My Read Lists

Jumat, 15 Februari 2013

Set Fire To The Rain

Suasana kampus malam ini masih seperti biasa, banyak mahasiswa yang berlalu lalang. Ada yang mungkin sedang mempersiapkan acara semacam gladi resik gitu lah. Ada yang sedang siaran di lantai 4 gedung Unit Kegiatan Mahasiswa, atau rapat di berbagai organisasi apalah itu namanya aku nggak apal. Ada juga yang mungkin sedang rapat organisasi atau cuma sekedar kongkow di pelataran gedung rektorat. Tapi paling banyak sih yang sedang menggunakan fasilitas internet gratis alias Wi-Fi. Banyak banget itu laptop bertebaran disana sini, entah apa yang sedang mereka jelajahi di dunia maya. Mungkin sedang asik chating, berjejaring sosial entah itu Facebook dan ber-cicit cuit di Twitter, download lagu atau download apa lah yang mereka butuhkan. Yang pasti ada yang lagi nyari artikel buat tugas kuliah dan aku.. Asik nulis di blog.

Ah, ku lirik jam tangan di pergelangan tangan kiri ku. Ternyata sudah jam sembilan kurang lima menit. Aku mesti pulang, nggak enak sama ibu kost kalo kemaleman. Aku matikan laptop biru kesayanganku yang sudah menemani hampir 3 tahun ini, dan ku masukkan ke tas gendong hitam.

***

3 hari yang lalu..

"Ihh,, kucingnya lucu bangeet. Persis kaya celengan.."

Aku memekik seperti biasa, saat melihat makhluk lucu bernama kucing. Kali ini si kucing yang ku temui adalah saat melintasi depan kantor TU fakultas pendidikan, selepas kuliah sore. Aku tidak sempat berhenti untuk sekedar mengelus bulunya yang berwarna hitam putih mengkilat, dia sedang duduk dan asyik menjilati cakarnya. Aku pun berlalu meninggalkannya.

"Ihh,, kucingnya lucu bangeet. Persis kaya celengan.."

Aku mendengar kalimat persis yang kukatakan barusan, saat aku menengok ke belakang. Aku hanya melihat tiga laki-laki yang sedang duduk, dekat posisi kucing itu berada. Entah siapa yang menirukan, mereka semua berpura-pura tidak tahu apa-apa. Menyebalkan sekali, hanya saja aku merasa laki-laki berkulit sawo matang dan tembem yang duduk ditengah itu yang meledekku barusan. Kalau saja Tara tidak segera menarik tanganku untuk segera berlalu, sudah aku datangi mereka. Hanya saja, sesaat sebelum aku melangkah pergi, ekor mataku menangkap mata laki-laki yang ku maksud tadi sedang melirikku. Awas ya kalo ketemu lagi!

***

Sudah satu minggu ini aku sering chating lewat Yahoo Messenger dengan seseorang yang mengaku mahasiswa satu kampus denganku, hanya saja dia beda jurusan. Dilihat dari fotonya, sedikit familiar. Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana ya? Nanti akan aku tanyakan.

history13: hai

cat_woman: hai. gw ky prnh liat lo deh di kmpus

history13: oh ya? dmna?

cat_woman: hmm #emoticon mikir

history13: jiah pke mikir

cat_woman: eh bentar, gue inget lo

history13: emang dr td lo amnesia?

cat_woman: gak lucu

history13: :D

cat_woman: lo yang ngledekin gw pas ada kucing di dpn kntor TU kan?

history13: hakhakhak #emoticon ketawa ngakak

cat_woman: tuh kan bener? awas lo ye klo ktmu, gw bejek2 lo! :@

history13: ye maap non, kan gw cm bcnda

cat_woman: hmm -_-

history: eniwe, gue boleh tau nama asli lo?

cat_woman: buat apa? #curiga

history13: yaelah.. gw gak bkal nyulik lo kok

cat_woman: Raihana

history13: nama panjangnya?

cat_woman: Raihanaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

history13: hmm -_-

cat_woman: Raihana Nur Fahrani

history13: nice :)

cat_woman: lo sendiri?

history13: Anggara. panggil aja gw Angga

cat_woman: ok

***

Hari hari berlalu, nggak terasa hampir mau tiga bulan aku chating sama si Angga, tapi kami belum pernah ketemuan sama sekali. Padahal kami satu kampus, how comes! Bener-bener kenal dan komunikasi di dunia maya doang. Aku juga gengsi kalo mesti minta nomer HP dia duluan. Harusnya dia dong yang punya inisiatif duluan, secara cowok gitu.
"Eh, kenapa juga jadi mikirin tuh cowok nggak jelas? Hhh, nggak penting banget!" tanpa sadar aku mengatakan hal tadi cukup keras.
"Lo sarap ya? Ngomong sendiri?" Tara menoleh, tampangnya skeptis.

"....." aku diam dan hanya menggeleng-gelengkan kepalaku dengan cepat.

"Terus kenapa?" dia terlihat penasaran, sepertinya.
"Gampang deh gue ceritain ntar, takut ntar bu dosen liatin kita." jawabku sambil memberi isyarat ke depan. Tara melirik bu dosen yang masih menerangkan soal teknik mengajar. Dia beringsut, membenarkan posisi kursinya agak sedikit menjauh dariku. Aku kembali memperhatikan bu dosen, sedang pikiranku masih berspekulasi tentang si Angga.
Kaya apa ya wujud si Angga? Aku cuma inget waktu tragedi "Kucing-Mirip-Celengan" doang, tapi masa iya sih orangnya yang tembem terus kulitnya coklat itu? Tu orang tinggi nggak yaa? Kan waktu itu dia lagi duduk, ntar jangan-jangan dia lebih pendek dari ku? Aku kembali menggeleng-gelengkan kepalaku dengan cepat.

"Hana. Why do you shake your head all the time? Are you sick?"

Jegeeeeeeeeerrr...!
Suara bu dosen bikin hatiku mencelos. Aku memang dari tadi tidak memperhatikan penjelasannya, kulirik Tara. Dia pura-pura tidak melihatku dan tetap memandang bu dosen. Kampret tuh anak! Ku lihat sekeliling, pandangan anak satu kelas cukup membuatku salah tingkah. Ku alihkan pandanganku ke bu dosen, "Err.. I'm okay, Ma'am."

"Are you sure? If you are sick, you can go home first to take a rest. It's okay." bu dosennya baik banget.
"No, thanks. I'm fine." jawabku meyakinkan. Lalu beliau mengangguk-angguk tanda mengerti, dan melanjutkan penjelasannya lagi. Dan aku kembali tidak memperhatikan beliau lagi. Mau gimana lagi, pikiranku bener-bener nggak konsen buat ikut kelas. Tapi mau bolos juga sayang, ntar bisa ketinggalan materi. Ehh, nggak ding. Sebenernya aku juga bisa pinjem catetannya Tara, cuma takutnya ada quiz dadakan. Bisa berabe kan?? Hhh...

***

"Hhh... nih ujan kapan berenti sih?" aku mulai uring-uringan, sudah hampir satu jam sejak ku lirik jam tanganku 5 menit yang lalu, dan titik-titik air yang turun dari langit sore ini belum menunjukkan tanda akan menghentikan guyurannya. Aku kembali beringsut, masih berteduh dan menunggu hujan reda, lebih merapat ke dinding kantor dosen, air hujan menciprati rok coklat yang kukenakan.

"Ehh, suka-suka Tuhan kali mau hujan terus apa kagak? Dunia juga punya Dia, kenape jadi lo yang sewot?"

Aku tidak menanggapi omongan Tara barusan, walaupun apa yang dia katakan itu benar. Tapi tetap saja batinku menolak mentah-mentah. Ini semua gara-gara si Angga!
Kenapa lagi-lagi tuh orang yang mesti disalahkan? Iya laahh!!
Aku nggak bakalan kaya gini kalo nggak ketemu sama dia sejak....

18 jam yang lalu..

"Lo di mana? Gue udah di kampus."


Suara Angga ternyata berat, ini kali pertama aku mendengar suaranya. Ya setelah 5 bulan yang lalu dia menanyakan nomor handphone ku, kami hanya sering berbalas pesan singkat. Kali ini, kami memutuskan untuk ketemuan, bahasa kerennya KopDar (Kopi Darat).

Kebetulan malam hari ini akan ada pementasan drama di auditorium kampus, dan salah satu pemainnya adalah temen satu kost ku, Hera. Dia memaksaku dan seluruh teman satu kost untuk datang menonton, padahal nggak tau bagus apa nggak. Ya itung-itung bikin dia seneng aja deh, sekalian bisa ketemu si Angga. Oh ya lupa, si Angga kan lagi telpon, bentar aku jawab dulu.

"Ehh, iya bentar. Gue masih di audit nonton drama temen kost gue. Lo di sebelah mana?"
"Gue di kantin, masih browsing. Nyante aja, gue nggak lagi buru-buru inih."
"Ehmm, gitu ya? Ok deh, bentar ya nih drama tinggal dikit lagi kelar."
Klik. Kudengar sambungannya di putus. Ni drama ceritanya apaan si, bingung beneran.

10 menit kemudian dramanya selesai dengan adegan ciuman yang ditutup pake kertas dan disorot pake cahaya dari belakang sedang pencahayaan utama diredupkan, jadi keliatan kaya sillouette gitu. Nggak tau tu beneran ciuman apa nggak, bodo amat. Aku bergegas menuju kantin kampus yang jaraknya lumayan jauh dari audit, deket sama Fakultas Ekonomi. Hhh, malem-malem mesti olah raga nih...

Aku terengah-engah karena setengah berlari menuju kantin, dan disana ada beberapa orang. Well, si Angga mana sih? Aku raih handphone dan segera menghubungi nomornya. Belum sampai dia menjawab, aku melihat seorang laki-laki berkulit cokelat yang mengenakan kemeja hitam, lengannya digulung sampai siku, sedang duduk di meja berwarna hitam. Dia hendak meraih handphonenya yang menerima panggilan. Segera ku matikan panggilanku, dan menghampirinya.

"Angga."

Dia mendongak, kemudian tersenyum. Aku pun tersenyum, lalu menarik kursi dihadapannya. "Sorry ya, lama."
"Nggak papa, gimana dramanya? Bagus?"
"Err, biasa aja. Gue juga nggak ngerti gimana jalan ceritanya. Lo lagi browsing apaan?" kupandangi wajahnya, ternyata masih sama, tembem.
"Buat tugas besok." jawabnya masih memandang layar laptop.
"Emang keburu?"
"Nggak tau juga, kalo nggak selesai ya nggak usah masuk kelas." jawabnya sambil tertawa, dan kali ini mengalihkan pandanganya dari layar, memandangku.

Selama sepersekian detik aku seperti tersengat listrik tegangan 1200 volt, saat matanya bertemu pandang denganku. Aku merasakan wajahku memanas, segera aku alihkan wajahku, melirik jam. Ah, syukurlah, jam 9 kurang 10 menit.
"Ehh udah mau jam 9, gue pulang dulu ya." pamit ku.
"Hmm,, sayang banget padahal kita baru ketemu bentar. Ya udah deh, sampe ketemu lain waktu ya."

Aku meninggalkan kantin, melangkah pulang ke kost dengan memegang jantungku yang sampai saat ini interval detaknya lebih cepat dari biasanya..


Begitulah, akhirnya aku bertemu dengannya.. Angga maksudku.
Akhirnya hujan mereda, tinggal gerimis yang tersisa. Tara segera mengajakku berlalu meninggalkan kampus sore ini.


***

"Hana. Mau nggak kamu nikah sama aku?"

Pertanyaan Angga kali ini tidak hanya membuat hatiku mencelos, atau sekedar tersengat listrik tegangan tinggi seperti kali pertama bertemu pandang dengannya. Aku kaget setengah mati, kalo aku jantungan mungkin bisa mati beneran.

"Lo becanda kan?" aku masih menganggap bahwa apa yang terlontar dari mulut Angga 2 menit yang lalu adalah sebuah gurauan.
"Aku serius. Menikahlah denganku." dia menatapku lekat. Tuhan, bagaimana bisa tatapan matanya begitu membiusku?

"Gimana bisa lo ngajakin gue nikah? Sedangkan kita juga belum saling kenal satu sama lain. Oke, kita udah kenal, maksud gue selama satu tahun ini. Tapi kan, kenapa tiba-tiba gini langsung ngajakin nikah? Yang bener aja lo, ini nggak main-main tau. Maksud gue, apa kita nggak lebih baik penjajakan dulu gitu, buat mengenal satu sama lain?"
"Penjajakan? Pacaran maksudmu? Aku juga nggak main-main, apa yang aku bilang tadi beneran. Aku serius ngajak kamu nikah. Aku mau hidup sama kamu, nggak cuma sebatas pacaran, buat dosa, terus habis itu hilang nggak berbekas." dia kembali meyakinkanku.
"Kita masih kuliah. Kita belum ada yang bekerja, mau makan apa kita ntar? Lagian kita masih terlalu muda."
"22 tahun Hana, kita udah pantas untuk menikah."

"Lalu, kamu mau kasih makan aku apa?" tanpa sadar aku merubah gaya "gue-lo" dengan "aku-kamu" mengikuti gaya bicara Angga.

"Kamu percaya sama janji Tuhan kan? Kalo rezeki dua orang yang bersatu dalam ikatanNya akan selalu ada, kita hanya perlu mencarinya. Tapi kamu terima lamaranku apa tidak?" kali ini dia sedikit mendesakku.
"Err... aku belum bisa menjawabnya sekarang. Aku, err... tentu saja harus meminta ijin pada orang tuaku terlebih dahulu."
"Hmm, kamu benar. Oke, aku tunggu jawabanmu setelah kamu membicarakannya dengan orang tuamu. Perlu kamu ketahui, aku serius. Kalau kamu terima lamaranku, setelah itu aku akan mengajak kedua orang tuaku untuk datang melamar pada kedua orang tuamu."

WOW!!! Angga bener-bener serius dengan ucapannya.

***

"Maafin aku, aku nggak bisa." dengan berat hati aku menyampaikan hal ini pada Angga.
"Maksud kamu? Kamu menolak lamaranku Han?" gurat kekecewaan jelas terlihat di wajahnya.
"Orang tuaku nggak mengijinkan, mereka bilang aku mesti nyelesein kuliahku dulu, baru aku boleh nikah." saat Angga hendak mengatakan sesuatu buru-buru aku menambahkan,"Tapi ini bukan berarti aku menolak lamaranmu, hanya saja aku nggak bisa kalo mesti dalam waktu dekat ini."
"Baiklah, aku mengerti. Aku akan menunggumu Han, semampu ku." jawaban Angga menghapus segala kekhawatiranku.

***

Siang ini, matahari menunjukkan keperkasaannya lebih dari hari-hari biasanya. Buktinya saja, sekarang baru jam 11 siang, dan panasnya mungkin hampir 30 derajat celcius. Well, lupakan. Aku bukan sedang menjadi pembaca berita prakiraan cuaca atau sekilas info BMKG. Karena cuaca hari ini tidak lebih panas daripada suasana hatiku. Bagaimana tidak? Setelah lebih dari 4 bulan komunikasi kami memudar, aku kembali bertemu dengannya. Angga. Aku tidak menyalahkannya, ya atas penolakan lamarannya padaku. Hanya saja, ucapan dia akan menungguku tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan. Dia menjauhiku, persis seperti itu.

Tadi setelah aku mengajukan judul skripsi ke dosen pembimbing, secara tidak sengaja aku melihatnya melintas dengan membawa secarik kertas. Aku sedang duduk di teras kantor TU, dan dia bolak balik masuk ruangan TU, entah sedang mengurus apa. Setahuku dia memang sudah wisuda sekitar 2 minggu yang lalu, tapi entahlah. Dia sama sekali tidak mengabariku tentang perhelatan akbar kelulusan kampusnya itu, aku kecewa? Jelas. Akhirnya, dia menyadari keberadaanku pada saat itu. Melihat sorot matanya saja aku tahu bahwa dia ingin bicara denganku.

"Gimana kabarmu?" yayayaya, dia berbasa-basi (busuk).
"Baik." jawabku singkat. "Oh ya, selamat buat wisudanya kemarin." kalimat tadi cepat kutambahkan, saat kami cukup lama berdiam diri.
"Hmm... gimana praktek ngajarnya?" dia kembali berbasa-basi, mungkin dia bingung harus mengawali obrolan darimana setelah lama kami tidak bertegur sapa.
"Lumayan."
"Lumayan asyik apa lumayan nggak?"
"Ya begitulah.." aku masih menjawab dengan singkat. Ayolah, nggak usah basa-basi lagi kenapa? To the point aja gitu kamu mau minta maaf. Gampang kaaan??? Ucapku dalam hati.
"Han, maafin aku." Naaahh, dari tadi gitu ngapa?
"Maaf untuk apa?"

"Maaf, aku udah nggak bisa nunggu kamu lagi."

Petir di siang bolong menyambarku!
Tegangan listriknya luar biasa, melebihi saat dia memandangku, atau saat melamarku. Maksudnya apa coba?

"Maksudmu apa?" Aku berusaha menenangkan diri, kembali mencerna apa yang Angga barusan katakan.
"Aku... balikan sama mantanku." aku hanya tersenyum sinis mendengar pernyataannya.
"Mantan? Well, selamat kalo gitu." aku mengulurkan tangan, tapi dia hanya memandangi tanganku yang bersinggungan dengan udara. Sepertinya dia tidak akan menyambut uluran tanganku, baiklah. Kuturunkan tanganku.

"Maaf kalo aku nggak bisa menunggu kamu lebih lama lagi. Karena kamu nggak kasih aku kepastian. Karena kamu..."

"Kepastian kamu bilang?" aku memotong kalimatnya. "Dulu yang bilang nggak mau pacaran dulu siapa? Yang bilang mau hidup bareng sama aku siapa? Yang bilang langsung nikah sekalian siapa? Siapa hah?!" Aku tidak bisa menahan diri lagi.

"....."

"Kenapa diem aja? Nggak bisa jawab kan?"

"...." Angga hanya menunduk, dia bahkan tidak berani memandangku.

"Disaat aku udah yakin sama kamu, yakin bahwa kamu bakal nunggu aku, kamu hilang, dengan sangat-sangat perlahan. Kemana aja kamu selama ini? Setelah apa yang udah kamu lakukan sama aku, aku minta tarik lamaranmu padaku dulu." Dia memandangku, rasa perih terlihat di bola matanya.
"Itu udah jadi pilihanmu kan? Aku terima kalo itu keputusanmu. Anggap aja semua yang kita lewati nggak pernah terjadi." aku melangkah pergi meninggalkannya.

"Tunggu Han!" dia mencegahku. Aku diam, masih tetap memunggunginya. Dia mencengkeram erat pergelangan tanganku.
"Aku pinginnya sama kamu, tapi dia mendesakku. Dan kamu juga nggak kasih aku kepastian. Sedangkan dia, aku... aku sudah bertunangan dengannya." ku tepiskan pegangan tangannya. Saat aku berbalik memandangnya, aku yakin dia bisa melihat dengan jelas kilat kemarahan di mataku.
"Luar biasa." aku tidak bisa berkata-kata lagi selain itu.
"Maafkan aku Han, asal kamu mau menyusulku S2 di Surabaya, aku akan batalkan pertunanganku. Sungguh!"
"Oh ya?" jawabku sinis.
"Han, aku mohon. Selesaikan S1 mu dengan segera, susul aku S2."

Aku meninggalkannya sendirian di koridor belakang gedung perpustakaan, sedang ucapannya yang terakhir masih menggema di telingaku.

***

1 bulan kemudian...

From: Angga
Maaf, ini siapa ya?

Aku bingung dengan SMS yang Angga kirim untukku. Baru saja tadi malam kami SMS-an, kenapa dia mengirim SMS seperti ini?

To: Angga
Kamu lagi ngomong apa si?
From: Angga
Saya serius tanya, anda siapa?
Kok SMSnya byk bgt di HP suami saya.


Tuhan!
Apa lagi ini?
Suami? Suami hah?? Katanya baru tunangan? Kok suami?

To: Angga
Saya temennya Angga.
Anda siapanya Angga?


From: Angga
Temen ya?
Saya istrinya Angga.


Semuanya begitu jelas. Terlalu jelas.
SMS Angga tadi malam yang kembali meyakinkanku bahwa dia akan membatalkan pertunangannya jika aku segera menyusulnya S2, kemudian semua harapan-harapan yang dia berikan padaku..
Aku bener-bener nggak tau mesti ngomong apa lagi. Yang jelas lagu Adele yang satu ini mewakili perasaanku, dan menemaniku menangis malam ini.

Set Fire To The Rain

I let it fall, my heart,
And as it fell you rose to claim it
It was dark and I was over
Until you kissed my lips and you saved me

My hands, they're strong
But my knees were far too weak,
To stand in your arms
Without falling to your feet

But there's a side to you
That I never knew, never knew.
All the things you'd say
They were never true, never true,
And the games you play
You would always win, always win.

[Chorus:]
But I set fire to the rain,
Watched it pour as I touched your face,
Well, it burned while I cried
'Cause I heard it screaming out your name, your name!

When I lay with you
I could stay there
Close my eyes
Feel you here forever
You and me together
Nothing is better

'Cause there's a side to you
That I never knew, never knew,
All the things you'd say,
They were never true, never true,
And the games you'd play
You would always win, always win.

[Chorus:]
But I set fire to the rain,
Watched it pour as I touched your face,
Well, it burned while I cried
'Cause I heard it screaming out your name, your name!

I set fire to the rain
And I threw us into the flames
When it fell, something died
'Cause I knew that that was the last time, the last time!

Sometimes I wake up by the door,
That heart you caught must be waiting for you
Even now when we're already over
I can't help myself from looking for you.