Nathan berulang kali melakukan panggilan
ke Ara, karena prosesi wisuda telah berakhir namun Ara belum kunjung
menampakkan dirinya. Dia mulai gelisah, karena Ara tak biasanya mengabaikan
panggilan darinya. “Ayo Ra, angkat telponnya.” gumam Nathan khawatir.
“Nathan! Sini cepetan, kita foto
rame-rame.” seru Edo dari kejauhan, mau tak mau Nathan menghampiri mereka. Usai
berfoto Nathan segera menghubungi Ara kembali, namun tetap saja panggilannya
tidak membuahkan hasil. Ara tidak menjawab panggilan darinya. “Ara kemana sih?
Kok bisa nggak jawab telponku?” Nathan mulai gusar. Amarah mulai memenuhi
hatinya, berpikir bagaimana bisa Ara melupakan hari bersejarahnya tersebut.
“Ara kemana Than? Kok nggak dateng?”
Anggun muncul menghampirinya, pacar Edo. “Gue nggak tau, udah gue telpon dari
tadi tapi nggak dijawab.” raut wajah Nathan semakin tidak karuan, bukan hanya
karena cuaca siang itu yang begitu panas, tapi hatinya juga panas mengetahui
Ara belum muncul dihadapannya.
Drrttt…. Tak lama berselang, handphone
Nathan bergetar. Nama “Tante Widya” tertera di layar. “Halo Tante.” Nathan
menjawab telponnya. “Than, Ara..” Suara Tante Widya terdengar sedih. “Ara
kenapa Tante? Kenapa Ara nggak datang ke wisuda Nathan?”
“Ara kecelakaan sewaktu menuju kampus
kamu, sekarang udah masuk UGD Rumah Sakit Elizabeth. Kamu kesini ya.” ucap
Tante Widya. Seketika Nathan berlari menuju mobilnya, dia tidak peduli lagi
dengan teman-temannya yang menanyakan perihal dia segera meninggalkan kampus.
Setibanya di rumah sakit, Nathan segera
menuju UGD. Disana ibu Ara, Tante Widya sudah menunggu. “Gimana keadaan Ara
tante?” nafas Nathan terengah-engah, dia bahkan tidak sempat untuk melepas toga
yang masih dipakainya. “Kamu copot dulu aja toganya.” Nathan melihat toga yang
masih dipakainya, lalu segera dilepas, yang nampak hanya kemeja putih dan
celana hitam . Peluh membanjiri keningnya, kemeja yang dikenakannya terlihat
basah.
“Ara masih ditangani sama dokter Than,
kita berdoa aja semoga semua akan baik-baik saja.” ucap Tante Widya tenang,
namun gurat kekhawatiran tak dapat disembunyikan dari wajahnya, “kamu pasti
dari tadi nungguin Ara ya?” tanya Tante Widya saat Nathan baru saja
menghempaskan diri ke kursi tunggu. “Err.. Nathan khawatir Ara kenapa-napa
Tante.”
“Kita berdoa aja, semoga Ara baik-baik
aja. Dokter pasti lakukan yang terbaik.” Tante Widya mengelus pundak Nathan.
“Ara kecelakaan dimana tante?” Nathan menanyakan kondisi Ara, “terus tadi
gimana keadaannya?”
“Menurut saksi mata yang juga tadi
menghubungi ambulance, Ara kecelakaan di daerah Jendral Sudirman. Ada truck
yang supirnya keliatan ngantuk, terus tiba-tiba ada mobil yang mau nyalip dari
arah berlawanan. Ara persis di belakang truck itu, mungkin kaget pas lihat ada
mobil jadi trucknya ngerem mendadak.
Kepala Ara membentur dashboard mobil.”
“Ya Tuhan!” pekik Nathan cemas.
Tak lama kemudian seorang dokter keluar
dari ruang UGD. “Maaf, apa ibu kerabat dari korban kecelakaan tadi?”
“Iya Dok, saya ibunya. Bagaimana keadaan
anak saya?”
“Pasien mengalami gegar otak yang cukup
parah karena membentur dashboard mobil cukup keras. Setelah kami lakukan
pemeriksaan CT-Scan, hasilnya ternyata ada gumpalan darah beku di selaput otak,
sehingga hal tersebut mempengaruhi tingkat kesadaran dari pasien. Kemungkinan
besar pasien mengalami koma, karena pasien tidak merespon saat kami lakukan
rangsangan panca indera dan di beberapa titik sarafnya.” raut wajah dokter itu
terlihat menyesal telah mengatakannya.
“Ya Tuhan!” pekik Tante Widya, sekujur
tubuhnya terasa lemas. Dengan sigap Nathan menangkap tubuh Tante Widya yang
hampir jatuh. Nathan pun merasa dunianya seketika menjadi gelap.
6
bulan kemudian…
Suasana kamar 305 Rumah Sakit Elizabeth
terlihat sepi malam itu, mungkin karena jam bezuk telah ditutup satu jam yang
lalu. Hanya ada Nathan yang tak henti menggenggam tangan seorang gadis yang
tergolek lemah di tempat tidur, Ara. Cairan infus yang masih separuh kantong
terus menetes memberi asupan tenaga baginya. Di samping kanan tempat dia
berbaring, tampak layar monitor yang menunjukkan bahwa detak jantung masih
berfungsi sebagaimana mestinya, pertanda dia masih hidup. Sambil terus menggenggam
erat tangan Ara, dia membaca sebuah buku, lalu membenarkan kacamatanya yang
melorot. Sesekali melirik Ara, Nathan kembali membuka lembaran buku bersampul
coklat yang sebelumnya sedang dia baca. Buku harian Ara.
Kamis, 19 April 2013
Dear Diary..
Besok
adalah hari wisuda Nathan, gue udah nggak sabar buat liat dia pake toga. Gue
juga mau tampil cantik didepan Nathan, soalnya gue mau kasih surprise datang ke
wisudanya pake dress. Hihihi, nggak kebayang deh liat reaksi Nathan liat gue
nggak pake celana jeans :D
Hmm,
gue juga udah nyiapin pesta kecil-kecilan buat dia, surprise gitu ceritanya. Gue
nyiapin semua ini bareng Mama, juga Edo dan Anggun. Gue harap pesta perayaan
wisuda Nathan besok akan menyenangkan. ^_^
Nathan menitikan air mata saat membaca
lembar terakhir buku harian Ara, dia tidak menyangka bahwa Ara telah menyiapkan
semua itu untuknya. Seketika ingatannya kembali pada saat hari wisudanya.
“Nathan, kamu nggak pulang dulu?”
Nathan menoleh saat Tante Widya memasuki
kamar, dia segera mengusap air matanya. Tante Widya membawa tas yang terlihat
berat, Nathan beranjak segera membantunya. “Ntar tante, Nathan masih pingin
nemenin Ara. Tante bawa apa aja sih? Berat banget?” Kemudian Tante Widya mengeluarkan
isi dari tas tersebut,
“Tante cuma bawa beberapa pakaian ganti,
sama buah. Kamu mau nggak Than? Ntar tante kupasin.” Dia menata beberapa buah
apel dan pear di sebuah keranjang buah yang terletak di atas meja depan sofa.
Nathan langsung mencomot sebuah apel, “Nggak usah tante, enak dimakan langsung
gini.” Saat Nathan mengunyah apelnya, Tante Widya bertanya, “Kamu udah makan
malem belum?”
“Udah Tante.”
“Apa kamu nggak bosen nungguin Ara terus-terusan
kayak gini?” Nathan terhenyak mendengar pertanyaan Tante Widya. Dia membelai
anak gadisnya yang masih terpejam, matanya berkaca-kaca. Nathan merangkul
pundak Tante Widya, “Tante, sampai kapanpun Nathan mau tunggu Ara. Tante jangan
ngomong kaya gitu.”
Tante Widya menangis, “Tante tahu, tapi
kamu tahu sendiri gimana keadaan Ara kan? Udah hampir setengah tahun Ara nggak
menunjukkan tanda-tanda akan sadar dari komanya.” Nathan membelai lembut pundak
Tante Widya, lalu memandang Ara.
“Tante nggak boleh pesimis gitu, mungkin
Ara emang nggak sadar, tapi dia bisa denger kita. Kita mesti optimis kalo Ara
akan segera sadar dan berkumpul bareng kita lagi.” Nathan meyakinkan. Sebutir
kristal bening mengalir dari pelupuk mata Ara, sepertinya dia memang mendengar
dan mengerti apa yang sedang Nathan dan ibunya bicarakan. Hanya saja dia tetap
terpejam, tak bergeming.
Nathan sangat mencintai Ara, gadis berkulit
sawo matang dan berambut ikal sepunggung itu telah lama bertahta di hatinya.
Mereka berdua bersahabat sejak SMA, dan bertemu kembali selepas Ara
menyelesaikan pendidikan Diploma nya. Nathan yang tidak menyangka bisa bertemu
lagi dengan Ara, lama-kelamaan menyadari bahwa hatinya mulai tertambat pada
gadis itu. Pembawaan Ara yang ceria, cerewet, dan ramah menjadikan Nathan yang
agak pendiam merasa lengkap. Satu tahun sebelum wisuda, Nathan mengutarakan isi
hatinya. Gayung pun bersambut, Ara juga memiliki perasaan yang sama pada
Nathan. Hanya saja, rencana lamaran mereka harus tertunda karena Ara mengalami
kecelakaan dan koma. Nathan telah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia akan
menunggu sampai Ara sadar dari komanya.
Setelah menenangkan Tante Widya, Nathan
kembali duduk di samping Ara. Menggenggam erat tangannya, lalu berbisik, “Aku
menunggumu, aku mohon segeralah kembali.” Nathan yakin Ara bisa mendengar apa
yang dia ucapkan.
-bersambung-
-bersambung-