Andai kau ijinkan
Walau sekejap memandang
Kubuktikan kepadamu
Aku memiliki rasa
Cinta yang ku pendam
Tak sempat aku nyatakan
Karena kau telah memilih
Menutup pintu hatimu
Ijinkan aku membuktikan
Inilah kesungguhan rasa
Ijinkan aku menyayangimu
Sayangku ooh
Dengarkanlah isi hatiku
Cintaku ooh
Dengarkanlah isi hatiku
Bila cinta tak menyatukan kita
Bila kita tak mungkin bersama
Ijinkan aku tetap menyayangimu
Ijinkan Aku Menyayangimu-Iwan Fals
Oktober 2008
PUTRI
"Yaah kancah muda, baru aja kita puterin tembangnya Iwan Fals yang Ijinkan Aku Menyayangimu. Tembang ini mengawali jumpa kita di sore ini, di Pop Music Rosenda FM bareng sama gue, Mona. Selama dua jam kedepan, Mona bakal puterin tembang indo paling baru buat nemenin kancah muda sore ini. Ohh ya, tembang barusan merupakan request langganan dari temen kita. Namanya Parkit, udah hampir dua minggu ini dia request nih tembang. Nggak lupa dia tisam buat temen-temen kelas sepuluh B di SMA 1 Rajawali, dan specialnya buat seseorang dengan inisial "I". Ciyeeee, ternyata si Parkit ini memendam rasa buat "I". Well, kita doain ya kancah muda semoga Parkit sama "I" bisa bersatu. Amiiin. Baiklah, kita lanjutin tembang selanjutnya, ada Samsons dengan Kenangan Terindah. Stay tune di Rosenda FM."
Terdengar lagu Kenangan Terindah mengalun, menemani aku yang sedang mengerjakan PR Matematika di ruang tamu. Aku tersenyum mendengar apa yang Mona katakan barusan, tentu saja aku mengamininya dalam hati. Semoga aja Kak Indra juga dengerin radio kalo sore-sore gini. Aku nggak tahu mesti gimana lagi buat ungkapin perasaanku selain lewat lagu yang aku request tiap sore di radio.
Indra Rakabumi, aku mengetahui namanya pas masa orientasi sekolah atau lebih dikenal dengan istilah MOS beberapa bulan yang lalu, saat aku baru merasakan pertama kali menjadi anak SMA. Dia adalah salah satu anggota OSIS di sekolah, dan tentunya salah satu anggota panitia MOS.
Perawakannya tinggi, badannya cukup proposional. Kulitnya yang sawo matang, rambutnya hitam. Ohh ya, dia memiliki tahi lalat di pipi kiri. Sebenarnya, dia bukan tipe cowok yang cakep dan suka tebar pesona macam karakter cowok yang suka ada di sinetron remaja. Dia lebih cenderung, errr... kharismatik. Ya, aku menyebutnya seperti itu.
Dia cinta pertamaku dan cinta yang kualami itu adalah cinta pada pandangan pertama. Mungkin nggak sih remaja berusia 15 tahun mengalaminya? Atau masih disebut dengan cinta monyet? Entahlah. Yang jelas, cowok yang mengikuti ekskul OSIS, PMR, Pramuka dan karate itu ternyata cukup lama bertahta di hatiku.
***
INDRA
Sudah hampir dua minggu ini aku mendapati seseorang dengan nickname Parkit di radio yang sering kudengarkan. Dia selalu meminta si penyiar untuk memutarkan lagu Ijinkan Aku Menyayangimu yang dibawakan oleh Iwan Fals. Sepertinya dia adik kelasku di sekolah, aku kira begitu. Karena dia selalu mengirimi salam untuk teman-temannya di kelas sepuluh B. Jujur aku penasaran siapa dia sebenarnya. Kadang aku berharap bahwa special salam yang dia kirimkan untuk seseorang berinisial itu adalah untukku. "I" untuk Indra Rakabumi.
***
PUTRI
"Put, ada kak Indra tuh lewat. Kayaknya dia dari mushola." si Pipit, teman sekelasku yang berkulit putih dan berambut kriwil sebahu tiba-tiba menghampiriku saat istirahat.
"Mana?" dengan antusias aku langsung keluar kelas, meninggalkan beberapa buku pelajaran tergeletak di meja.
Mataku tertuju pada sosok tinggi dan tegap Kak Indra. Dia melangkah bersama dengan beberapa temannya, seperti Kak Dita dengan tubuh suburnya, Kak Irfan yang lucu, Kak Arfan yang lumayan akrab sama aku, Kak Fajar yang cool abis, dan Kak Dika yang ikut Rohis.
"Cieee... yang lagi ngeliatin sang pujaan hati." tiba-tiba Pipit, dan Mira yang berkerudung muncul di sampingku yang masih berdiri mematung di teras kelas, mencuri pandang sosok Kak Indra yang sempat sekilas bertemu pandang denganku.
"Eh Put, Kak Indra barusan liat lo deh. Bener kan?" Mira juga menyadarinya.
"Masa sih?" aku nyengir, masih menatap punggung Kak Indra yang semakin menjauh. Melewati lapangan, menyusuri koridor dan memasuki kelasnya. Aku kembali masuk ke dalam kelas, disusul oleh Mira dan Pipit.
"Kayaknya Kak Indra udah tau lo deh Put, buktinya tadi dia juga liat lo." Pipit berspekulasi. Duduk di bangku depan meja ku, dia memang yang paling antusias mengenai masalah rasa suka ku pada Kak Indra.
"Ah, cuma sekilas doang." Aku tidak terlalu memperdulikan Pipit, kembali menekuni tugas klasifikasi Kingdom Animalia yang ada di hadapanku. Pak Karyadi bisa ngamuk kalau tugas ini belum kelar besok pagi.
"Jangan pesimis gitu dong Put. Siapa tahu Kak Indra emang bener udah tau lo, udah dengerin request lo di radio." aku tidak menyadari kehadiran Mira di sebelah kananku.
"Gue nggak mau kepedean lah Mir, takut terlalu tinggi berharap. Ehh, tau-tau nggak sesuai harapan kan sakit banget."
"Ahh lo Put, belum apa-apa udah pesimis. Emang lo nggak pingin Kak Indra tau siapa lo, kenal lo? Lo nggak pingiin sih bisa ngobrol bareng, ketawa bareng gitu?" Pipit mulai memprovokasi ku. Ku lirik Mira, dia hanya mengangguk. Sepertinya dia menyetujui pendapat Pipit.
"Gue udah bilang berapa kali sih? Gue nggak berharap kaya gitu, bisa liat Kak Indra kaya tadi aja gue udah seneng kok." aku menegaskan.
"Serius lo nggak pingin jadi pacarnya?" aku mendelik saat Pipit bertanya hal yang tak pernah sedikitpun terlintas dibenakku.
"Err, maksud gue. Apa lo nggak pingin Kak Indra tau perasaan lo yang sebenarnya?" si Pipit buru-buru meralat pertanyaannya.
Aku hanya tersenyum, lalu menggeleng. Bu Ida memasuki ruangan kelasku, aku tidak menyadari bahwa jam istirahat kedua telah selesai. Pipit dan Mira segera beringsut kembali ke tempat duduknya, dan Fira kembali di sebelahku.
***
INDRA
"Yang namanya Parkit tadi ada nggak ya di teras kelas sepuluh B? Kok gue cuma liat si Pipit, sama dua anak yang lain. Yang satu pake kerudung, yang satunya lagi rambutnya sebahu. Apa salah satu diantara mereka berdua? Mending gue tanyain aja ke si Pipit aja deh ntar sore, dia pasti tau."
Indra berkata dalam hati saat pelajaran Fisika berlangsung, menebak-nebak siapakah sosok Parkit yang sering dia dengar di radio.
"Oh, jadi nama asli si Parkit itu Putri. Yang kaya apa sih orangnya?" tanya ku pada Pipit di ruang OSIS.
"Kak
Indra tadi siang lewat samping kelasku kan? Inget nggak kalo gue
lagi bareng sama dua cewek, yang satu kerudungan, yang satu nggak."
"Iya, gue inget. Si Putri tuh yang mana?"
" Yang nggak pake, yang rambutnya ikal sebahu. Kalo yang pake kerudung namanya Mira. Emang kenapa sih Kak?"
"Errr,
nggak papa." aku menyembunyikan rasa penasaranku yang telah hilang,
ternyata nama aslinya Putri Hilda. Nama yang cantik, seperti orangnya.
***
PUTRI
"Put, kemaren Kak Indra nanya-nanya tentang lo pas lagi di ruang OSIS." kata Pipit tanpa basa basi saat sarapan di kantin sekolah pagi ini.
"Maksud..nya?" tanya ku sambil mengunyah nasi uduk.
"Kak Indra tanya, dikelas kita yang pake nickname Parkit itu siapa?" pernyataan Pipit barusan seketika membuatku tersedak. Dia memberikan segelas air putih.
"Sumpah lo dia tanya gitu?" ucapku sedikit terengah-engah.
"Iya, beneran. Tuh kan, apa gue bilang? Dia pasti dengerin radio juga. Kayaknya dia ngerasa deh kalo salam special yang lo kirim itu buat dia." cerocos Pipit.
"Terus lo jawab apa?" aku harap-harap cemas menunggu jawaban Pipit.
"Ya berhubung gue orangnya nggak bisa bohong, ya gue jawab aja kalo Parkit itu temen kelas gue yang nama aslinya Putri Hilda."
"What!" aku benar-benar terkejut mendengar jawaban Pipit. Seketika nafsu makanku menghilang, dan aku tidak berselera menghabiskan nasi uduk favoritku. Jelas sekali raut kekecewaan pada wajahku, "Kak Indra udah tau juga gue yang kaya gimana wujudnya?"
Namun Pipit dengan tampang polosnya berkata, "Emang kenapa? Gue salah ya?"
"Ya ampun Pit, Kak Indra jadi tau gue kan. Lo gimana sih? Lo kan tau gue malu kalo sampe dia tau siapa gue. Terus apa gunanya gue pake nama samaran di radio kalo gue kepengin dia tau siapa gue sebenernya." aku merasa sangat kesal pada Pipit.
"Iya juga ya?" Pipit masih memasang tampang bodohnya.
"Pake nanya lagi!" ujarku sewot.
"Ya sorry. Kan lo nggak pernah bilang buat nggak cerita sama orang lain kalo lo itu Parkit. Lo kan cuma bilang gue nggak boleh cerita sama siapa-siapa kalo lo suka sama Kak In... hmmmppphh.." seketika aku membekap mulut Pipit yang cerewet.
"Bisa nggak sih lo suaranya dikecilin dikit. Ini di kantin kali, banyak anak kelas dua belas. Ayo kita balik aja ke kelas." tanpa memperdulikan jawaban Pipit, aku langsung menyeretnya keluar kantin, setelah membayar sarapan tentunya.
Sejak saat itu, aku tidak pernah mengirim salam untuk Kak Indra di radio lagi.
***
INDRA
Sudah lama aku tidak mendengar ada request lagu dan salam di radio dari si Putri, ehh Parkit maksudku. Sejujurnya aku penasaran dengannya, dan masih berharap kalo lagu-lagu yang dia request itu buatku. Aku ingin mengenalnya, tapi aku malu. Ahh, sudahlah. Lebih baik aku konsentrasi untuk Perkemahan Pramuka besok.
***
PUTRI
Hari ini adalah perkemahan PTA atau Penerimaan Tamu Ambalan. Ya semacam perkemahan perdana buat siswa baru, tahu sendiri kan kalau siswa tahun pertama selalu diwajibkan untuk mengikuti ekstrakurikuler Pramuka. Sebenarnya sih aku tidak terlalu suka sama yang namanya Pramuka, tapi berhubung Kak Indra merupakan salah satu dari jajaran anggota Laksana, aku jadi tidak terlalu ogah-ogahan mengikutinya.
"Eh Put, kok lo pucet banget?" kata Pipit saat melihatku di apel pembukaan PTA pagi ini. Regu kami bersebelahan.
"Ah masa sih?" aku tersenyum kecut, kemudian menyeka keringat didahiku. Cuaca memang cukup panas, aku lirik jam tanganku. Sudah menunjukkan pukul 09.30. "Ini apel kapan sih selesainya?" gumamku.
"Lo mending gue anter ke belakang ya, yang agak teduh tempatnya." tawar si Pipit. Aku menggeleng.
"Lo udah sarapan kan?" tanya si Pipit. Aku kembali menggeleng, berharap dia tidak bertanya lagi. Tak lama kemudian, pandanganku menjadi gelap.
***
INDRA
"Kak, ada yang pingsan!" dari kejauhan ku lihat Pipit berteriak. Aku bergegas menghampirinya. Aku melihat ada seorang siswi yang tergeletak, suasana apel sempat menjadi tidak kondusif. Segera aku membopongnya dan membawanya ke ruang UKS.
"Tolong bawain barang-barangnya!" perintahku pada Pipit, dia menggangguk kemudian mengikutiku dari belakang.
Jarak dari tempat gadis ini pingsan menuju UKS lumayan jauh, aku mempercepat langkahku. Tanganku mulai kesemutan membopong tubuhnya, padahal dia cukup kurus. Tapi tetap saja, yang namanya orang pingsan berat tubuhnya menjadi dua kali lipat.
"Tolong bantalnya diambil Pit!" si Pipit dengan sigap menyingkirkan bantal di tempat tidur sesampainya di ruang UKS. Aku rebahkan dia, mukanya terlihat sangat pucat. Aku
melepas sepatu dan kaos kakinya. Lalu ku ambil sapu tangan di saku
celana pramuka untuk menyeka dahinya yang berkeringat. Sepertinya dia pingsan
karena kepanasan.
"Dia belum sarapan kak." kata si Pipit.
"Oh pantesan. Tolong lo ke koperasi ya, beliin roti sama air mineral. Siapa tau bentar lagi dia sadar." Aku mengambil dompet dan menyerahkan uang. Pipit segera berlalu.
Aku pandangi wajahnya, masih sangat pucat. Aku ambil minyak kayu putih, segera aku balurkan ke tangannya yang terasa dingin, dan berkeringat.
Ehh, sebentar. Bukannya gadis ini si... Parkit?? Maksudku, Putri Hilda? Ya ampuuuuun. Seketika tanganku gemetar, aku udah gendong nih cewek. Kenapa tiba-tiba hatiku jadi berdebar-debar gini?
"Ndra, lo dipanggil Fajar tuh. Apel udah selesai, biar anak ini gue yang handle." tiba-tiba Herlina muncul.
"Ehh, iya bentar. Nunggu si Pipit dulu, dia belum balik dari koperasi, gue suruh beli roti buat nih anak, belum sarapan dia." baru saja aku menjawab Herlina, Pipit muncul.
"Pit, gue balik ke lapangan dulu. Lo jagain temen lo ya, kalo udah sadar suruh makan tuh roti." perintahku seraya meninggalkan UKS.
"Kak Indra, tungguin!" saat aku menoleh, terlihat Pipit berlari mengejarku yang sedang menyusuri koridor sekolah.
"Kok temennya ditinggalin?"
"Lah gue kan ketua regu kak, kalo ditinggal ya kasihan anggota regu gue. Lagian tadi kata Mbak Lina biar dia yang ngurus."
"Oh, ya udah. Dia... si Parkit bukan sih?" tanyaku sedikit malu.
"Iya kak, emang kenapa?"
"Nggak papa, cuma nanya. Gue ke sana dulu ya." aku dan Pipit berpisah, dia kembali ke anggota regunya. Sedangkan aku segera memimpin acara selanjutnya.
***
PUTRI, satu minggu kemudian..
Ini sapu tangan siapa ya?
Warnanya biru muda, di salah satu pojoknya ada sulaman inisial "I" berwarna biru tua.
Mungkinkah ini punya Kak Indra? Ahh, aku terlalu tinggi berharap.
"Hai Put,, ehh.. lagi pegangin apaan lo barusan?" selidik Pipit saat tanpa sengaja dia mengagetkanku dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Aku refleks langsung menyembunyikan sapu tangan itu di saku rok.
"Apa itu tadi sihh?" dia masih penasaran.
"Bukan apa-apa." aku menghindar saat Pipit berusah mengambil sapu tangan itu.
"Ihh, sapu tangan ya?" aku heran bagaimana dia bisa tahu bahwa yang benda itu yang sedang kusembunyikan.
"Punya Kak Indra."
"Hah? Serius punya Kak Indra?"
"Iya, serius itu punya Kak Indra. Dia pake buat ngelap dahi lo pas lo pingsan di PTA kemaren."
"Apa? Pingsan? Yang nolongin gue pas pingsan Kak Indra?"
"Iya. Emang lo nggak tau? Gue kira Mbak Lina kemaren udah bilang." lagi-lagi Pipit hanya menunjukkan tampang bodohnya.
"Nggak, emang gimana ceritanya?" aku antusias menanyakannya. Pipit langsung nyerocos menceritakan detail kejadian Kak Indra menolongku.
***
INDRA
Apa kabar ya si Parkit? Kenapa dia udah nggak pernah request di radio lagi ya?
Ahh, kenapa tiba-tiba aku jadi memikirkannya?
Apa karena tadi siang aku ketemu dia di koperasi?
Kenapa saat bertemu aku, dia seperti melihat sesuatu yang menakutkan? Dia selalu membelalakkan mata saat menyadari kehadiranku, lalu dengan segera dia menunduk. Bahkan dia sering langsung berlari meninggalkanku.
Ahh, Parkit..Parkit.. Lo nggak tau apa kalo gue pingin banget kenalan sama lo? Kenapa juga lo mesti ngibrit tiap ketemu gue? Emang muka gue muka perampok apa?
Bodo amat ah! Mending belajar aja, udah semester 2, bentar lagi kan mau UN.
***
PUTRI
Tak terasa sudah memasuki semester kedua di jenjang SMA ini. Hasil raport kemarin, err.. tidak terlalu memuaskan. Aku mesti belajar lebih giat, apalagi semester depan kenaikan kelas dan penjurusan. Semoga saja aku bisa masuk ke jurusan Ilmu Alam seperti Kak Indra.
Err, lama juga aku tidak memikirkan Kak Indra. Ya, semenjak kejadian aku pingsan dan ditolong olehnya, aku jadi sangat malu saat bertemu dengannya. Rasanya aku tak punya nyali untuk bertemu pandang dengannya. Hingga saat ini, aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Memandangnya saat bertandang ke mushola di sebelah kelasku, saat istirahat pun aku hanya bisa memandangnya yang sedang di teras kelasnya. Bahkan aku bela-belain buat berangkat lebih pagi hanya untuk bisa melihatnya memasuki gerbang sekolah dan memarkirkan sepeda motornya. Haha, aku sampai hafal plat nomornya, B 3644 NC. Nggak penting banget ya?
Aku merasa menjadi seorang pengecut. Ya, aku tidak berani mengutarakan perasaanku yang sebenarnya. Aku hanya bisa memendamnya, memandang sapu tangan biru miliknya. Entahlah sampai kapan.
***
INDRA
Hari ini, merupakan hari yang sangat aku tunggu-tunggu. Aku benar-benar tidak menyangka, masa SMA ku telah usai. Farewell party udah didepan mata. Ya, panggung di lapangan sekolah udah dipersiapkan sejak kemarin sore. Peralatan musik siap menghentak dan memeriahkan suasana pesta perpisahan murid kelas dua belas yang sebentar lagi akan meninggalkan sekolah. Termasuk aku.
Aku, bersama dengan kawan-kawan seperjuanganku berkumpul di aula, seperti Arfan, Fajar, Dika, Dika, Irfan, Herlina, dan temen-temen organisasi lainnya. Itung-itung kumpul terakhir sebelum nantinya kami berpisah, dan akan bertemu lagi dalam waktu yang cukup lama. Jika Tuhan menghendaki tentunya.
"Ndra, ada yang nitipin souvenir nih buat lo."
Aku memandang Arfan, yang kemudian memberikan sebuah gantungan kunci berwarna tembaga, berbentuk persegi panjang. Dipermukaannya terlihat ada namaku, berwarna emas. Bagus sekali.
"Dari siapa?"
"Anak kelas sepuluh, dia udah naksir lo semenjak MOS."
"Emang siapa orangnya?" aku masih mengamati tiap detail dari gantungan kunci ini.
"Yang lo dulu tanya-tanya siapa sih yang pake nama samaran Parkit di radio." mendengar jawaban Arfan, aku tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutku.
"Putri? Yang kasih gantungan kunci ini si Putri?".
"Iya, lo udah tau nama aslinya?"
"Iya. Sekarang dia dimana?"
"Tadi sih gue liat ada di deket panggung, nggak tau sekarang. Mungkin lagi... ehh, lo mau kemana?" buru-buru aku meninggalkan Arfan sebelum dia sempat menyelesaikan perkataannya. Aku ingin segera menemuinya.
***
PUTRI
"Gue pulang dulu ya. Berisik disini." pamit ku pada Pipit, Riska dan Mira. Aku benar-benar tidak betah dengan suasana pesta perpisahan di sekolah, berisik.
"Yaaahh, kan acaranya belum kelar. Lagian siapa tahu lo dapet doorprize." Pipit mengeluh.
"Iya Put." Riska menahan tanganku.
"Gue nggak betah beneran, gue pulang dulu ya, please. Kalo gue dapet doorprize buat kalian aja, nih kuponnya." aku memberikan kupon undian ke Pipit.
"Udah, biarin si Putri pulang. Dia kayaknya udah nggak nyaman banget." Mira mendukungku.
"Ehh bentar, gantungan kunci yang lo buat udah lo kasih ke Kak Indra?" tanya Riska.
"Udah gue titipin ke Kak Arfan."
"Kenapa nggak lo kasihin secara langsung?
"Haduuuuh Ris, ketemu aja si Putri langsung ngibrit. Gimana kalo mesti ngasih tuh souvenir? Bisa-bisa si Putri pipis di celana." ejek Mira, disambut dengan tawa Riska dan Pipit.
"Sialan lo semua!" aku merengut.
"Jadi pulang duluan nggak lo? Tunggu bentar lagi ya, bentar lagi kelar kok." Riska kembali membujukku.
"Ya udah, gue ke kelas aja deh. Ketimbang disini, berisik banget suara musiknya." aku berpamitan. Mereka hanya mengangguk.
***
INDRA
Mataku mencari ke setiap penjuru dari kerumunan murid-murid di depan panggung, namun tak satupun dari mereka yang ku kenali sebagai Putri. Setelah lama aku berlalu lalang kesana kemari, aku hanya mendapati si Pipit. Segera aku menghampirinya, barangkali dia tau keberadaan Putri.
"Pit, si Putri mana?" aku menepuk bahunya, sepertinya dia dan teman-temannya terkejut akan kedatanganku.
"Errr, barusan sih pamitan mau ke kelas." jawab si Pipit.
"Oh ya udah, thanks." aku langsung meninggalkan mereka.
Saat menuju kelas sepuluh B, jantungku berdebar-debar. Ada apa ini?
Aku genggam gantungan kunci ditanganku dengan erat, tanganku berkeringat. Aku sudah didepan pintu kelas, apakah aku harus masuk? Haduh, rasanya grogi sekali.
Saat aku membuka pintu, kelasnya kosong. Aku tak mendapati satupun orang didalamnya.
Putri, kamu dimana? Aku pingin ketemu. Aku pingin ngomong sama kamu.
***
PUTRI, 7 tahun kemudian..
Aku tidak menyangka, bulan depan aku akan diwisuda. Cepat sekali rasanya melewati masa perkuliahan selama empat tahun ini. Ahh, akhirnya aku menjadi seorang sarjana. Tahun depan aku juga akan segera menikah dengan Mas Rasya.
Lama tidak membuka akun facebook, aku meraih modem dan laptopku. Hmm, ternyata banyak permintaan pertemanan, ehh... sebentar. Indra Rakabumi. Nama ini sangat ku kenal. Ada pesan juga, dari Indra Rakabumi juga. Oh My God!
Indra Rakabumi
Ini Parkit ya?
Hmm.. makasih buat gantungan kuncinya. Bagus banget.. :)
Ya Tuhan!
Kenapa dia harus muncul sekarang?
Aku membuka tas tanganku, dan sapu tangan yang dia tinggalkan dulu, masih ada.