My Read Lists

Senin, 26 November 2012

Tahukah Kamu?

Tahukah kamu?

Kamulah yang menenangkanku disaat aku merasa gundah. Kamu yang menggenggam tanganku disaat aku goyah. Kamu pula yang mengingatkanku bahwa kamu tempat ku berkeluh kesah.

Kamu yang merengkuh ku dalam pelukanmu disaat aku lemah. Kamu yang menemaniku disaat aku merasa sendiri. Kamu lah tempat ku berbagi. Kamu pula tempat ku mencurahkan isi hati.

Kamu yang mengingatkanku, bahwa keadaan tak akan selamanya menyenangkan. Tapi aku harus merasa yakin bahwa hidup ini indah.

Kamu..
Yang berkata ingin hidup bersamaku. Disaat senang maupun susah..
Aku pun begitu. Ingin menemanimu, menghabiskan sisa waktu ku bersamamu.
Hanya kamu, tak ada yang lain.


P.S : I need you

Rabu, 14 November 2012

Kehilangan Rasa Kehilangan Bagian 9

Oktober 2011

Emelly segera turun dari angkot di depan pintu masuk RS Gatot Subroto, panas terik begitu menyengat kulit. Tas ransel penuh dengan buku dan media mengajarnya tadi bahkan tidak terasa berat lagi baginya. Yang dia pikirkan adalah segera bertemu dengan ibunya, ibunya yang baru saja tadi pagi ditemuinya.

"Bu, Nida berangkat dulu. Doain Nida ujian ngajar nanti sukses ya bu." Emelly menggenggam erat tangan ibunya.
"Allah selalu bersamamu Da." tangan ibu yang satunya membelai lembut kepala Emelly, lalu tersenyum.

Koridor sepanjang rumah sakit tidak terlalu ramai, mungkin karena jam bezuk belum dibuka. Emelly melangkah cepat, melihat setiap papan nama ruangan rawat inap yang dia lewati. Setelah melihat papan bertuliskan Cendrawasih 17, Emelly memutar kenop pintu. Dilihatnya Dira yang masih memakai seragam putih abu-abu sedang berdiri disamping ayahnya. Beliau sedang mendekatkan wajahnya kepada sang ibu yang terbaring. Sisa air mata masih terlihat jelas di wajah Dira.
Nafas Emelly semakin memburu, peluh yang menetes di dahi tak dihiraukannya saat Pak Fauzi melambaikan tangan, memberi isyarat agar Emelly segera mendekat. Emelly mendekatkan wajahnya kepada sang ibu yang ternyata telah dipanggil menghadap-Nya. Pak Fauzi mengelus punggung Emelly, berbisik, "Tabahkan hatimu. Tawakal."

"Ibu." Emelly membelai lembut wajah ibunya yang tersenyum, terlihat bahagia diakhir menutup usia. Emelly tak sanggup membendung air matanya lagi, dipeluknya sang ibu dengan erat seolah tak ingin ibunya pergi.
"Ibuuuu... jangan tinggalin Nida buu.. Bangun buu, banguuuun..." Emelly mulai histeris, mengguncang-guncangkan tubuh ibunya. Dira memegang tubuh kakaknya yang mulai kalap. Emelly berusaha melepaskan tangan adiknya, memberontak.
"Da, ikhlaskan. Ibumu sudah tenang." Pak Fauzi mengambil alih tubuh Emelly yang tidak mau disentuh adiknya.
"Lepasin yah! Lepasin! Ayah jahat, kenapa nggak kasih tau Nida sebelum ibu pergi. Kenapa yah? Ibu jahat, ibu nggak nungguin Nida pulang dulu." Emelly kian lepas kendali, tak mau melepas pelukannya pada sang ibu.
"Mbak, jangan kaya gitu. Ini udah kehendak Allah, ikhlasin ibu mbak." Dira memeluk Emelly dari belakang. Emelly tak menghiraukannya, terus terisak sambil memeluk ibunya yang telah tutup usia.

***

Emelly berlarian menuju lobi RSCM, segera menghambur ke bagian resepsionis dan bertanya dimana ruang ayahnya sedang dirawat. Lalu Emelly menarik tangan Dira menuju lift dan segera ke lantai 11. Koridor rumah sakit yang berwarna putih, lampu neon berpendar dimana-mana menyilaukan mata. Pun terasa begitu sempit bagi Emelly saat dia menghambur keluar dari lift yang membuatnya susah untuk bernafas, seluruh pikirannya tadi kembali ke satu tahun yang lalu, saat ibunya meninggal. Dia mulai cemas, mulai khawatir. Dari kejauhan, dilihatnya Ray yang masih berseragam POLRI duduk di luar ruangan operasi.

"Ray, Ayah dimana?" Emelly bertanya dengan nafas terengah-engah. Dira mengangguk saat Ray memandangnya.
"Sabar Em, ayahmu sedang di ruang operasi." Ray membimbing Emelly untuk duduk, menenangkan diri.
"Mas, aku pergi beli air minum dulu buat mbak Nida bentar ya." Ray mengangguk saat Dira meminta izin padanya.
Ray memandang Emelly yang tidak melepaskan pandangannya dari pintu ruang operasi, berharap pintu itu segera terbuka. Emelly tidak henti-hentinya menggerakkan kaki seperti orang yang sedang menjahit, sedang tangannya dikepalkan di atas lutut. Wajah Emelly terlihat sangat cemas, kerudung abu-abunya terlihat sedikit berantakan, beberapa helai rambut menyembul keluar di bagian pipi. Ray berusaha akan membetulkannya, tapi saat baru akan menyentuh pipi Emelly, Emelly bangun dari duduknya. Pintu ruang operasi terbuka.

Emelly segera menghambur ke arah sang dokter, "Gimana keadaan ayah saya Dok?"
"Anda keluarga pasien?" tanya dokter.
"Ya Dok, saya putrinya."
"Kami kehabisan stok darah golongan AB rhesus positif, apa ada dari anggota keluarga pasien yang memiliki golongan darah yang sama?"
"Golongan darah saya sama dengan ayah Dok, silakan bisa diperiksa." jawab Emelly dengan mantap.
"Baik, silakan ikuti saya, kita lakukan pemeriksaan dulu apakah darah saudara bisa didonorkan ke pasien atau tidak."
Emelly mengangguk, lalu menatap Ray. "Gue tunggu disini Em." Ray menyentuh bahu Emelly. Kemudian Emelly bergegas mengikuti sang dokter untuk menjalani pemeriksaan.

Tak lama berselang, Dira muncul membawa kantong plastik berisikan beberapa botol air mineral.
"Mas, mbak Nida kemana? Operasinya belum selesai?" Dira duduk disebelah Ray, memberikan sebotol air mineral.
"Tadi dokter udah keluar, tapi butuh donor darah AB positif. Mbak mu sedang menjalani pemeriksaan dulu, di cek dulu bisa didonorin atau nggak." jawab Ray sambil membuka tutup botol, menenggak hampir separuh dari isi botol.
"Hmm.. semoga keadaan ayah cepet membaik. Ehh mas, gimana ceritanya kok ayah bisa ketembak gitu?" tanya Dira penasaran.
"Uhuk..huk.." Ray tersedak, kaget mendengar pertanyaan Dira.
"Mas, ceritain dong. Gue pingin tau kronologinya." desak Dira.

"Ray..!!"

Belum sempat Ray menjawab pertanyaan Dira, tiba-tiba Han muncul bersama Kinanti. Menghampiri Ray yang beranjak dari duduknya, disusul oleh Dira.
"Lo nggak papa Ray?" tanya Han.
"Iya tenang aja Han, gue nggak papa." jawab Ray.
"Kinanti? Ngapain lo disini?" tanya Dira bersamaan saat Ray menjawab pertanyaan Han.
"Lho? Kalian saling kenal?" tanya Ray dan Han bersamaan, menuding Kinanti dan Dira.
"Iya mas, Anti sama Dira satu kelas. Nah kakak Dira itu yang guru Bahasa Inggris di kelas Anti ." Kinanti menjelaskan.
"Oh, jadi mas Ray dan Briptu Handika itu kakak lo?" tanya Dira.
"Iya Ra."
"Kamu... kayaknya saya pernah lihat, tapi dimana ya?" Han mengingat-ingat wajah Dira.
"Saya yang dulu pernah mas tolongin pas ada kecelakaan."
"Oh iya ya, inget saya. Anti juga cerita pernah nengokin temen sekelasnya, dia bilang saya yang nolongin pas kecelakaan. Ternyata kamu toh cowok yang di.."
Kinanti langsung mencengkeram lengan Han, "Mas Han!"
"Eh maap, hampir aja keceplosan.. hehe" Han terkekeh.

Sementara Kinanti dan Dira melanjutkan perbincangan mereka, Ray mengajak Han sedikit menjauh ke arah pintu keluar darurat, sepertinya ada hal yang ingin mereka bicarakan.
"Kronologinya gimana Ray?" Han mulai menginterogasi kakaknya.
"Tadi siang, Pak Fauzi kirim gue SMS, gue mesti segera ke kantor. Gue bingung, tumben banget beliau suruh gue segera ke kantor. Apalagi hari ini bukan giliran gue piket, gue juga masih jalan sama anaknya waktu itu."
"Oh, yang guru Bahasa Inggrisnya Anti?" Han memastikan.
"Iya, dia temen SMA gue. Gue langsung pulang dan ganti seragam, terus meluncur ke kantor. Ternyata ada laporan dari warga, ada rumah yang udah beberapa bulan terakhir ini digunakan orang-orang yang nggak dikenal. Kita langsung koordinasi sama Densus 88 buat gerebek tuh lokasi.
"Terus?" Han menunggu lanjutan cerita Ray. Tanpa disadari, dari balik tembok ada seseorang yang menguping pembicaraan mereka.

"Semuanya bener-bener di luar dugaan gue Han. Lo tau kan, jaringan teroris yang akhir-akhir ini marak muncul. Mereka mulai berani menunjukkan diri secara terang-terangan, dan sasarannya aparat kepolisian. Kayaknya mereka dendam banget karena pemimpin-pemimpin mereka satu persatu udah masuk ketangkep, bahkan ada yang udah dihukum mati."
"Hmm.. gue rasa, pelakunya itu anggota rekrutan mereka yang baru. Beberapa komplotan mereka yang notabene masih buron, kayaknya mulai nyiapin bibit baru." Han berspekulasi.
"Mungkin. Setelah kita datengin lokasinya, ya ternyata bener itu sarang teroris baru. Baku tembak sama mereka nggak terhindarkan lagi, mereka berani melawan Han. Persenjataan mereka lengkap, beberapa bom rakitan dan senjata juga udah diamankan."
"Kok bisa Pak Fauzi ketembak gitu?"
"Gue.. waktu itu gue hampir aja ketembak. Pak Fauzi nyoba buat nyelametin gue dan nembak tuh teroris duluan, tapi beliau kalah cepet. Beliau ketembak di dada kanan." Ray terlihat sangat merasa bersalah. Seseorang yang sedang menguping pembicaraan mereka mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.
"Astaghfirullah, terus gimana?"
"Ya gue langsung tembak tuh teroris lah, pas kena paha kiri. Sekarang dia lagi di interogasi."

Emelly tiba-tiba muncul dari arah belakang Ray dan Han, "Ray."
Ray terkejut bukan main, wajahnya terlihat bingung, takut Emelly mendengar semua pembicaraannya dengan Han barusan.
"Ehh, iya Em. Kenapa?" Ray berusaha menutupi kegugupannya.
"Tekanan darahku terlalu rendah, jadi nggak bisa didonorin ke ayah. Golongan darah Dira B. Gue mesti gimana Ray?" Emelly bingung, matanya mulai berkaca-kaca.
"Butuh golongan darah apa?" Han langsung bertanya.
"AB positif." Ray dan Emelly menjawab hampir bersamaan.
" Saya bisa bantu Miss." celetuk Kinanti yang muncul bersama Dira.
"Beneran kamu bisa?"
"Iya Miss, ayo cepetan kita periksain. Jangan buang waktu." desak Kinanti. Tanpa pikir panjang, Kinanti menggandeng Emelly untuk segera memeriksakan darahnya.

***

"Ra, ngapain lo disini?" Kinanti mendekati Dira yang sedang duduk sendiri di lobi lantai 11.
Dira memandang Kinanti dengan tatapan tajam, dingin. "Duduk, lo liatnya gue lagi ngapain?" ucap Dira ketus. Kinanti kaget dengan apa yang baru saja Dira ucapkan. "Dira kenapa jadi ketus gini sama gue?" ucap Kinanti dalam hati.
"Kalo nggak ada yang lo mau omongin, mending lo pulang aja deh An." usir Dira setelah Kinanti lama berdiam diri disebelahnya.
"Lo kenapa jadi berubah gini Ra? Padahal gue nggak bikin salah sama lo. Malahan gue donorin darah buat ayah lo."
"Ohh, jadi karena lo udah donorin darah buat ayah gue, gue mesti gimana? Gue mesti bilang 'makasih ya Anti, lo udah nolongin ayah gue. Gue nggak tau mesti gimana ngebales semua kebaikan lo.' Iya?" perkataan Dira baru saja melukai perasaan Kinanti.
"Lo.. kenapa tiba-tiba jadi berubah gini Ra? Tadi juga lo baik-baik aja." Kinanti berusaha sabar, menyentuh lengan Dira.
Dira menepis tangan Kinanti dengan kasar lalu berdiri dari duduknya, "Iya! Sebelum gue tau penyebab ayah gue sampe ketembak kaya gitu gara-gara kakak lo!!" mata Dira menatap tajam, api kemarahan terpancar sangat jelas dimatanya.
"Maksud lo apa?" mata Kinanti mulai berkaca-kaca.
"Tanya sendiri sana sama si brengsek Ray!!"

Plaakkk!!

Kinanti menampar Dira. Dia tidak tahan lagi dengan semua ucapan kasar Dira. Beberapa suster yang bertugas dan orang yang berlalu lalang memperhatikan mereka.
"Lo boleh marah sama gue Ra, tapi lo nggak perlu sampe ngomong kaya gitu tentang Mas Ray. Gue nggak ngerti apa maksud lo ngomong kaya gitu." air mata mulai membasahi wajah Kinanti.
"Nggak usah deh lo nangis gitu, air mata buaya. Lo sama Ray tuh sama aja, munafik. Gue tau lo naksir gue kan? Terus lo pikir, setelah lo donorin darah buat ayah, gue bakal suka sama lo? Nggak usah mimpi deh lo!"
"....." Kinanti tercekat mendengar perkataan Dira, hatinya terluka dalam.
"Sampe kapanpun gue nggak bakalan maafin abang lo yang brengsek itu, dan jangan harap gue bakal suka sama lo. Ngerti...!!" mata Dira menyala-nyala, penuh kebencian.

"Zan... Ayah..." Emelly tiba-tiba muncul, dengan wajah penuh kesedihan. Air mata membanjiri wajahnya.
Dira menghambur mencengkeram lengan Emelly, "Ayah kenapa mbak?"
Emelly tak mampu berkata-kata lagi, hanya terisak. Dira berlari menuju ruangan dimana ayahnya dirawat. Saat Dira hendak membuka pintu, bersamaan dengan Ray yang membuka pintu dari dalam.
"Minggir lo...!!" ucap Dira kasar, menabrak bahu Ray.
Emelly menangis tertunduk, Kinanti mendekati dan mengenggam tangannya. Emelly memeluknya, menangis sejadi-jadinya. Ray memandang mereka dari depan kamar rawat Pak Fauzi. Dia merasa sangat bersalah.

Selasa, 13 November 2012

Di Berlalunya 22 Tahun Usiaku

Ehh.. hari ini aku ultah ya??
Waaah.. aku lupa... #muka cengo :D



My 22nd Birthday

Tepat hari ini usiaku berkurang 22 tahun.

Benar-benar tak menyangka, aku sudah setua ini. Sepertinya baru saja kemarin aku mengenakan seragam merah putih. Lalu aku beralih mengenakan seragam putih biru. Kemudian, 7 tahun yang lalu aku merasakan bangku putih abu-abu yang begitu penuh warna persahabatan, cinta pertama, dan pengkhianatan..

Semuanya terasa cepat berlalu, walaupun dulu aku ingin segera mencapai titik ini. Titik dimana:
1. Aku sudah pantas memakai baju yang terkesan lebih dewasa daripada wajahku yang sebenarnya masih pantas mengenakan seragam SMA #ini ciyuuus loh!
2. Aku tidak lagi meminjam kosmetik milik ibuku yang digunakan hanya sekedar untuk main-main saja, melainkan karena emang udah butuh untuk menciptakan kesan dewasa pada wajahku yang imut nan unyu ini
3. Aku bisa memakai sepatu yang udah nggak rata lagi alias rada tinggi (belum berani pake heels diatas 10 cm)
4. Aku mulai sering menghadiri pernikahan teman-temanku #yang ini bikin mupeng
5. Aku telah mengubah statusku dari mahasiswa menjadi pengangguran #nyesek

Udah 22 tahun ya ternyata? Tapi, di hari lahirku kali ini biasa aja menurutku mah.

"No more celebration, tart, candle, even more gift. I've been 22nd now."

Kalimat diatas benar-benar terjadi dan berlaku padaku saat ini. Hari lahir yang dulu-dulu sering dirayakan bersama teman dan keluarga, tidak lupa dengan acara tiup lilin dan potong kue, lalu begitu banyak kado yang aku dapatkan, sekarang semua itu nggak ada lagi. Ulang tahun bukan sesuatu yang pantas dirayakan lagi, karena umurku sedang dikurangi. Ya, sisa hidupku didunia ini semakin berkurang, dan tentu saja aku tidak tahu berapa banyak lagi sisa yang masih aku miliki. Bisa setahun, setengah tahun, satu bulan, satu hari, atau mungkin satu jam lagi.

Namun begitu, aku berharap di 22 tahun berlalunya hari-hariku ini, semoga saja aku sudah sedikit memberikan manfaat untuk agamaku, orang-orang disekelilingku, orang-orang yang ku sayangi dan menyayangiku, sekolahku, lingkunganku, dan juga negaraku. Aku sadar banyak hal yang sudah aku perbuat selama ini yang ternyata tidak memberikan manfaat, atau bahkan menyakiti dan melukai orang-orang disekelilingku. Tidak ada manusia yang sempurna didunia ini, tapi sungguh aku menyesal dan berusaha ingin mengurangi semua tabiat burukku itu. :(

Ya, di berlalunya 22 tahun usiaku ini banyak hal yang harus aku lakukan dan mimpi-mimpi ingin aku wujudkan. Tak perlu muluk-muluk lah, segala keinginan yang berbau materi insya Allah bisa dicari dan didapatkan asal rajin menabung. Tapi, untuk urusan kepribadian dan membahagiakan orang-orang yang kusayangi sepertinya akan sedikit membutuhkan waktu. Never mind, I'll do my best.


 Hmm... yang jelas, di berlalunya 22 tahun usiaku ini, banyak sekali yang sudah aku lalui. Banyak hal yang membuatku semakin menyadari betapa sering aku tidak bersyukur atas segala yang telah diberikanNya, dan nikmat sehat dan sempat yang diberikan Allah swt padaku hingga saat ini tak ternilai harganya. Dan juga banyak orang yang baru aku temui, atau orang-orang lama yang sampai saat ini masih bertahan dan setia menemaniku. Aku ingin berterimakasih pada:

1. Allah swt yang masih mengizinkanku untuk bernafas hingga saat ini.
2. Ayah & Ibuku, yang sudah memberikan begitu banyak hal yang sudah pasti tidak akan bisa aku ganti.
3. Keluarga ku yang jelas tak mungkin aku sebutkan satu persatu, terimakasih atas semua dukungan dan doa kalian.
4. Sahabat-sahabatku: Devina a.k.a Diphi, Intan Rosza a.k.a Budhe, Tutus Eshananda a.k.a Nanda, Siska Andriyani a.k.a Tita, M. Ridlo Nur Ar-Rofi a.k.a Warjo, Fitri Setyaningsih a.k.a Mamah Pipit, Nawangi Dahlia a.k.a Ni Naw, Aurora Rizka HP a.k.a Bebeb, Annis Fitri Z a.k.a Farhan, Heru Pramono, M.Ridlo Nur Ar-Rozzaq a.k.a Kodok, dan Mega Mareta Ngalih a.k.a Meg. Terimakasih kalian sudah memberikan begitu banyak warna dalam hari-hariku dulu, kini dan nanti.
5.  Semua teman-teman yang aku kenal dan mengenalku, semua orang yang ku sayang dan menyayangiku. Terimakasih telah menjadi bagian dalam hidupku.
8. Guru dan dosenku, terimakasih atas semua ilmu dan pengalaman yang sudah kalian berikan padaku,

Tanpa kalian semua, aku tidak akan menjadi seperti sekarang. Untuk orang-orang yang menyakitiku dan membenciku, terimakasih karena kalian aku jadi bisa lebih bersyukur dan menyadari segala kekuranganku.

Waaahh... udah deh sesi melow-nya. Sekarang saatnya menatap kedepan, bersiap menjadi seorang wanita seutuhnya (yang kata Annis Fitri Zamzami gue itu nggak utuh sebelumnya #puas lo?) yang berpikir dan bertindak dewasa. Nggak ada lagi tuh yang namanya perilaku yang kekanak-kanakan. Malu ah sama muka yang kian lama semakin menua #aarrgh.. keriput. 

Well, udah dulu kali ya.. Semoga aja masih diberi kesempatan buat nulis postingan "Di Berlalunya 23 Tahun Usiaku" tahun depan. Amiiin..

Senin, 12 November 2012

Kehilangan Rasa Kehilangan Bagian 8

"Ternyata selama ini lo yang sering kasih bunga buat kakak gue?" 

Dira memergoki seseorang yang sangat dikenalnya sedang bersiap menaruh setangkai bunga mawar merah di atas jok motor matic milik kakaknya.
"Gu..gue..." laki-laki itu tergagap, salah tingkah. Bunga mawar merah yang dipegangnya terjatuh.
"Gue kira malah Arga dibalik semua ini, ternyata lo." Dira tersenyum mengambil bunga mawar dan menyerahkannya kembali pada sosok yang dia kenal sebagai Agung, teman yang duduk sebangku dengan Arga, di depan bangkunya.
"Gue.. gue bisa jelasin sama lo Ra." Agung benar-benar terkejut, tak menyangka Dira memergokinya. Dari kejauhan Dira melihat Emelly menuju parkiran, hendak pulang.
"Sini lo." Dira cepat menarik Agung untuk bersembunyi, sebelum Emelly memergoki mereka berdua. Setelah kepergian Emelly, Agung mengajak Dira ke lapangan basket, dia ingin menjelaskan semuanya.

"Ra, ini nggak seperti yang lo pikirkan." Agung memulai percakapan, wajah tirusnya terlihat tegang, walaupun begitu dia tetap rupawan, mirip Chef Juna di Master Chef Indonesia.
"Biasa aja kali bro, lo nggak usah tegang gitu. Gue ngerti kok, gue cuma nggak nyangka aja kalo ternyata itu lo. Gue sempet mikir kalo yang kasih bunga buat kakak gue tuh si Arga." Dira mencoba menenangkan Agung yang masih terlihat cemas.
"Gue... gue..." Agung bingung mencari kata yang tepat untuk menjelaskan semuanya pada Dira.
"Lo suka sama kakak gue?" pertanyaan Dira langsung menohok hati Agung, dia terkesiap.
"Love at the first sight mungkin lebih tepatnya. Waktu Ms. Em pertama kali masuk ke kelas kita." Agung menunduk, tak berani memandang Dira.
"Tapi, sikap lo waktu itu biasa aja kayaknya. Malah justru sikap si Arga yang bikin gue curiga. Dia tuh pernah senyum-senyum gitu waktu tanya Mbak Nida."
"Dia... gue yang suruh. Gue nggak berani nanya langsung sama lo. Gue emang berusaha nutupin, biar sikap gue terlihat biasa aja."
"Hmm.. terus?"
"Ms. Em cinta pertama gue. Rasanya bener-bener beda, bukan kaya sebatas suka sama cewek-cewek seumuran kita. Makanya gue cuma berani cerita sama Arga, terus dia nyaranin buat kasih bunga mawar aja sebagai ungkapan perasaan gue."
"Pengecut lo bro."
"Gue nggak berani Ra. Beneran deh, yang ini beda. Waktu liat atau ketemu Ms. Em, gue deg-degan banget. Makanya gue berusaha nutupin dengan sikap gue yang malah jadi aktif gitu. Kalo gue diem aja mesti anak-anak banyak yang tau. Please Ra, jangan kasih tau Ms. Em." pinta Agung.
"Hmm.. gimana ya? Gue juga awalnya rada ragu, gue pikir si Arga, tapi tulisan puisi-puisinya itu tulisan tangan lo. Tanpa gue ngomong pun, suatu hari Mbak Nida bakalan tau. Apalagi kalo sambil ngoreksi essay Bahasa Inggris, tulisan lo jelas ketahuan lah."
"Ya ampuuuuuuuuuuuuuun.. Kenapa gue nggak mikir mpe situ sih?" Agung menjambak rambutnya sendiri.
"Harusnya lo pake ketik komputer aja bro."
"Terus gimana dong?" Agung bingung.
"Tenang aja ntar gue bantuin, lagian hampir semua bunga dan puisi yang lo kasih gue yang nyimpen. Mbak Nida nggak terlalu perhatiin."
"Gitu ya?" Agung kecewa.
"Maaf ya bro, gue ngerti lo kecewa. Tapi lo mesti realistis, masa iya dia mau ngembat muridnya sendiri, apa kata dunia?"
"Iya sih, gue juga mikir gitu. Makanya gue juga nggak berani terang-terangan ngungkapin perasaan gue."
"Gue sih cuma bisa ngasih saran, ya dikit-dikit lo kurangin deh perasaan suka lo itu. Ya walaupun susah, tapi pasti bisa. Dari pada lo lebih sakit lagi ntar."
"Udah nggak ada harapan ya buat gue? Katanya Ms. Em masih single?"
"Ya emang Mbak Nida masih single, tapi lo kan muridnya."
"Gitu ya?" raut wajah Agung terlihat sangat kecewa.
"Ya udah, pulang yuk bro. Move on man!" Dira menepuk bahu Agung sambil beranjak pergi. Agung tersenyum getir.

***

Handphone Emelly menjerit saat dia baru saja keluar kamar, handuk tersampir di bahu kiri. Di layar handphone tertera nama RAY.

"Hallo, assalamualaikum.
"Wa'alaikumsalam, Em."
"Ada apa Ray?"
"Em, kira-kira lo ada waktu minggu ini?" Ray bertanya pada Emelly.
"Gue palingan bisa malem Minggu atau hari Minggu nya Ray, emang kenapa?" Emelly melangkah menuju meja makan, membuka tudung saji.
"Lo mau nggak nemenin gue ke toko buku?"
"Ehh, sejak kapan lo suka baca buku?"
"Yaelaah.. bukan buat gue, tapi buat adik gue yang cewek. Dia minta kado ultahnya minggu depan, tapi gue nggak tau mesti kasih apa. Gue cuma tau kalo dia suka baca novel. Nah, gue mau minta lo bantuin pilih."
"Oh." Emelly mencomot perkedel tahu sisa sarapan tadi pagi.
"Tuh kan. Ekspresi lo dari dulu selalu ber-oh ria." wajah Ray merengut, sambil membetulkan posisi earphone di telinganya.
"Errr.. mau nyari kemana emang? Jam... berapa?" Emelly tersenyum sambil mengunyah perkedel, membayangkan wajah Ray yang cemberut.
"Ke toko buah." jawab Ray sekenanya. Terdengar suara tawa Emelly dari seberang. "Ya di toko buku lah. Sekalian kita jalan-jalan kemana gitu. Besok Minggu aja gimana?" Ray menawarkan.
"Boleh, mau jam berapa?"
"Gue jemput lo aja jam setengah satu, sekalian kita lunch. OK?"
"OK. Udah dulu ya Ray, gue mau mandi."
"OK, Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam Ray."

Emelly menutup percakapan, handphone dia letakkan di meja makan. Kemudian melirik jam, sudah pukul 16.00.
"Fauzan kok belum pulang jam segini? Main kemana tuh anak?" Emelly masuk ke kamar mandi.

***

Emelly mematut diri di depan kaca, merapikan tatanan kerudung biru tuanya. Dia sematkan bros kupu-kupu biru muda di dada, serasi dengan warna blouse biru muda bermotif sulaman berbentuk lingkaran. Dengan bawahan celana kain berwarna hitam, dia akan padu padankan dengan sepatu teplek hitamnya. Sekali lagi dia mematut diri, membenarkan bajunya, menyapukan lipstik berwarna orange lembut di bibirnya. Hasilnya tidak mengecewakan, Emelly terlihat cantik, sederhana dan dewasa. Diliriknya jam tangan hitam di pergelangan tangan kirinya, sudah pukul 12.15. Emelly bersiap menunggu Ray yang akan menjemputnya di teras rumah.
Tak lama kemudian, Ray datang mengendarai sepeda motor hitamnya, tulisan 86 berwarna merah glitter dengan format angka digital terlihat jelas di tankinya. Dia melepas helm, tersenyum pada Emelly yang duduk di teras rumah. Wajahnya sumringah, badannya terlihat tegap dan gagah mengenakan kaos bermotif belang-belang gradasi warna hitam, abu-abu dan putih. Serasi dengan celana jeans hitamnya, Ray mendekati Emelly.
"Kereta sudah siap mengantar kemanapun tuan puteri akan pergi." Ray tersenyum lebar.
"Apaan sih lo Ray, jayus tau nggak sih." Emelly tersipu malu.
"Hehe.. ayo berangkat." Ray mengulurkan tangan, berharap Emelly akan menyambutnya.
"Ayo." Emelly hendak meletakkan tangannya di atas uluran tangan Ray, lalu kemudian menarik tangannya kembali. Emelly tersenyum jahil, meninggalkan Ray yang tersenyum geli melihat tingkah Emelly.
"Semoga aja Mas Ray bisa bahagiain Mbak Nida." Tak disadari, Dira memperhatikan mereka berdua di teras tadi dari dalam rumah.

***

Drrt...drrrt...

Handphone Ray bergetar, saat dia dan Emelly sedang makan siang di sebuah restoran cepat saji dekat toko buku. Dia segera membuka pesan, tertera nama AIPTU FAUZI. Ray mengerutkan dahi, berpikir ada apa ayah Emelly mengirim pesan padanya.

From: AIPTU FAUZI
 

segera ke kantor.

To: AIPTU FAUZI

86


"Ada apa Ray?" Emelly bertanya pada Ray saat mengetik balasan SMS entah dari siapa.
"Ehh.. nggak papa kok." Ray berbohong, meletakkan handphone di saku celananya.
"Lo yakin? Atau lo dipanggil karena ada tugas?" Emelly menyelidik.
"Ehmm.. iya." Ray akhirnya menjawab jujur.
"Ya udah, sana lo cepet balik ke kantor. Tugas lo lebih penting."
"Terus lo pulangnya gimana?"
"Tenang aja, gue bisa naik angkot."
"Beneran? Lo nggak papa gue tinggal?"
"Iya nggak papa, lo tenang aja Ray."
"Ya udah, gue balik dulu ya Em. Makasih banget udah nemenin gue, maaf lo jadi gue tinggal." Ray menyedot habis minumannya, disambut oleh anggukan Emelly. Emelly memandang Ray yang segera pergi meninggalkannya, membayar ke kasir, kemudian berlari ke parkiran dan berlalu dari pandangannya.

"Assalamualaikum." Emelly membuka pintu rumah, Dira menunggunya di ruang tamu.
"Wa'alaikumsalam mbak. Gimana tadi jalan-jalannya? cicuiiittt, hehe." ledek Dira.
"Apaan sih Zan, orang cuma nyari buku doang." Emelly beralih ke meja makan, menuang air putih dan segera meminumnya.
"Nggak cuma nyari buku juga nggak papa mbak. Gue nggak dibeliin oleh-oleh ya? Jahat banget lo sama adek sendiri." Dira menggerutu.
"Bawel lu.. nih." Emelly melempar sebatang cokelat dengan bungkus warna kuning pada Dira, lalu masuk ke kamarnya.
"Asiiik..." Dira langsung melahap cokelat yang baru saja dilempar Emelly.

***

"Mbak, kok Ayah udah jam segini belum pulang ya? Nggak biasanya." Dira mencemaskan ayahnya saat makan malam bersama Emelly.
"Baru jam 8 Zan, biasanya juga ayah bisa pulang lebih malem. Atau mungkin ayah lagi ada urusan." Emelly lanjut mengunyah suapannya.
"Tadi ayah cuma bilang kita suruh makan duluan aja, nggak usah nunggu ayah." Dira menyelesaikan suapan terakhirnya, lalu beranjak mencuci piring.
Saat Emelly hendak menuang minuman, handphone miliknya berdering. Nama RAY tertera di layar, Emelly segera menjawabnya.

"Halo, assalamualaikum. "
"Wa'alaikumsalam Em." suara Ray terdengar tidak bersemangat."
"Ada apa Ray? Tumben lo telpon lagi."
"Hmm.."
"Ada apa sih Ray?" Emelly penasaran.
"Gini Em, lo sama adik lo sekarang ke RSCM ya."
"Ehh, emang siapa yang sakit Ray?"
"Hmm..." Ray bingung akan mengatakannya atau tidak.
"Ray!! Ngomong dong." Emelly mendesak. Dira yang sedang menonton televisi melirik Emelly yang suaranya meninggi.
"Pak Fauzi, sekarang di RSCM. Beliau tertembak tadi siang. Cepetan Em, lo mesti kesini sekarang." Ray mengatakan semuanya.

Praaang....!!!
Gelas yang ada dalam genggaman Emelly meluncur jatuh.