My Read Lists

Senin, 08 April 2013

Don't You Remember-Part 3


Ara membuka mata. Mengerjapkanpandangannya yang silau karena sinar lampu, hanya putih yang dilihatnya. Jarijemarinya bergerak-gerak perlahan, Nathan tak percaya dengan apa yang dirasakantangannya saat menggenggam tangan Ara.

“Ara! Ara, kamu bangun. Tante!” Nathansegera memanggil Tante Widya, lalu berlari mencari dokter.

“Ara, kamu sudah sadar nak?” Tante Widyamenghambur ke kamar rawat, menangis bahagia, tidak menyangka Ara telah sadar.Ara mengangguk lemah. Kepalanya terasa sakit, berdenyut-denyut. Ingin rasanyadia segera beranjak dari tidurnya, namun dia merasa lemah sekali, tidakmemiliki sedikitpun tenaga.

Dokter dan dua suster menghambur masukke kamar rawat Ara, “Ibu bisa menunggu di luar dulu sementara pasien kamitangani.” Seorang suster mempersilakan Tante Widya meninggalkan kamar. “Tante,Ara udah sadar.” ekspresi Nathan begitu bahagia. “Iya Than, kamu ngomong apaaja sampe Ara bisa sadar?” Tante Widya mengusap air mata yang sebelumnyamembanjiri wajahnya.

“Nathan cuma ngomong Ara mau sampe kapanbiarin Nathan ngomong sendirian terus tante. Nathan bener-bener lepas kendalitadi, semua yang Nathan rasain Nathan ungkapin semua ke Ara. Mungkin Ara dengerdan akhirnya sadar. Kita berdoa aja tante, semoga kondisi Ara baik-baik aja.”ucap Nathan optimis.

“Iya Than, semoga aja kondisi Ara nggakada masalah.” Tante Widya mengintip dari kaca pintu kamar, cemas melihat doktersedang memeriksa mata Ara dengan senter.

Dokter sepertinya telah selesaimemeriksa kondisi Ara, para suster juga telah mencatat apa saja yang dokterperintahkan. Mereka keluar dari kamar rawat Ara, “Padahal baru beberapa jamtadi saya memberitahukan kondisi pasien tidak menunjukkan perkembangan yangsignifikan. Namun tiba-tiba saja tingkat kesadarannya pulih dengan cepat. Sayaucapkan selamat.”

“Terimakasih Dok, bagaimana kondisiAra?” Tante Widya masih cemas. “Kami akan lakukan pemeriksaan lebih lanjut besok,sementara pasien memulihkan kesadarannya terlebih dahulu. Sejauh ini keadaanpasien baik, ibu tunggu saja hasil pemeriksaan selanjutnya.” jawaban daridokter melegakan. “Terimakasih Dok.” ucap Tante Widya dan Nathan hampirbersamaan.

Mereka berdua segera masuk dan melihatkondisi Ara, “Sayang, ini mama.” Tante Widya menggenggam tangan Ara. Ara belumbisa merespon dengan baik, dia hanya bisa memandang, lalu mengedipkan matanyadengan perlahan. “Mungkin Ara masih butuh istirahat tante.” kata Nathan. TanteWidya mengangguk, membiarkan Ara beristirahat untuk memulihkan tenaganya.

Keesokkanharinya…

Cahaya matahari menyeruak menyinari kamarrawat Ara saat Tante Widya membuka gorden jendela, Ara mengerjapkan matanya,merasa silau. Tante Widya membereskan tempat tidur untuk penunggu pasien yg diatempati, lalu menghampiri Ara. “Selamat pagi sayang, gimana? Masih pusing?” Aramengangguk perlahan. “Ya udah, istirahat aja dulu. Sebentar lagi dokter ke sinibuat periksa kamu, mama mandi dulu ya.” Tante Widya berlalu meninggalkan Ara kekamar mandi.

Ara berusaha menggerakkan tangannya,dilihatnya dengan seksama jarum infus yang masih menempel. Disapukan seluruhpandangannya, hanya ada tembok yang putih. Terdengar pintu kamar terbuka,dilihatnya seorang laki-laki berkacamata mendekatinya. Lalu membelai lembutkeningnya, “Selamat pagi Ara sayang.” yang kemudian mengecup keningnya.

“Hari ini kamu mesti CT-Scan, jangantakut ya sayang. Semua akan baik-baik saja.” Ara mengangguk, lalu dengan sekuat tenaga dia berusaha mengucapkansesuatu. Namun begitu, laki-laki dihadapannya tidak dapat mendengar denganjelas, kemudian mendekatkan wajahnya.

“Kkka… mu.. ssii..a..pa..?” ucap Araterbata-bata.

Tante Widya keluar dari kamar mandi danmendapati Nathan telah ada di dalam kamar. “Tante.” Nathan memandangnya denganpandangan nanar. “Kenapa Than?”

“Ara.. nggak inget siapa Nathan.” wajahNathan begitu muram. Tante Widya kaget saat Nathan menceritakan apa yang barusaja dia dengar. Saat memandang Ara pun, pandangan Ara terlihat bingung. Taklama kemudian, dokter dan para suster datang menjemput Ara dan segeramembawanya untuk melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan.
Sepeninggal Ara, Nathan masih belum bisamenerima kenyataan. “Apa kamu yakin Ara nggak inget sama kamu Than?” TanteWidya memastikan. “Ara emang ngomongnya terbata-bata tante, tapi Nathan dengerdengan jelas, Ara nanyain Nathan tuh siapa. Berarti Ara nggak inget siapaNathan kan tante?”

“Mungkin Ara masih shock, jadikesadarannya belum bener-bener pulih. Kamu yang sabar ya, setelah pemeriksaanlanjutan ini pasti semuanya akan kembali normal. Sekarang kamu berangkat kerjadulu gih, ntar kalo ada apa-apa tante kabarin kamu.” Tante Widya berusahamenenangkan. Nathan hanya mengangguk lemah, dan berlalu meninggalkan kamarrawat Ara.

Setelah melakukan beberapa pemeriksaanlanjutan seperti CT-Scan, sistem saraf juga motorik, Ara tidak selemahsebelumnya. Dia tidak lagi merasa kepalanya berdenyut-denyut, alat pendeteksidetak jantung serta beberapa selang yang terpasang juga sudah dilepas. Anggotatubuhnya masih berfungsi sebagaimana mestinya, hanya saja Ara masih belumdiperbolehkan untuk berjalan sehingga masih menggunakan kursi roda. Kepalanyapun masih dibebat perban.

“Nah, gimana perasaanya Ara?” tanyadokter setelah melakukan terapi sistem motorik. “Baik dok.” jawab Ara singkat.

“Sekarang kamu umur berapa?” dokter kembali bertanya.

“Sembilan belas tahun.”

“Lalu sekarang tahun berapa?”

“Dua ribu sembilan.” Dokter hanyamenganggukkan kepalanya.

“Baiklah, cukup dulu untuk hari ini, Ara bisaistirahat kembali. Suster, tolong antar pasien kembali ke kamarnya.” perintahdokter, si suster hanya mengangguk tanda mengerti dan mengantarkan Ara kekamarnya.

Sementara Ara masih diurus oleh suster,Tante Widya diminta segera menemui dokter yang memeriksa Ara, karena adabeberapa hal yang perlu dibicarakan. “Silakan masuk bu, silakan duduk.” doktermempersilakan Tante Widya saat membuka pintu.

“Kami telah melakukan pemeriksaanCT-Scan, sistem saraf dan motorik Ara, dan hasilnya hampir seluruh anggotatubuhnya masih berfungsi dengan baik. Namun begitu, kami akan terus melakukanterapi agar fungsi motorik tubuh Ara bisa kembali normal lagi.” doktermemberitahukan kondisi Ara pasca pemeriksaan. “Syukurlah kalau seperti itu. Ohhya dok, ada hal yang ingin saya tanyakan.” ucap Tante Widya.

“Silakan bu.”

“Begini dok, tunangan Ara bilang padasaya bahwa Ara tidak ingat siapa dirinya. Apa mungkin Ara masih shock hinggabelum bisa mengingat orang-orang disekelilingnya?” Dokter mengangguk tandamengerti,”Hal ini pula yang ingin saya bicarakan bu. Apa Ara pernah mengalamikecelakaan yang melibatkan benturan di kepala?”

“Iya pernah dok, sekitar lima tahun yanglalu. Ara pernah jatuh di kamar mandi, terus kepalanya terbentur ubin. Ada apadok?” Tante Widya kebingungan.

“Ara mengalami amnesia retrograde. Dimana Ara terperangkap pada ingatan sebelum kecelakaan tersebut. Ketika Aramembentur dashboard cukup keras, dia mengalami trauma yang lebih hebat daripadabenturan yang sebelumnya.  Yang Ara tahubahwa dia sekarang pada tahun dua ribu sembilan, dan dirinya berusia sembilanbelas tahun. Ara tidak dapat mengingat semua kejadian setelah kecelakaan dikamar mandi tersebut, sehingga untuk orang-orang mungkin baru saja hadirsetelah kecelakaan tersebut, dia tidak dapat mengingatnya.” jelas dokterpanjang lebar.

“Apa ada kemungkinan bagi Ara untukmengingat semuanya dok?”

“Ada, hanya saja harus melalui prosesyang cukup lama. Karena Ara harus bertemu dengan orang-orang atau peristiwayang bisa mengembalikan ingatannya. Namun perlu saya ingatkan, tolong janganmemaksakan Ara untuk dapat mengingat dengan cepat. Karena sedikit saja adatekanan pada saraf memorinya akan membuat ingatan Ara tidak dapat kembalisecara permanen. Jadi benar-benar harus telaten dan sabar.”

“Baik dok, terimakasih.” Tante Widyapamit meninggalkan ruangan dokter tersebut. Saat kembali menuju kamar rawatAra, Tante Widya berpapasan dengan Nathan di depan pintu lift. Tante Widyamemahami sorot mata kesedihan Nathan, bagaimana mungkin dia tidak sedihmengetahui Ara tidak ingat padanya. Tante Widya hanya bisa membelai lembutpundak Nathan, menahan diri untuk segera mengatakan apa yang dokter sampaikansaat itu juga.

-bersambung-

Don’t You Remember-Part 2

Sepulang kerja dari kantornya di bilangan Mampang Selatan, Nathan akan segera menuju rumah sakit, mengunjungi Ara, seperti biasa. Tangannya memegang beberapa gulungan sketsa rancangan bangunan yang sedang ia persiapkan. Walaupun baru lulus dari S1 Teknik Arsitek setengah tahun yang lalu, kemampuan Nathan tidak bisa dianggap remeh. Buktinya dia sudah bekerja sama dengan beberapa arsitek ternama di ibu kota untuk merancang proyek pembangunan masjid, rumah, atau gedung. Desain-desain Nathan yang kreatif cukup mendapat sambutan yang hangat dari klien-klien kantornya. Karir Nathan meroket dengan pesat, walaupun dia harus merawat Ara sepulang bekerja, tapi seluruh pekerjaannya selalu selesai sesuai jadwal. Para klien pun puas dengan kinerjanya.
Saat melaju menuju rumah sakit, handphone Nathan menjerit. Dia meraihnya, nama “Anggun” tertera di layar.

“Halo.” Nathan memasang headset bluetooth, lalu meletakkan handphone di jok sebelahnya. “Halo Than, lo dimana?” jawab Anggun.
“Gue lagi mau balik, biasa ke rumah sakit. Kenapa?”

“Gue ikut boleh?”
“Boleh, lo sekarang dimana? Nggak sama Edo?”
“Hmm, nggak. Lo jemput gue ya, gue tunggu.”
“OK.” Klik, Nathan menutup sambungan telponnya. “Tumben si Anggun minta dijemput sama gue? Apa mungkin lagi ada masalah sama Edo?” Nathan menduga-duga, sambil memutar balik menuju apartemen Anggun.

Anggun melambaikan tangan saat melihat sedan hitam Nathan mendekati area parkir apartemennya. Dia segera masuk ke mobil, sepertinya dia mulai tidak rela angin merusak tiap helai rambut halusnya menjadi berantakan seperti surai singa. Nathan tersenyum melihat tingkah Anggun, baru saja sepersekian detik duduk di jok mobilnya, dia mengaduk-aduk isi tas nya. Lalu mengambil kondisioner rambut tanpa bilas untuk merapikan rambutnya, setelah rambutnya dirasa cukup rapi, Anggun memakai kacamata hitamnya. Tanpa banyak komentar, Nathan segera menjalankan mobilnya menuju rumah sakit.

“Apa kabar Ara-ku sayang? Kamu makin cantik aja.” ucap Nathan sesampainya di kamar rawat Ara, membelai lembut kepala Ara. Anggun memandang apa yang Nathan lakukan, tanpa memperdulikannya dia kemudian memeluk Tante Widya yang memang sejak tadi sedang merajut di sofa.

“Kamu apa kabar? Makin cantik aja.” sapa Tante Widya setelah mencium pipi kanan dan pipi kiri Anggun. “Baik tante, ini Anggun bawain brownies buat tante.” Anggun menyerahkan sekotak brownies. Tidak terlalu banyak berbasa-basi, Anggun memang orangnya kaku. “Makasih ya, duh jadi merepotkan.” Tante Widya meletakkan brownies di meja, “kamu udah makan Than?”

“Udah tante. Tenang aja.” Nathan kembali memandang Ara, lalu menceritakan apa saja yang dia lakukan di kantor tadi. Walaupun Ara tidak bisa menanggapi, tapi Nathan sudah terbiasa menceritakan semua padanya. Tante Widya yang biasa melihat sikap Nathan pun tidak heran.

“Kamu masih sibuk pemotretan atau fashion show ya? tanya Tante Widya sambil terus merajut, kelihatanya mulai membentuk seperti sebuah sweater, berwarna abu-abu. “Hmm, bulan ini Anggun lagi minta cuti tante, capek juga nggak ada istirahatnya.” jawab Anggun, mencuri pandang pada Nathan yang masih bermonolog dengan Ara. “Hmm gitu to. Than, tante pulang dulu ya beres-beres rumah dulu kaya biasa, nyalain lampu juga. Ntar tante kesini lagi.”  pamit Tante Widya. “Iya tante, tenang aja Ara nggak bakalan ilang kok.” Nathan menanggapi dengan candaan yang membuat Tante Widya tersenyum.

“Tante pulang dulu ya Anggun, kalo mau minum itu banyak air mineral di kulkas. Ada buah juga kok.” Tante Widya berpamitan pada Anggun. “Ohh iya tante, hati-hati dijalan.” Anggun mengantar sampai pintu kamar. Begitu Tante Widya menghilang dari pandangan, Anggun mendekati Nathan, membelai pundak Nathan dengan sentuhan yang membuat Nathan tersentak.

“Anggun, lo ngagetin gue aja.” Nathan merasa risih dengan sentuhan tangan Anggun, lalu ditepiskannya dengan perlahan.

“Lo mau nyampe kapan nungguin Ara? Apa lo nggak jenuh ngomong sama Ara yang bahkan nggak nanggepin lo sama sekali?” Anggun terlihat tidak senang dengan “penolakan” Nathan. “Maksud lo apa?” dahi Nathan mengernyit, dia merasakan tangan Ara seperti tersentak.

“Ya lo liat aja deh, Ara tuh persis banget kaya mayat hidup. Nggak bisa apa lo tinggalin dia? Masa depan lo masih panjang Than, jangan lah lo sia-siain buat nungguin Ara yang nggak jelas kapan bisa sadar.” Anggun mengucapkan semuanya tanpa beban, mengibaskan rambut panjangnya.

Nathan bangun dari duduknya, “Lo kenapa sih jadi gini? Ada masalah sama Edo?” Anggun melirik Nathan dengan pandangan acuh, “Gue sama Edo udah bubar. Gue bosen sama dia, sampe sekarang nggak dapet kerjaan juga.” Nathan terhenyak mendengar pernyataan Anggun, dia sama sekali tidak menyangka, sementara Edo memang tidak menceritakan sedikitpun perihal berakhirnya hubungan mereka.

“Kapan kalian bubar?” Nathan merasa iba pada Edo. “Ah nggak penting bahas ginian Than. Mending sekarang lo pertimbangin tawaran gue, lo lebih pantes bersanding sama gue. Ketimbang sama Ara yang.. ya lo tau lah gimana. Karir lo yang bagus bisa makin bersinar kalo lo bareng sama model terkenal macam gue.” dengan pongahnya Anggun mengucapkan hal tersebut. Nathan memandang dengan ekspresi tidak percaya, bagaimana mungkin Anggun mengatakan semua itu.

“Becanda lo nggak lucu tau.” Nathan memalingkan wajahnya, memandang Ara. Dibawah alam sadar Ara, dia dapat mendengar semua percakapan Nathan dan Anggun. “Lo kenal gue dengan baik Than, apa gue tipe orang yang bisa becanda?” ucapan Anggun membuat Nathan bersyukur sahabatnya berpisah dengan wanita macam Anggun.

“Temen macam apa lo, tega ngomong kaya gitu disaat sahabat lo lagi koma kaya gini. Bukannya lo sahabat dekatnya Ara.” ucap Nathan tanpa mengalihkan pandangannya dari Ara, lalu mengusap air mata yang mengalir dari pelupuk wajahnya. “Gue tau gue jahat, tapi gue suka sama lo dari pertama gue kenal lo. Tapi kenapa lo lebih milih Ara? Apa sih bagusnya Ara? Dia nggak secantik gue, lo lebih pantes sama gue!” nada suara Anggun meninggi.

“Stop!” bentak Nathan. Anggun terkejut dengan reaksi Nathan. “Kalo lo kesini cuma mau bikin Ara sedih, lebih baik lo pergi.” Nathan mempersilakan Anggun meninggalkan ruangan.

“Tapi Than…”

“Please, Ara butuh istirahat. Gue rasa lo lebih baik pulang.” Nathan kembali duduk, tidak memandang Anggun kembali. “OK Than, kalo itu mau lo. Tapi lo mesti inget, kalo gue bener-bener suka sama lo, kalo lo berubah pikiran..”
“Sampai kapanpun gue cuma mencintai Ara.” potong Nathan sebelum Anggun menyelesaikan perkataannya.

“Nathan! Bisa nggak sih lo kasih sedikit gue kesempatan bikin lo bahagia? Gue nggak mau liat lo sedih terus-terusan dengan kondisi Ara.”

“Siapa bilang gue sedih?!” Nathan berbalik, kilat kemarahan terlihat jelas di wajahnya, “siapa bilang gue sedih hah? Nggak usah sok tau deh lo, urus aja urusan lo sendiri.” rahang Nathan mengeras.

Tiba-tiba monitor di sebelah Ara berbunyi, detak jantungnya meningkat, seketika Nathan panik. “Ra, kamu kenapa? Ara please, bertahanlah.” Tubuh Ara kejang, Anggun ikut panik. “Tolong panggilin dokter!” perintah Nathan. Tanpa banyak tanya Anggun segera keluar ruangan dan memanggil dokter dan para suster. Saat mereka datang, Nathan dan Anggun diminta untuk menunggu di luar ruangan.
“Ma… maafin gue.” sesal Anggun. “Kalo sampe terjadi sesuatu sama Ara, gue nggak bakal maafin lo!” Nathan menatap Anggun penuh kebencian.

Setengah berlari, Tante Widya tergesa-gesa menuju kamar rawat Ara. Belum sampai satu jam berada di rumah, Nathan memberi kabar bahwa Ara kolaps. “Ara kenapa Than?” Tante Widya terlihat sangat cemas. “Tubuh Ara tiba-tiba kejang tante, sekarang lagi ditangani sama dokter.” jawab Nathan merasa bersalah, disaat dia harusnya menjaga dan memastikan keadaan Ara, Ara malah mengalami hal yang tidak terduga. Nathan memandang Anggun sengit, Anggun menunduk, tak berani banyak bicara.

Dokter keluar dari kamar, “Silakan masuk, pasien sudah kami tangani. Saya sarankan agar tidak membicarakan hal-hal yang dapat membuat pasien sedih atau shock. Walaupun pasien tidak dapat merespon, namun pasien dapat mendengarnya. Kalau bisa bicarakan hal-hal yang membuatnya senang, ajak pasien mengobrol hal-hal yang membuatnya optimis, agar tingkat kesadarannya segera pulih.”

“Baik dok, terimakasih.” ucap Tante Widya dan Nathan hampir bersamaan, dokter dan suster pun meninggalkan mereka. Tante Widya merasa curiga, pasti terjadi sesuatu saat dia pulang tadi. “Ada apa Than? Apa yang kamu bicarakan sama Anggun?” mata Tante Widya menyelidik keduanya.

“Err, Anggun pamit dulu tante. Besok Anggun datang lagi. Maaf sudah mengganggu.” pamit Anggun tanpa menunggu banyak waktu, dia segera berlalu dari hadapan Tante Widya dan Nathan. Sepertinya dia ketakutan, tidak ingin diinterogasi lebih banyak lagi oleh Tante Widya.

Tante Widya merasa ada yang janggal, namun begitu Nathan langsung membimbingnya ke kamar rawat Ara. “Tadi Nathan sempat bertengkar sama Anggun, maafin Nathan.” sesal Nathan. “Bertengkar? Kalian ada masalah apa?” Tante Widya merasa heran, karena dia tahu bahwa Nathan, Ara, dan Anggun memiliki hubungan pertemanan yang baik. Kemudian Nathan menceritakan kronologi kejadiannya hingga akhirnya Ara kejang.

“Ya sudah, mungkin untuk dalam waktu dekat ini sebaiknya kalian jangan bertemu Anggun dulu. Atau lebih tepatnya jangan izinkan Anggun menemui Ara, tante khawatir dia akan membuat kondisi Ara semakin memburuk.”

“Iya tante, Nathan kira itu langkah terbaik. Maafin Nathan, kalo Nathan tau kejadiannya bakal kaya gini, Nathan nggak akan biarin Anggun jenguk Ara.”

“Siapa yang tau kalo Anggun sebenernya menaruh rasa padamu Than, mungkin dia sedang dibutakan oleh cintanya sampai-sampai dia lupa persahabatannya dengan Ara. Tante nggak nyangka dia bisa seperti itu sama Ara, padahal mereka bersahabat cukup baik selama kuliah.” Tante Widya menatap Ara yang keadaanya kembali normal.

“Nathan pasti jagain Ara sampai kapanpun tante.” Nathan menggenggam erat tangan Ara. Tante Widya tersenyum, berharap segera ada keajaiban yang membuat Ara tersadar.

***

Hari-hari berlalu seperti biasa, Nathan pulang mengunjungi dan merawat Ara di rumah sakit sepulang dari kantor. Keadaan Ara sudah kembali normal, dan Anggun belum menunjukkan kehadirannya lagi. Mungkin dia masih takut Tante Widya mengetahui keterlibatannya atas kolapsnya Ara, atau mungkin sedang sibuk pemotretan dan fashion show disana dan disini. Kali ini tiba giliran Nathan yang dikejutkan oleh Tante Widya, mengenai kondisi Ara.

“Ada apa tante? Ara kenapa?” Nathan buru-buru meletakkan tas dan beberapa pekerjaannya di sofa, memburu jawaban Tante Widya yang sedang menangis. “Dokter bilang, Ara udah nggak ada harapan lagi. Udah hampir tujuh bulan Ara nggak menunjukkan kemajuan, apalagi tanda-tanda akan sadar. Dokter menyarankan Ara untuk dibawa pulang Than.” Tante Widya tersedu.

“Kok gitu sih tante? Kalo Ara dibawa pulang, keadaan Ara bisa memburuk bukan?” cemas Nathan. “Itu juga yang tante khawatirkan, tapi tante juga udah nggak punya biaya lagi untuk perawatan Ara di rumah sakit.” Tante Widya semakin tidak bisa menahan kesedihannya, dia berlalu keluar dari kamar. Nathan tak kuasa mencegahnya, memberi kesempatan Tante Widya untuk sendiri.

Nathan menatap Ara lamat-lamat, “Kamu mau sampe kapan kaya gini Ra? Sampai kapan? Apa kamu tega biarin mama mu sedih terus tanpa kehadiranmu? Kamu tega? Lihat aku Ra! Apa kamu tega biarin aku nunggu terus kaya gini? Sampe kapan? Sampe kapan Ra?!” Tante Widya menangis, memandang Nathan yang berbicara pada Ara lewat kaca yang ada di pintu kamar.

“Aku mohon, segeralah bangun Ra. Jangan biarin aku nunggu kamu lebih lama lagi, aku udah kepingin bareng sama kamu. Siapa yang dulu bilang mau nikah sama aku? Siapa yang bilang mau hidup bareng aku, jadi ibu dari anak-anakku.”- monitor menunjukkan detak jantung Ara meningkat- “bangun Ra! Kenapa diem aja? Kamu jahat banget biarin aku bermonolog terus-terusan kaya gini!” kali ini Nathan membiarkan seluruh perasaannya tercurahkan, air mata mengalir di pipinya. Menetes, tepat di pipi Ara.


-bersambung-