung membimbingnya ke kamar rawat Ara. “Tadi Nathan sempat bertengkar sama Anggun, maafin Nathan.” sesal Nathan. “Bertengkar? Kalian ada masalah apa?” Tante Widya merasa heran, karena dia tahu bahwa Nathan, Ara, dan Anggun memiliki hubungan pertemanan yang baik. Kemudian Nathan menceritakan kronologi kejadiannya hingga akhirnya Ara kejang.

“Ya sudah, mungkin untuk dalam waktu dekat ini sebaiknya kalian jangan bertemu Anggun dulu. Atau lebih tepatnya jangan izinkan Anggun menemui Ara, tante khawatir dia akan membuat kondisi Ara semakin memburuk.”

“Iya tante, Nathan kira itu langkah terbaik. Maafin Nathan, kalo Nathan tau kejadiannya bakal kaya gini, Nathan nggak akan biarin Anggun jenguk Ara.”

“Siapa yang tau kalo Anggun sebenernya menaruh rasa padamu Than, mungkin dia sedang dibutakan oleh cintanya sampai-sampai dia lupa persahabatannya dengan Ara. Tante nggak nyangka dia bisa seperti itu sama Ara, padahal mereka bersahabat cukup baik selama kuliah.” Tante Widya menatap Ara yang keadaanya kembali normal.

“Nathan pasti jagain Ara sampai kapanpun tante.” Nathan menggenggam erat tangan Ara. Tante Widya tersenyum, berharap segera ada keajaiban yang membuat Ara tersadar.

***

Hari-hari berlalu seperti biasa, Nathan pulang mengunjungi dan merawat Ara di rumah sakit sepulang dari kantor. Keadaan Ara sudah kembali normal, dan Anggun belum menunjukkan kehadirannya lagi. Mungkin dia masih takut Tante Widya mengetahui keterlibatannya atas kolapsnya Ara, atau mungkin sedang sibuk pemotretan dan fashion show disana dan disini. Kali ini tiba giliran Nathan yang dikejutkan oleh Tante Widya, mengenai kondisi Ara.

“Ada apa tante? Ara kenapa?” Nathan buru-buru meletakkan tas dan beberapa pekerjaannya di sofa, memburu jawaban Tante Widya yang sedang menangis. “Dokter bilang, Ara udah nggak ada harapan lagi. Udah hampir tujuh bulan Ara nggak menunjukkan kemajuan, apalagi tanda-tanda akan sadar. Dokter menyarankan Ara untuk dibawa pulang Than.” Tante Widya tersedu.

“Kok gitu sih tante? Kalo Ara dibawa pulang, keadaan Ara bisa memburuk bukan?” cemas Nathan. “Itu juga yang tante khawatirkan, tapi tante juga udah nggak punya biaya lagi untuk perawatan Ara di rumah sakit.” Tante Widya semakin tidak bisa menahan kesedihannya, dia berlalu keluar dari kamar. Nathan tak kuasa mencegahnya, memberi kesempatan Tante Widya untuk sendiri.

Nathan menatap Ara lamat-lamat, “Kamu mau sampe kapan kaya gini Ra? Sampai kapan? Apa kamu tega biarin mama mu sedih terus tanpa kehadiranmu? Kamu tega? Lihat aku Ra! Apa kamu tega biarin aku nunggu terus kaya gini? Sampe kapan? Sampe kapan Ra?!” Tante Widya menangis, memandang Nathan yang berbicara pada Ara lewat kaca yang ada di pintu kamar.

“Aku mohon, segeralah bangun Ra. Jangan biarin aku nunggu kamu lebih lama lagi, aku udah kepingin bareng sama kamu. Siapa yang dulu bilang mau nikah sama aku? Siapa yang bilang mau hidup bareng aku, jadi ibu dari anak-anakku.”- monitor menunjukkan detak jantung Ara meningkat- “bangun Ra! Kenapa diem aja? Kamu jahat banget biarin aku bermonolog terus-terusan kaya gini!” kali ini Nathan membiarkan seluruh perasaannya tercurahkan, air mata mengalir di pipinya. Menetes, tepat di pipi Ara.


-bersambung-

Minggu, 31 Maret 2013

Don’t You Remember-Part 1


Nathan berulang kali melakukan panggilan ke Ara, karena prosesi wisuda telah berakhir namun Ara belum kunjung menampakkan dirinya. Dia mulai gelisah, karena Ara tak biasanya mengabaikan panggilan darinya. “Ayo Ra, angkat telponnya.” gumam Nathan khawatir.
“Nathan! Sini cepetan, kita foto rame-rame.” seru Edo dari kejauhan, mau tak mau Nathan menghampiri mereka. Usai berfoto Nathan segera menghubungi Ara kembali, namun tetap saja panggilannya tidak membuahkan hasil. Ara tidak menjawab panggilan darinya. “Ara kemana sih? Kok bisa nggak jawab telponku?” Nathan mulai gusar. Amarah mulai memenuhi hatinya, berpikir bagaimana bisa Ara melupakan hari bersejarahnya tersebut.
“Ara kemana Than? Kok nggak dateng?” Anggun muncul menghampirinya, pacar Edo. “Gue nggak tau, udah gue telpon dari tadi tapi nggak dijawab.” raut wajah Nathan semakin tidak karuan, bukan hanya karena cuaca siang itu yang begitu panas, tapi hatinya juga panas mengetahui Ara belum muncul dihadapannya.
Drrttt…. Tak lama berselang, handphone Nathan bergetar. Nama “Tante Widya” tertera di layar. “Halo Tante.” Nathan menjawab telponnya. “Than, Ara..” Suara Tante Widya terdengar sedih. “Ara kenapa Tante? Kenapa Ara nggak datang ke wisuda Nathan?”
“Ara kecelakaan sewaktu menuju kampus kamu, sekarang udah masuk UGD Rumah Sakit Elizabeth. Kamu kesini ya.” ucap Tante Widya. Seketika Nathan berlari menuju mobilnya, dia tidak peduli lagi dengan teman-temannya yang menanyakan perihal dia segera meninggalkan kampus.
Setibanya di rumah sakit, Nathan segera menuju UGD. Disana ibu Ara, Tante Widya sudah menunggu. “Gimana keadaan Ara tante?” nafas Nathan terengah-engah, dia bahkan tidak sempat untuk melepas toga yang masih dipakainya. “Kamu copot dulu aja toganya.” Nathan melihat toga yang masih dipakainya, lalu segera dilepas, yang nampak hanya kemeja putih dan celana hitam . Peluh membanjiri keningnya, kemeja yang dikenakannya terlihat basah.
“Ara masih ditangani sama dokter Than, kita berdoa aja semoga semua akan baik-baik saja.” ucap Tante Widya tenang, namun gurat kekhawatiran tak dapat disembunyikan dari wajahnya, “kamu pasti dari tadi nungguin Ara ya?” tanya Tante Widya saat Nathan baru saja menghempaskan diri ke kursi tunggu. “Err.. Nathan khawatir Ara kenapa-napa Tante.”
“Kita berdoa aja, semoga Ara baik-baik aja. Dokter pasti lakukan yang terbaik.” Tante Widya mengelus pundak Nathan. “Ara kecelakaan dimana tante?” Nathan menanyakan kondisi Ara, “terus tadi gimana keadaannya?”
“Menurut saksi mata yang juga tadi menghubungi ambulance, Ara kecelakaan di daerah Jendral Sudirman. Ada truck yang supirnya keliatan ngantuk, terus tiba-tiba ada mobil yang mau nyalip dari arah berlawanan. Ara persis di belakang truck itu, mungkin kaget pas lihat ada mobil jadi trucknya ngerem mendadak.  Kepala Ara membentur dashboard mobil.”
“Ya Tuhan!” pekik Nathan cemas.
Tak lama kemudian seorang dokter keluar dari ruang UGD. “Maaf, apa ibu kerabat dari korban kecelakaan tadi?”
“Iya Dok, saya ibunya. Bagaimana keadaan anak saya?”
“Pasien mengalami gegar otak yang cukup parah karena membentur dashboard mobil cukup keras. Setelah kami lakukan pemeriksaan CT-Scan, hasilnya ternyata ada gumpalan darah beku di selaput otak, sehingga hal tersebut mempengaruhi tingkat kesadaran dari pasien. Kemungkinan besar pasien mengalami koma, karena pasien tidak merespon saat kami lakukan rangsangan panca indera dan di beberapa titik sarafnya.” raut wajah dokter itu terlihat menyesal telah mengatakannya.
“Ya Tuhan!” pekik Tante Widya, sekujur tubuhnya terasa lemas. Dengan sigap Nathan menangkap tubuh Tante Widya yang hampir jatuh. Nathan pun merasa dunianya seketika menjadi gelap.


6 bulan kemudian…

Suasana kamar 305 Rumah Sakit Elizabeth terlihat sepi malam itu, mungkin karena jam bezuk telah ditutup satu jam yang lalu. Hanya ada Nathan yang tak henti menggenggam tangan seorang gadis yang tergolek lemah di tempat tidur, Ara. Cairan infus yang masih separuh kantong terus menetes memberi asupan tenaga baginya. Di samping kanan tempat dia berbaring, tampak layar monitor yang menunjukkan bahwa detak jantung masih berfungsi sebagaimana mestinya, pertanda dia masih hidup. Sambil terus menggenggam erat tangan Ara, dia membaca sebuah buku, lalu membenarkan kacamatanya yang melorot. Sesekali melirik Ara, Nathan kembali membuka lembaran buku bersampul coklat yang sebelumnya sedang dia baca. Buku harian Ara.

Kamis, 19 April 2013

Dear Diary..
Besok adalah hari wisuda Nathan, gue udah nggak sabar buat liat dia pake toga. Gue juga mau tampil cantik didepan Nathan, soalnya gue mau kasih surprise datang ke wisudanya pake dress. Hihihi, nggak kebayang deh liat reaksi Nathan liat gue nggak pake celana jeans :D
Hmm, gue juga udah nyiapin pesta kecil-kecilan buat dia, surprise gitu ceritanya. Gue nyiapin semua ini bareng Mama, juga Edo dan Anggun. Gue harap pesta perayaan wisuda Nathan besok akan menyenangkan. ^_^

Nathan menitikan air mata saat membaca lembar terakhir buku harian Ara, dia tidak menyangka bahwa Ara telah menyiapkan semua itu untuknya. Seketika ingatannya kembali pada saat hari wisudanya.
“Nathan, kamu nggak pulang dulu?”
Nathan menoleh saat Tante Widya memasuki kamar, dia segera mengusap air matanya. Tante Widya membawa tas yang terlihat berat, Nathan beranjak segera membantunya. “Ntar tante, Nathan masih pingin nemenin Ara. Tante bawa apa aja sih? Berat banget?” Kemudian Tante Widya mengeluarkan isi dari tas tersebut,
“Tante cuma bawa beberapa pakaian ganti, sama buah. Kamu mau nggak Than? Ntar tante kupasin.” Dia menata beberapa buah apel dan pear di sebuah keranjang buah yang terletak di atas meja depan sofa. Nathan langsung mencomot sebuah apel, “Nggak usah tante, enak dimakan langsung gini.” Saat Nathan mengunyah apelnya, Tante Widya bertanya, “Kamu udah makan malem belum?”
“Udah Tante.”
“Apa kamu nggak bosen nungguin Ara terus-terusan kayak gini?” Nathan terhenyak mendengar pertanyaan Tante Widya. Dia membelai anak gadisnya yang masih terpejam, matanya berkaca-kaca. Nathan merangkul pundak Tante Widya, “Tante, sampai kapanpun Nathan mau tunggu Ara. Tante jangan ngomong kaya gitu.”
Tante Widya menangis, “Tante tahu, tapi kamu tahu sendiri gimana keadaan Ara kan? Udah hampir setengah tahun Ara nggak menunjukkan tanda-tanda akan sadar dari komanya.” Nathan membelai lembut pundak Tante Widya, lalu memandang Ara.
“Tante nggak boleh pesimis gitu, mungkin Ara emang nggak sadar, tapi dia bisa denger kita. Kita mesti optimis kalo Ara akan segera sadar dan berkumpul bareng kita lagi.” Nathan meyakinkan. Sebutir kristal bening mengalir dari pelupuk mata Ara, sepertinya dia memang mendengar dan mengerti apa yang sedang Nathan dan ibunya bicarakan. Hanya saja dia tetap terpejam, tak bergeming.
Nathan sangat mencintai Ara, gadis berkulit sawo matang dan berambut ikal sepunggung itu telah lama bertahta di hatinya. Mereka berdua bersahabat sejak SMA, dan bertemu kembali selepas Ara menyelesaikan pendidikan Diploma nya. Nathan yang tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan Ara, lama-kelamaan menyadari bahwa hatinya mulai tertambat pada gadis itu. Pembawaan Ara yang ceria, cerewet, dan ramah menjadikan Nathan yang agak pendiam merasa lengkap. Satu tahun sebelum wisuda, Nathan mengutarakan isi hatinya. Gayung pun bersambut, Ara juga memiliki perasaan yang sama pada Nathan. Hanya saja, rencana lamaran mereka harus tertunda karena Ara mengalami kecelakaan dan koma. Nathan telah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia akan menunggu sampai Ara sadar dari komanya.
Setelah menenangkan Tante Widya, Nathan kembali duduk di samping Ara. Menggenggam erat tangannya, lalu berbisik, “Aku menunggumu, aku mohon segeralah kembali.” Nathan yakin Ara bisa mendengar apa yang dia ucapkan. 

-bersambung-

Jumat, 15 Februari 2013

Set Fire To The Rain

Suasana kampus malam ini masih seperti biasa, banyak mahasiswa yang berlalu lalang. Ada yang mungkin sedang mempersiapkan acara semacam gladi resik gitu lah. Ada yang sedang siaran di lantai 4 gedung Unit Kegiatan Mahasiswa, atau rapat di berbagai organisasi apalah itu namanya aku nggak apal. Ada juga yang mungkin sedang rapat organisasi atau cuma sekedar kongkow di pelataran gedung rektorat. Tapi paling banyak sih yang sedang menggunakan fasilitas internet gratis alias Wi-Fi. Banyak banget itu laptop bertebaran disana sini, entah apa yang sedang mereka jelajahi di dunia maya. Mungkin sedang asik chating, berjejaring sosial entah itu Facebook dan ber-cicit cuit di Twitter, download lagu atau download apa lah yang mereka butuhkan. Yang pasti ada yang lagi nyari artikel buat tugas kuliah dan aku.. Asik nulis di blog.

Ah, ku lirik jam tangan di pergelangan tangan kiri ku. Ternyata sudah jam sembilan kurang lima menit. Aku mesti pulang, nggak enak sama ibu kost kalo kemaleman. Aku matikan laptop biru kesayanganku yang sudah menemani hampir 3 tahun ini, dan ku masukkan ke tas gendong hitam.

***

3 hari yang lalu..

"Ihh,, kucingnya lucu bangeet. Persis kaya celengan.."

Aku memekik seperti biasa, saat melihat makhluk lucu bernama kucing. Kali ini si kucing yang ku temui adalah saat melintasi depan kantor TU fakultas pendidikan, selepas kuliah sore. Aku tidak sempat berhenti untuk sekedar mengelus bulunya yang berwarna hitam putih mengkilat, dia sedang duduk dan asyik menjilati cakarnya. Aku pun berlalu meninggalkannya.

"Ihh,, kucingnya lucu bangeet. Persis kaya celengan.."

Aku mendengar kalimat persis yang kukatakan barusan, saat aku menengok ke belakang. Aku hanya melihat tiga laki-laki yang sedang duduk, dekat posisi kucing itu berada. Entah siapa yang menirukan, mereka semua berpura-pura tidak tahu apa-apa. Menyebalkan sekali, hanya saja aku merasa laki-laki berkulit sawo matang dan tembem yang duduk ditengah itu yang meledekku barusan. Kalau saja Tara tidak segera menarik tanganku untuk segera berlalu, sudah aku datangi mereka. Hanya saja, sesaat sebelum aku melangkah pergi, ekor mataku menangkap mata laki-laki yang ku maksud tadi sedang melirikku. Awas ya kalo ketemu lagi!

***

Sudah satu minggu ini aku sering chating lewat Yahoo Messenger dengan seseorang yang mengaku mahasiswa satu kampus denganku, hanya saja dia beda jurusan. Dilihat dari fotonya, sedikit familiar. Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana ya? Nanti akan aku tanyakan.

history13: hai

cat_woman: hai. gw ky prnh liat lo deh di kmpus

history13: oh ya? dmna?

cat_woman: hmm #emoticon mikir

history13: jiah pke mikir

cat_woman: eh bentar, gue inget lo

history13: emang dr td lo amnesia?

cat_woman: gak lucu

history13: :D

cat_woman: lo yang ngledekin gw pas ada kucing di dpn kntor TU kan?

history13: hakhakhak #emoticon ketawa ngakak

cat_woman: tuh kan bener? awas lo ye klo ktmu, gw bejek2 lo! :@

history13: ye maap non, kan gw cm bcnda

cat_woman: hmm -_-

history: eniwe, gue boleh tau nama asli lo?

cat_woman: buat apa? #curiga

history13: yaelah.. gw gak bkal nyulik lo kok

cat_woman: Raihana

history13: nama panjangnya?

cat_woman: Raihanaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

history13: hmm -_-

cat_woman: Raihana Nur Fahrani

history13: nice :)

cat_woman: lo sendiri?

history13: Anggara. panggil aja gw Angga

cat_woman: ok

***

Hari hari berlalu, nggak terasa hampir mau tiga bulan aku chating sama si Angga, tapi kami belum pernah ketemuan sama sekali. Padahal kami satu kampus, how comes! Bener-bener kenal dan komunikasi di dunia maya doang. Aku juga gengsi kalo mesti minta nomer HP dia duluan. Harusnya dia dong yang punya inisiatif duluan, secara cowok gitu.
"Eh, kenapa juga jadi mikirin tuh cowok nggak jelas? Hhh, nggak penting banget!" tanpa sadar aku mengatakan hal tadi cukup keras.
"Lo sarap ya? Ngomong sendiri?" Tara menoleh, tampangnya skeptis.

"....." aku diam dan hanya menggeleng-gelengkan kepalaku dengan cepat.

"Terus kenapa?" dia terlihat penasaran, sepertinya.
"Gampang deh gue ceritain ntar, takut ntar bu dosen liatin kita." jawabku sambil memberi isyarat ke depan. Tara melirik bu dosen yang masih menerangkan soal teknik mengajar. Dia beringsut, membenarkan posisi kursinya agak sedikit menjauh dariku. Aku kembali memperhatikan bu dosen, sedang pikiranku masih berspekulasi tentang si Angga.
Kaya apa ya wujud si Angga? Aku cuma inget waktu tragedi "Kucing-Mirip-Celengan" doang, tapi masa iya sih orangnya yang tembem terus kulitnya coklat itu? Tu orang tinggi nggak yaa? Kan waktu itu dia lagi duduk, ntar jangan-jangan dia lebih pendek dari ku? Aku kembali menggeleng-gelengkan kepalaku dengan cepat.

"Hana. Why do you shake your head all the time? Are you sick?"

Jegeeeeeeeeerrr...!
Suara bu dosen bikin hatiku mencelos. Aku memang dari tadi tidak memperhatikan penjelasannya, kulirik Tara. Dia pura-pura tidak melihatku dan tetap memandang bu dosen. Kampret tuh anak! Ku lihat sekeliling, pandangan anak satu kelas cukup membuatku salah tingkah. Ku alihkan pandanganku ke bu dosen, "Err.. I'm okay, Ma'am."

"Are you sure? If you are sick, you can go home first to take a rest. It's okay." bu dosennya baik banget.
"No, thanks. I'm fine." jawabku meyakinkan. Lalu beliau mengangguk-angguk tanda mengerti, dan melanjutkan penjelasannya lagi. Dan aku kembali tidak memperhatikan beliau lagi. Mau gimana lagi, pikiranku bener-bener nggak konsen buat ikut kelas. Tapi mau bolos juga sayang, ntar bisa ketinggalan materi. Ehh, nggak ding. Sebenernya aku juga bisa pinjem catetannya Tara, cuma takutnya ada quiz dadakan. Bisa berabe kan?? Hhh...

***

"Hhh... nih ujan kapan berenti sih?" aku mulai uring-uringan, sudah hampir satu jam sejak ku lirik jam tanganku 5 menit yang lalu, dan titik-titik air yang turun dari langit sore ini belum menunjukkan tanda akan menghentikan guyurannya. Aku kembali beringsut, masih berteduh dan menunggu hujan reda, lebih merapat ke dinding kantor dosen, air hujan menciprati rok coklat yang kukenakan.

"Ehh, suka-suka Tuhan kali mau hujan terus apa kagak? Dunia juga punya Dia, kenape jadi lo yang sewot?"

Aku tidak menanggapi omongan Tara barusan, walaupun apa yang dia katakan itu benar. Tapi tetap saja batinku menolak mentah-mentah. Ini semua gara-gara si Angga!
Kenapa lagi-lagi tuh orang yang mesti disalahkan? Iya laahh!!
Aku nggak bakalan kaya gini kalo nggak ketemu sama dia sejak....

18 jam yang lalu..

"Lo di mana? Gue udah di kampus."


Suara Angga ternyata berat, ini kali pertama aku mendengar suaranya. Ya setelah 5 bulan yang lalu dia menanyakan nomor handphone ku, kami hanya sering berbalas pesan singkat. Kali ini, kami memutuskan untuk ketemuan, bahasa kerennya KopDar (Kopi Darat).

Kebetulan malam hari ini akan ada pementasan drama di auditorium kampus, dan salah satu pemainnya adalah temen satu kost ku, Hera. Dia memaksaku dan seluruh teman satu kost untuk datang menonton, padahal nggak tau bagus apa nggak. Ya itung-itung bikin dia seneng aja deh, sekalian bisa ketemu si Angga. Oh ya lupa, si Angga kan lagi telpon, bentar aku jawab dulu.

"Ehh, iya bentar. Gue masih di audit nonton drama temen kost gue. Lo di sebelah mana?"
"Gue di kantin, masih browsing. Nyante aja, gue nggak lagi buru-buru inih."
"Ehmm, gitu ya? Ok deh, bentar ya nih drama tinggal dikit lagi kelar."
Klik. Kudengar sambungannya di putus. Ni drama ceritanya apaan si, bingung beneran.

10 menit kemudian dramanya selesai dengan adegan ciuman yang ditutup pake kertas dan disorot pake cahaya dari belakang sedang pencahayaan utama diredupkan, jadi keliatan kaya sillouette gitu. Nggak tau tu beneran ciuman apa nggak, bodo amat. Aku bergegas menuju kantin kampus yang jaraknya lumayan jauh dari audit, deket sama Fakultas Ekonomi. Hhh, malem-malem mesti olah raga nih...

Aku terengah-engah karena setengah berlari menuju kantin, dan disana ada beberapa orang. Well, si Angga mana sih? Aku raih handphone dan segera menghubungi nomornya. Belum sampai dia menjawab, aku melihat seorang laki-laki berkulit cokelat yang mengenakan kemeja hitam, lengannya digulung sampai siku, sedang duduk di meja berwarna hitam. Dia hendak meraih handphonenya yang menerima panggilan. Segera ku matikan panggilanku, dan menghampirinya.

"Angga."

Dia mendongak, kemudian tersenyum. Aku pun tersenyum, lalu menarik kursi dihadapannya. "Sorry ya, lama."
"Nggak papa, gimana dramanya? Bagus?"
"Err, biasa aja. Gue juga nggak ngerti gimana jalan ceritanya. Lo lagi browsing apaan?" kupandangi wajahnya, ternyata masih sama, tembem.
"Buat tugas besok." jawabnya masih memandang layar laptop.
"Emang keburu?"
"Nggak tau juga, kalo nggak selesai ya nggak usah masuk kelas." jawabnya sambil tertawa, dan kali ini mengalihkan pandanganya dari layar, memandangku.

Selama sepersekian detik aku seperti tersengat listrik tegangan 1200 volt, saat matanya bertemu pandang denganku. Aku merasakan wajahku memanas, segera aku alihkan wajahku, melirik jam. Ah, syukurlah, jam 9 kurang 10 menit.
"Ehh udah mau jam 9, gue pulang dulu ya." pamit ku.
"Hmm,, sayang banget padahal kita baru ketemu bentar. Ya udah deh, sampe ketemu lain waktu ya."

Aku meninggalkan kantin, melangkah pulang ke kost dengan memegang jantungku yang sampai saat ini interval detaknya lebih cepat dari biasanya..


Begitulah, akhirnya aku bertemu dengannya.. Angga maksudku.
Akhirnya hujan mereda, tinggal gerimis yang tersisa. Tara segera mengajakku berlalu meninggalkan kampus sore ini.


***

"Hana. Mau nggak kamu nikah sama aku?"

Pertanyaan Angga kali ini tidak hanya membuat hatiku mencelos, atau sekedar tersengat listrik tegangan tinggi seperti kali pertama bertemu pandang dengannya. Aku kaget setengah mati, kalo aku jantungan mungkin bisa mati beneran.

"Lo becanda kan?" aku masih menganggap bahwa apa yang terlontar dari mulut Angga 2 menit yang lalu adalah sebuah gurauan.
"Aku serius. Menikahlah denganku." dia menatapku lekat. Tuhan, bagaimana bisa tatapan matanya begitu membiusku?

"Gimana bisa lo ngajakin gue nikah? Sedangkan kita juga belum saling kenal satu sama lain. Oke, kita udah kenal, maksud gue selama satu tahun ini. Tapi kan, kenapa tiba-tiba gini langsung ngajakin nikah? Yang bener aja lo, ini nggak main-main tau. Maksud gue, apa kita nggak lebih baik penjajakan dulu gitu, buat mengenal satu sama lain?"
"Penjajakan? Pacaran maksudmu? Aku juga nggak main-main, apa yang aku bilang tadi beneran. Aku serius ngajak kamu nikah. Aku mau hidup sama kamu, nggak cuma sebatas pacaran, buat dosa, terus habis itu hilang nggak berbekas." dia kembali meyakinkanku.
"Kita masih kuliah. Kita belum ada yang bekerja, mau makan apa kita ntar? Lagian kita masih terlalu muda."
"22 tahun Hana, kita udah pantas untuk menikah."

"Lalu, kamu mau kasih makan aku apa?" tanpa sadar aku merubah gaya "gue-lo" dengan "aku-kamu" mengikuti gaya bicara Angga.

"Kamu percaya sama janji Tuhan kan? Kalo rezeki dua orang yang bersatu dalam ikatanNya akan selalu ada, kita hanya perlu mencarinya. Tapi kamu terima lamaranku apa tidak?" kali ini dia sedikit mendesakku.
"Err... aku belum bisa menjawabnya sekarang. Aku, err... tentu saja harus meminta ijin pada orang tuaku terlebih dahulu."
"Hmm, kamu benar. Oke, aku tunggu jawabanmu setelah kamu membicarakannya dengan orang tuamu. Perlu kamu ketahui, aku serius. Kalau kamu terima lamaranku, setelah itu aku akan mengajak kedua orang tuaku untuk datang melamar pada kedua orang tuamu."

WOW!!! Angga bener-bener serius dengan ucapannya.

***

"Maafin aku, aku nggak bisa." dengan berat hati aku menyampaikan hal ini pada Angga.
"Maksud kamu? Kamu menolak lamaranku Han?" gurat kekecewaan jelas terlihat di wajahnya.
"Orang tuaku nggak mengijinkan, mereka bilang aku mesti nyelesein kuliahku dulu, baru aku boleh nikah." saat Angga hendak mengatakan sesuatu buru-buru aku menambahkan,"Tapi ini bukan berarti aku menolak lamaranmu, hanya saja aku nggak bisa kalo mesti dalam waktu dekat ini."
"Baiklah, aku mengerti. Aku akan menunggumu Han, semampu ku." jawaban Angga menghapus segala kekhawatiranku.

***

Siang ini, matahari menunjukkan keperkasaannya lebih dari hari-hari biasanya. Buktinya saja, sekarang baru jam 11 siang, dan panasnya mungkin hampir 30 derajat celcius. Well, lupakan. Aku bukan sedang menjadi pembaca berita prakiraan cuaca atau sekilas info BMKG. Karena cuaca hari ini tidak lebih panas daripada suasana hatiku. Bagaimana tidak? Setelah lebih dari 4 bulan komunikasi kami memudar, aku kembali bertemu dengannya. Angga. Aku tidak menyalahkannya, ya atas penolakan lamarannya padaku. Hanya saja, ucapan dia akan menungguku tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan. Dia menjauhiku, persis seperti itu.

Tadi setelah aku mengajukan judul skripsi ke dosen pembimbing, secara tidak sengaja aku melihatnya melintas dengan membawa secarik kertas. Aku sedang duduk di teras kantor TU, dan dia bolak balik masuk ruangan TU, entah sedang mengurus apa. Setahuku dia memang sudah wisuda sekitar 2 minggu yang lalu, tapi entahlah. Dia sama sekali tidak mengabariku tentang perhelatan akbar kelulusan kampusnya itu, aku kecewa? Jelas. Akhirnya, dia menyadari keberadaanku pada saat itu. Melihat sorot matanya saja aku tahu bahwa dia ingin bicara denganku.

"Gimana kabarmu?" yayayaya, dia berbasa-basi (busuk).
"Baik." jawabku singkat. "Oh ya, selamat buat wisudanya kemarin." kalimat tadi cepat kutambahkan, saat kami cukup lama berdiam diri.
"Hmm... gimana praktek ngajarnya?" dia kembali berbasa-basi, mungkin dia bingung harus mengawali obrolan darimana setelah lama kami tidak bertegur sapa.
"Lumayan."
"Lumayan asyik apa lumayan nggak?"
"Ya begitulah.." aku masih menjawab dengan singkat. Ayolah, nggak usah basa-basi lagi kenapa? To the point aja gitu kamu mau minta maaf. Gampang kaaan??? Ucapku dalam hati.
"Han, maafin aku." Naaahh, dari tadi gitu ngapa?
"Maaf untuk apa?"

"Maaf, aku udah nggak bisa nunggu kamu lagi."

Petir di siang bolong menyambarku!
Tegangan listriknya luar biasa, melebihi saat dia memandangku, atau saat melamarku. Maksudnya apa coba?

"Maksudmu apa?" Aku berusaha menenangkan diri, kembali mencerna apa yang Angga barusan katakan.
"Aku... balikan sama mantanku." aku hanya tersenyum sinis mendengar pernyataannya.
"Mantan? Well, selamat kalo gitu." aku mengulurkan tangan, tapi dia hanya memandangi tanganku yang bersinggungan dengan udara. Sepertinya dia tidak akan menyambut uluran tanganku, baiklah. Kuturunkan tanganku.

"Maaf kalo aku nggak bisa menunggu kamu lebih lama lagi. Karena kamu nggak kasih aku kepastian. Karena kamu..."

"Kepastian kamu bilang?" aku memotong kalimatnya. "Dulu yang bilang nggak mau pacaran dulu siapa? Yang bilang mau hidup bareng sama aku siapa? Yang bilang langsung nikah sekalian siapa? Siapa hah?!" Aku tidak bisa menahan diri lagi.

"....."

"Kenapa diem aja? Nggak bisa jawab kan?"

"...." Angga hanya menunduk, dia bahkan tidak berani memandangku.

"Disaat aku udah yakin sama kamu, yakin bahwa kamu bakal nunggu aku, kamu hilang, dengan sangat-sangat perlahan. Kemana aja kamu selama ini? Setelah apa yang udah kamu lakukan sama aku, aku minta tarik lamaranmu padaku dulu." Dia memandangku, rasa perih terlihat di bola matanya.
"Itu udah jadi pilihanmu kan? Aku terima kalo itu keputusanmu. Anggap aja semua yang kita lewati nggak pernah terjadi." aku melangkah pergi meninggalkannya.

"Tunggu Han!" dia mencegahku. Aku diam, masih tetap memunggunginya. Dia mencengkeram erat pergelangan tanganku.
"Aku pinginnya sama kamu, tapi dia mendesakku. Dan kamu juga nggak kasih aku kepastian. Sedangkan dia, aku... aku sudah bertunangan dengannya." ku tepiskan pegangan tangannya. Saat aku berbalik memandangnya, aku yakin dia bisa melihat dengan jelas kilat kemarahan di mataku.
"Luar biasa." aku tidak bisa berkata-kata lagi selain itu.
"Maafkan aku Han, asal kamu mau menyusulku S2 di Surabaya, aku akan batalkan pertunanganku. Sungguh!"
"Oh ya?" jawabku sinis.
"Han, aku mohon. Selesaikan S1 mu dengan segera, susul aku S2."

Aku meninggalkannya sendirian di koridor belakang gedung perpustakaan, sedang ucapannya yang terakhir masih menggema di telingaku.

***

1 bulan kemudian...

From: Angga
Maaf, ini siapa ya?

Aku bingung dengan SMS yang Angga kirim untukku. Baru saja tadi malam kami SMS-an, kenapa dia mengirim SMS seperti ini?

To: Angga
Kamu lagi ngomong apa si?
From: Angga
Saya serius tanya, anda siapa?
Kok SMSnya byk bgt di HP suami saya.


Tuhan!
Apa lagi ini?
Suami? Suami hah?? Katanya baru tunangan? Kok suami?

To: Angga
Saya temennya Angga.
Anda siapanya Angga?


From: Angga
Temen ya?
Saya istrinya Angga.


Semuanya begitu jelas. Terlalu jelas.
SMS Angga tadi malam yang kembali meyakinkanku bahwa dia akan membatalkan pertunangannya jika aku segera menyusulnya S2, kemudian semua harapan-harapan yang dia berikan padaku..
Aku bener-bener nggak tau mesti ngomong apa lagi. Yang jelas lagu Adele yang satu ini mewakili perasaanku, dan menemaniku menangis malam ini.

Set Fire To The Rain

I let it fall, my heart,
And as it fell you rose to claim it
It was dark and I was over
Until you kissed my lips and you saved me

My hands, they're strong
But my knees were far too weak,
To stand in your arms
Without falling to your feet

But there's a side to you
That I never knew, never knew.
All the things you'd say
They were never true, never true,
And the games you play
You would always win, always win.

[Chorus:]
But I set fire to the rain,
Watched it pour as I touched your face,
Well, it burned while I cried
'Cause I heard it screaming out your name, your name!

When I lay with you
I could stay there
Close my eyes
Feel you here forever
You and me together
Nothing is better

'Cause there's a side to you
That I never knew, never knew,
All the things you'd say,
They were never true, never true,
And the games you'd play
You would always win, always win.

[Chorus:]
But I set fire to the rain,
Watched it pour as I touched your face,
Well, it burned while I cried
'Cause I heard it screaming out your name, your name!

I set fire to the rain
And I threw us into the flames
When it fell, something died
'Cause I knew that that was the last time, the last time!

Sometimes I wake up by the door,
That heart you caught must be waiting for you
Even now when we're already over
I can't help myself from looking for you.

Selasa, 29 Januari 2013

Sylvester & Empus

GUE
Kenalin, gue Sylvester.
Gue yakin, denger nama gue aja kalian udah bisa tau kalo gue tuh keren, gagah dan tampan tentunya.
Gue SEEKOR KUCING berbulu hitam putih.

#Apaaaa?? Kuciiiiing? Jadi Sylvester itu kucing?

Iya nggak papa, ketawa aja. Emang nama gue Sylvester, kenapa? Masalah buat lo? #nyolot

Gue dikasih nama Sylvester sama si Pipit, dia tuh majikan pacar gue, si Empus. Sebelumnya gue nggak punya nama, orang-orang yang terpesona sama body gue yang keren cuma biasa manggil "pus" gitu. Beruntung deh gue ketemu sama Sayang Empus yang majikannya baik hati dan nggak sombong itu, jadi gue akhirnya dikasih nama yang menunjang karir gue nantinya. Secara ya, banyak promotor yang sebenernya mau ngontrak gue buat jadi foto model di majalah Flo (Flora & Fauna lebih tepatnya). Nggak banget kan kalo ntar foto gue udah TERPAMPANG NYATA (ala Syahrini) tapi gue masih belum punya nama. Nah mulai satu bulan yang lalu, gue resmi bernama SYLVESTER. hahaha #ketawa bahagia

Mungkin kalian mikir, gimana bisa gue yang notabene sebagai kucing yang tampan dunia akhirat tak tertandingi sepanjang segala abad ini bisa nulis blog?

Gue sama Sayang Empus
Gue kasih tau ya, sebenernya gue ini pake laptop bokapnya si Pipit. Berhubung gue liat si Pipit lagi galau gitu di kamar, kayaknya lagi sms-an sama pacarnya, nah laptopnya nganggur tuh. Gue yang niatnya mau ngapelin si Empus jadi kepengin nebeng posting di blognya si Pipit yang dia tinggalin gitu aja. #tengok kanan kiri takut si Pipit liat gue lagi ngetik, bisa pingsan tuh orang

Gue bikin postingan ini sebenernya cuma mau nyeritain gimana kisah cinta gue sama Sayang Empus berlangsung sampe sekarang. Berawal saat gue lagi di pasar, soalnya disini nggak ada mall, jadi gue nongkrongnya di pasar. Waktu itu gue lagi nongkrong bareng temen-temen gue, gitaran, nyanyi-nyanyi, terus ngrokok juga. Tau ndiri laah gimana kucing muda jaman sekarang, kalo nggak ngrokok katanya banci meeen. Seperti biasa, gue liat kanan kiri. Bukan mau nyebrang, tapi liat-liat aja barangkali ada kucing cewek yang cantik yang lewat.

Ehh beneran, tiba-tiba gue liat Sayang Empus untuk pertama kalinya. Dia lewat di depan gue bawa kresek item gitu, kayaknya habis disuruh sama majikannya beli apa gitu di warung. Sumpah cantik banget dah. Bulunya tuh berkilau kaya model iklan shampoo gitu, terus temen-temen gue suit-suit godain dia gitu. Sayang Empus ngelirik kita, terus liatin gue gitu. Waahh, gue deg-degan banget waktu mata kami bertemu pandang gitu. Dalam hati, ini kali yee yang dibilang cinta pada pandangan pertama.

Besoknya, gue tunggu lagi Sayang Empus di pasar, barangkali dia lewat lagi. Ehh beneran, dia lewat lagi. Dia liatin gue lagi, terus mengeong dengan merdunya. Dia bilang "Hai."
Singkat cerita, dia ngajakin gue ke tempat tinggalnya. Gue agak kaget waktu dia ngenalin gue sama dua anaknya. Iya, dia janda.
Tapi nggak papa deh, walaupun Sayang Empus tuh janda, gue tetep cinta. Gue nggak nyangka aja kalo anaknya yg pertama naksir sama gue. Cuman ya gue tolak, secara gue kan cintanya sama emaknya.

Tiap hari gue apelin tuh Sayang Empus, pedekate gitu ceritanya. Gue bawain tikus buat dia sama anak-anaknya. Emang si nggak keren banget, bukannya bawa bunga mawar merah atau martabak, tapi mau gimana lagi. Sayang Empus sukanya tikus sii.
Kita makan bareng-bareng gitu tikusnya, pake lilin, ceritanya candle light dinner. Kita juga suap-suapan, so sweet banget deh. Cuman anaknya yang pertama nggak ikutan, dia pergi ajakin adiknya nggak tau kemana. Mungkin dia masih sakit hati gara-gara gue tolak, tapi nggak papa lah. Kebeneran jadinya gue sama Sayang Empus jadi bisa berduaan.
Malam itu juga gue tembak Sayang Empus. Gue mengeong dengan gagahnya, sambil ngomong, "Empus, mau ya jadi istriku?"
Sayang Empus cuma mengangguk dan tersenyum malu. Senangnya gue malem itu, akhirnya cinta gue diterima.

Sejak saat itu gue selalu nemenin Sayang Empus kalo lagi nyari tikus buat anak-anaknya. Romantis banget deh, kita jalan berdampingan, gandengan tangan gitu. Sayang Empus rangkul tangan gue, bener-bener dunia milik kita berdua deh.

Sekarang Sayang Empus udah lagi hamil anak gue, seneng deh bentar lagi gue bakal jadi bapak. Coba aja produser apa sutradara yang mau bikin film tentang kisah cinta gue dan Sayang Empus. Gue jamin bakal lebih meledak ketimbang Habibie & Ainun.

Ehh, udah dulu ya. Si Pipit keluar dari kamarnya, kayaknya dia mau nulis blog lagi. Lain kali gue ceritain lagi deh tentang hidup gue, mungkin ntar kalo Sayang Empus melahirkan buah hati kami. Daaah..



Senin, 28 Januari 2013

Tentang Cinta

"Gimana kabarnya? Dia sehat-sehat aja kan? "

Pertanyaan ini sering aku lontarkan pada Irma tiap kami berbalas pesan singkat. Setelah hampir satu tahun aku tak pernah melihatnya lagi, karena aku hanya satu kali bertemu dengannya. Ya, untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Mungkin saja semua ini tidak akan terjadi jika Irma tidak mengenalkanku padanya. Mungkin saja, aku dan dia akan...

***

April, 2012

Sudah beberapa malam terakhir ini aku bernostalgia dengan teman SMP ku yang bernama Irma. Kami sudah lama sekali tidak ada komunikasi, ya semenjak lulus SMP. Kurang lebih sudah 7 tahun laah. Entah seperti apa dia sekarang, apakah masih cerewet seperti dulu? Dia mendapatkan nomor telepon selularku dari temanku, setelah itu sampai malam ini pun kami bernostalgia jaman SMP via telepon.

"Ehh, Ru. Lo mau nggak gue kenalin sama temen gue?" tiba-tiba Intan mengganti tema pembicaraan kami, padahal dari tadi kami hanya berduet, aku yang memetik gitar, lalu bernyanyi bersama.
"Ahh, nggak mau gue." tolakku.
"Ehh, serius nih. Lo juga masih jomblo kan?"
"Iya sih, tapi.." aku masih ragu-ragu untuk mengiyakan tawarannya.
"Eru.. Temen gue yang ini baik kok, dia nggak kayak mantan lo kemaren. Dia juga baru putus sama pacarnya, penyebabnya juga sama kayak lo. Dikhianatin gitu deh."
"Serius lo?"
"Iya, ngapain juga gue bohong. Dia sahabat gue dari SMA. "
"Ehm... gimana ya?" aku masih ragu.
"Ya udah, gini aja deh. Gue kenalin aja dulu, ya itung-itung dapet temen baru aja. Gimana?" Irma menawarkan lagi.
"Ya udah deh. Temenan dulu nggak ada salahnya."
"Oke deh, sip. Besok gue tawarin dulu lo ke dia."
"Kampret lo! Lo kira gue barang pake ditawar-tawarin?" ujarku sewot. Terdengar suara tawa Irma di seberang sana.
"Maksud gue, gue tanya dulu juga sama dia, mau nggak gue kenalin sama lo. Gitu."
"Namanya siapa sih?"
"Ayu. Nama lengkapnya Kahiyang Ayu."
"Wow! Berasa ningrat banget." ujarku saat mendengar Irma menyebutkan namanya.
"Ya gitu deh. Bapaknya asli Solo, jadi njawir gitu deh."
"Cantik nggak?" aku mulai penasaran.
"Kita liat aja ntar." Irma cekikikan nggak jelas apa maksudnya.

***

Keesokan harinya..

Semalam aku berkenalan dengannya, Ayu maksudku. Setelah Irma menawarkan aku padanya, ehh maksudku menawarkan untuk dikenalkan denganku, dia pun tidak keberatan. Awalnya aku menelpon Ayu, setelah Irma meminta ijin kepadanya untuk memberikan nomor handphone padaku tentunya.

"Halo.."

Pertama mendengar suaranya, tanganku gemetar. Oh Tuhan, padahal aku belum melihat seperti apa orangnya. Bagaimana bisa?

"Ha.. halo.." semoga saja suaraku tidak terdengar gugup.
"Iya halo, maaf anda siapa ya?"
"Ehm... ini aku. Eru, temennya Irma." aku memperkenalkan diri. Ya Tuhan, handphone yang ku pegang basah karena tanganku mulai berkeringat. Headsetnya mana sih?

"Oh, iya. Irma udah bilang kamu malem ini mau telpon."
"Ehhm.. gitu ya? Gimana kalo aku telpon Irma? Jadi kita conference gitu, biar rame."
"Boleh juga."
"Oke, tunggu bentar ya." aku langsung menahan sambungan telpon ke Ayu barusan, kemudian menelpon Irma. Ir, bantuin gue ya biar nggak gugup kaya gini.

Well, percakapan telepon antara aku, Irma dan Ayu berlanjut sampai hampir jam 12 malam. Itupun aku lebih banyak diam, dan mendengarkan Irma ngobrol dengan Ayu. Aku masih.. gugup.

***

1 minggu kemudian..

Ayu..
Nama ini sekarang selalu menemani malam-malamku. Haha, maksudnya karena hampir tiap malam aku menghabiskan waktu untuk mengobrol dengannya via telpon. Dia menyenangkan dan memiliki kesukaan yang sama denganku, yaitu musik. Awal mendengar dia menyanyi, sungguh aku langsung mengetahui bahwa dia bisa memetik gitar.

"Sekilas tentang dirimu.. yang lama ku nanti.. memikat hatiku.. jumpa mu pertama kali.. Janji yang pernah terucap.. tuk satukan hati kita.. namun tak pernah terjadi.."

Aku tertegun mendengar dia menyanyi, suaranya merdu sekali. Itulah bait lagu pertama yang dia nyanyikan, lagu yang dibawakan oleh Ipang yang berjudul Tentang Cinta. Dan aku tidak menyangka, bahwa lagu ini akan terjadi kepadaku.

***

1 bulan kemudian..

Kahiyang Ayu.
Dia memang secantik namanya. Mungkin terdengar aneh karena aku masih belum bertemu dengannya. Namun aku sudah melihat fotonya di jejaring sosial, dia cantik. Dengan rambutnya yang bergelombang dan panjang, kulitnya yang kuning langsat, matanya yang agak sipit, senyumnya yang hanya mengangkat bibir sebelah kanan. Walaupun itu bisa dibilang senyuman sinis, tetap saja terlihat cantik.

***

2 bulan kemudian..


Kau.. telah.. membuat hidupku..
Menjadi lebih berarti..
Kau.. membuat... aku terbangun..
Dari kegelapan malam..

Bridge:
Aku.. ingin... memelukmu..
Menjadikan.. kau permaisuriku..
Aku.. ingin... memelukmu..
Dan tak akan pernah kulepaskan..

Reff:
Jangan kau pergi.. dari hidupku..
Ku mohon engkau pahami..
Bila memang kita.. harus berpisah..
Umurlah.. yang pisahkan kita..


Wah, nggak nyangka aku bisa bikin nih lagu. Aku kasih judul apa yaa?? Ehm... I'll Never Let You Go aja deh. Semoga aja ntar Ayu suka sama lagu ini, karena lagu ini memang buat dia. Lagu ini ungkapan perasaanku kepadanya.

***

3 bulan kemudian..

Disaat cintaku sedang tumbuh bersemi kaya gini, Ayu bilang seneng punya sahabat kaya aku. Sahabat. Cuma sahabat ternyata. Wajar sih, karena kita baru kenal tiga bulan, dan belum pernah ketemu. Hanya saja, aku mulai berharap kepadanya.

***

From: Ayu

Besok jd ktmu dirumah Irma gak?


SMS dari Ayu membuatku bingung, gugup dan tak karuan. Aku belum siap untuk bertemu dengannya. Maaf Yu, aku belum siap.

To: Ayu

Duh, gimana ya?
Motor aku lagi masuk bengkel nih.
Tapi aku usahain.

***

"Lo gimana sih Ru?

Semprot Irma langsung saat ku telpon siang ini.

"Gimana apanya Ir?" aku kebingungan.
"Ya elo sih, pake acara cari alesan buat nggak ketemu Ayu. Dia kecewa banget tau nggak sih? Dia udah bela-belain buat mudik, nyempetin waktunya buat pulang padahal dia masih ada urusan di kampus, tapi elo malah kayak gitu." nada bicara Irma terdengar sangat kesal, aku merasa bersalah dan menyesal.
"Ehmm.. motor gue masuk bengkel, ya gue nggak bisa ke rumah lo. Maaf deh." aku menjelaskan.
"Ohh ya? Kok bisa pas barengan gitu, bukannya Ayu udah bilang jauh hari sebelumnya kalo dia kemaren mau pulang?" Irma meragukanku.
"Beneran. Emang gue juga kepengin motor gue pake ngadat gitu." aku mulai sewot.
"Nih ya, kalo emang lo niat, lo kan bisa pinjem motor orang lain. Ngojek kek, naik angkot kek, toh juga rumah gue nggak jauh-jauh banget." ucapan Irma menohok hatiku.
"....."
"Kenapa diem? Bener kan apa yang gue bilang?"
"Iya iya. Gue nyesel, gue ngaku salah."
"Ya udah sono lo minta maaf gih ke Ayu, dia kemaren kecewa banget sama lo."
"Iya, ntar gue telpon dia."

***

Malam harinya..

"Halo."suara Ayu kembali membuatku gugup.
"Ehh, iya halo Ayu. Kamu lagi ngapain?" tanyaku basa-basi.
"Lagi gitaran aja nih. Kenapa Ru?" sayup-sayup ku dengar petikan gitar, entah dia sedang memainkan lagu apa.
"Ehmm.. gini Yu, aku mau minta maaf."
"Maaf? Minta maaf untuk apa?"
"Ya karena aku kemaren nggak bisa nemuin kamu, kamu kecewa ya sama aku?"
"..."
"Kok diem?" rasa bersalahku kembali muncul.
"Iya nggak papa kok Ru. Kan motormu lagi masuk bengkel, mungkin lain kesempatan kita bisa ketemu."
"Iya, lain kesempatan aku janji kita pasti ketemu kok. Maaf ya."
"Iya, gak papa. Ehh, nyanyi yuk. Tapi kamu yang main gitar ya?"
"Ayo. Bentar aku ambil gitarnya dulu." aku melangkah ke sebelah meja belajar, ku raih gitar akustik pemberian ayahku. "Mau nyanyi lagu apa?" aku membenarkan posisi duduk sambil memasang earphone, handphone kuletakkan di tempat tidur.
"Hmm.. gimana kalo Risalah Hati? Yang punya Dewa 19 itu."
"Boleh juga. Ayo dimulai." aku mulai memetik gitar.
"Hidupku tanpa cintamu.. Bagai malam tanpa bintang.."

Malam ini, berlalu dengan alunan merdu suara Ayu.

***

1 bulan kemudian..

"Lo udah siap buat ketemu sama Ayu?" Irma langsung menanyakan hal itu sesampainya aku di depan rumahnya.
"Siap kok. Dia udah di dalem apa?" padahal dalam hati rasanya grogi banget.
"Iya, dia udah di dalem. Yuk masuk."

Saat memasuki ruang tamu Irma, aku melihat seorang gadis sedang duduk, membaca majalah. Dia mendongakkan kepalanya saat menyadari kehadiranku, lalu tersenyum dan beranjak dari duduknya.
"Eru ya?" dia mengulurkan tangan. Aku tertegun memandangnya, sampai-sampai Irma menyenggol lenganku karena terlalu lama membiarkan tangannya berjabat tangan dengan udara.
Mampus! Aku nggak bisa menyembunyikan betapa gugupnya aku saat itu. "Ehh..ii.. iya, ini aku Eru. Ayu ya?"
"Kalian ini, udah sama-sama tau aja pake acara kenalan segala." Irma malah meledek kami berdua."
"Ya namanya juga pertama kali ketemu Ir, biasanya kan kenalan dulu." Ayu tersenyum padaku, rasanya lemas badanku. Apa ini yang disebut cinta pada pandangan pertama.

Hari itu berlalu dengan indahnya, aku menghabiskan seharian mengobrol dengan Ayu. Dan ini langsung, bukan via telfon. Aku juga sempat meminjam gitar milik temanku yang rumahnya tak jauh dari rumah Irma, tentu saja kami berduet dan menyanyikan lagu yang sering kami nyanyikan di telfon.
Ingin rasanya hari itu tidak berlalu begitu cepat, sehingga aku akan lebih lama menghabiskan waktu bersama Ayu. Tapi apa boleh buat, karena hari sudah sore dan Ayu harus pulang jadi kami harus berpisah. Ku harap suatu hari nanti aku dan Ayu bisa bertemu lagi.

***

3 hari kemudian...

Baru saja 3 hari berlalu sejak pertemuan pertamaku dengan Ayu, rasanya aku ingin segera bertemu lagi dengannya. Ahh, lebih baik aku SMS dia saja, aku benar-benar ingin bertemu lag dengan Ayu.

To: Ayu

Yu, kira-kira km minggu ini sibuk ga?
Aku pingin ktmu lg sm km.


5 menit, 10 menit, Ayu belum membalas juga SMS ku. Memang sejak aku tidak menemui Ayu dulu, dia sedikit berubah. Jarang atau lama membalas saat ku SMS, juga tidak pernah menelpon kalau bukan aku yang menelponnya. Sepertinya dia benar-benar kecewa padaku, sehingga beberapa minggu terakhir ini komunikasi kami tidak seintens dulu.
Handphone ku berdering setelah hampir setengah jam menunggu, ku lihat satu pesan baru tertera di layar.

From: Ayu

Loh, bukannya kemarin kita jg udah ktmu Ru?


To: Ayu

Hmm,, tapi aku kepingin ktmu lg sm km.
Km ga mau apa?


Untuk kali ini aku sedikit mendesaknya, karena aku ingin saat bertemu lagi dengannya akan ku utarakan seluruh perasaanku padanya.

From: Ayu

Maaf Ru.
Bukannya gimana-mana, tp aku udah ga bs
sering2 ktmu sm km. Aku mesti jaga perasaan
pacarku.


Balasan Ayu kali ini seperti petir menyambar di siang bolong. Pacar??
Bagaimana bisa dia udah punya pacar? Bukannya kemarin juga kata Irma dia baru aja putus? Oh Tuhan, atau jangan-jangan dia jadian sama temennya yang namanya Ricky itu. Aku inget, beberapa bulan yang lalu Ayu memang sering cerita kalo dia punya temen main namanya Ricky.

To: Ayu

Pacar? Siapa?

From: Ayu

Ricky


Voila!
Tebakanku tepat. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku kecolongan gini?
Andai saja aku lebih cepat mengambil tindakan, mungkin sekarang Ayu sudah bersamaku. Andai saja waktu itu aku tidak menghindar untuk bertemu dengan Ayu. Selama beberapa hari rasanya aku tidak punya hasrat untuk berkomunikasi dengan Ayu.

***

To: Ayu

Km knp skrang beda sama aku Yu?


Kuberanikan diri untuk mengirim SMS pada Ayu, karena memang sikap Ayu sekarang menjadi berbeda padaku. Aku rindu Ayu, aku rindu saat Ayu menyanyi, tertawa, bahkan hanya sekedar bicara. 5 menit kemudian Ayu membalas SMS ku.

From: Ayu

beda gimana?
sama aja kok, mungkin prsaanmu aja Ru.


Teganya kamu Yu ngomong kaya gitu, kamu beneran nggak tau gimana perasaanku sama kamu apa pura-pura nggak tau sih?

To: Ayu

oke, klo aku punya salah maafin aku.
tp sbnernya aku udah lama pingin bilang
klo aku berharap bnyak sm km Yu.


From: Ayu

Maaf Ru, tp km tau sndri kan aku udah sm Ricky.
Hatiku udah sm Ricky semua, jd aku udh gak punya
apa2 buat aku ksh ke orang lain.

To: Ayu

Gitu ya? Bukannya aku doain yg gak baik,
tp semua kmungkinan bs trjadi. Yg jelas aku
bkal tunggu km Yu.
From: Ayu

jgn gitu Ru, percuma km nunggu yg gak pasti.
mnding km buka hati buat yg lain.

To: Ayu

ak udah mutusin, ak bkal tunggu km Yu.
wlwpun gitu, mungkin lbh baik kita gak usah
brhubungan lg. anggep aj kita gak pernah knal
gak prnah ktmu. mksih dan maaf buat smuanya.

 
Maafin aku Yu, aku nggak bisa kalo harus terus komunikasi denganmu sedangkan perasaanku begitu mendalam. Baru pernah aku merasakan perasaan sedalam ini, padahal baru pernah sekali bertemu. Pertemuan untuk pertama dan terakhir kalinya.
Ku raih gitar, dan ku nyanyikan lagu Tentang Cinta. Saat ini sungguh mewakili apa yang sedang terjadi padaku.



Sekilas tentang dirimu
Yang lama ku nanti
Memikat hatiku
Jumpamu pertama kali
Janji yang pernah terucap
Tuk satukan hati kita
Namun tak pernah terjadi
Mungkinkah masih ada waktu
Yang tersisa untukku
Mungkinkah masih ada cinta di hatimu

Andaikan saja aku tahu
Kau tak hadirkan cintamu
Inginku melepasmu dengan pelukan

Sesal yang datang selalu
Takkan membuatmu kembali
Maafkan aku yang tak pernah tahu
Hingga semuanya pun kini tlah berlalu

Maafkan aku
Maafkan aku

Mungkinkah masih ada waktu
Yang tersisa untukku
Mungkinkah masih ada cinta di hatimu

Andaikan saja aku tahu
Kau tak hadirkan cintamu

Inginku melepasmu dengan pelukan
Inginku melepasmu dengan pelukan