My Read Lists

Minggu, 31 Maret 2013

Don’t You Remember-Part 1


Nathan berulang kali melakukan panggilan ke Ara, karena prosesi wisuda telah berakhir namun Ara belum kunjung menampakkan dirinya. Dia mulai gelisah, karena Ara tak biasanya mengabaikan panggilan darinya. “Ayo Ra, angkat telponnya.” gumam Nathan khawatir.
“Nathan! Sini cepetan, kita foto rame-rame.” seru Edo dari kejauhan, mau tak mau Nathan menghampiri mereka. Usai berfoto Nathan segera menghubungi Ara kembali, namun tetap saja panggilannya tidak membuahkan hasil. Ara tidak menjawab panggilan darinya. “Ara kemana sih? Kok bisa nggak jawab telponku?” Nathan mulai gusar. Amarah mulai memenuhi hatinya, berpikir bagaimana bisa Ara melupakan hari bersejarahnya tersebut.
“Ara kemana Than? Kok nggak dateng?” Anggun muncul menghampirinya, pacar Edo. “Gue nggak tau, udah gue telpon dari tadi tapi nggak dijawab.” raut wajah Nathan semakin tidak karuan, bukan hanya karena cuaca siang itu yang begitu panas, tapi hatinya juga panas mengetahui Ara belum muncul dihadapannya.
Drrttt…. Tak lama berselang, handphone Nathan bergetar. Nama “Tante Widya” tertera di layar. “Halo Tante.” Nathan menjawab telponnya. “Than, Ara..” Suara Tante Widya terdengar sedih. “Ara kenapa Tante? Kenapa Ara nggak datang ke wisuda Nathan?”
“Ara kecelakaan sewaktu menuju kampus kamu, sekarang udah masuk UGD Rumah Sakit Elizabeth. Kamu kesini ya.” ucap Tante Widya. Seketika Nathan berlari menuju mobilnya, dia tidak peduli lagi dengan teman-temannya yang menanyakan perihal dia segera meninggalkan kampus.
Setibanya di rumah sakit, Nathan segera menuju UGD. Disana ibu Ara, Tante Widya sudah menunggu. “Gimana keadaan Ara tante?” nafas Nathan terengah-engah, dia bahkan tidak sempat untuk melepas toga yang masih dipakainya. “Kamu copot dulu aja toganya.” Nathan melihat toga yang masih dipakainya, lalu segera dilepas, yang nampak hanya kemeja putih dan celana hitam . Peluh membanjiri keningnya, kemeja yang dikenakannya terlihat basah.
“Ara masih ditangani sama dokter Than, kita berdoa aja semoga semua akan baik-baik saja.” ucap Tante Widya tenang, namun gurat kekhawatiran tak dapat disembunyikan dari wajahnya, “kamu pasti dari tadi nungguin Ara ya?” tanya Tante Widya saat Nathan baru saja menghempaskan diri ke kursi tunggu. “Err.. Nathan khawatir Ara kenapa-napa Tante.”
“Kita berdoa aja, semoga Ara baik-baik aja. Dokter pasti lakukan yang terbaik.” Tante Widya mengelus pundak Nathan. “Ara kecelakaan dimana tante?” Nathan menanyakan kondisi Ara, “terus tadi gimana keadaannya?”
“Menurut saksi mata yang juga tadi menghubungi ambulance, Ara kecelakaan di daerah Jendral Sudirman. Ada truck yang supirnya keliatan ngantuk, terus tiba-tiba ada mobil yang mau nyalip dari arah berlawanan. Ara persis di belakang truck itu, mungkin kaget pas lihat ada mobil jadi trucknya ngerem mendadak.  Kepala Ara membentur dashboard mobil.”
“Ya Tuhan!” pekik Nathan cemas.
Tak lama kemudian seorang dokter keluar dari ruang UGD. “Maaf, apa ibu kerabat dari korban kecelakaan tadi?”
“Iya Dok, saya ibunya. Bagaimana keadaan anak saya?”
“Pasien mengalami gegar otak yang cukup parah karena membentur dashboard mobil cukup keras. Setelah kami lakukan pemeriksaan CT-Scan, hasilnya ternyata ada gumpalan darah beku di selaput otak, sehingga hal tersebut mempengaruhi tingkat kesadaran dari pasien. Kemungkinan besar pasien mengalami koma, karena pasien tidak merespon saat kami lakukan rangsangan panca indera dan di beberapa titik sarafnya.” raut wajah dokter itu terlihat menyesal telah mengatakannya.
“Ya Tuhan!” pekik Tante Widya, sekujur tubuhnya terasa lemas. Dengan sigap Nathan menangkap tubuh Tante Widya yang hampir jatuh. Nathan pun merasa dunianya seketika menjadi gelap.


6 bulan kemudian…

Suasana kamar 305 Rumah Sakit Elizabeth terlihat sepi malam itu, mungkin karena jam bezuk telah ditutup satu jam yang lalu. Hanya ada Nathan yang tak henti menggenggam tangan seorang gadis yang tergolek lemah di tempat tidur, Ara. Cairan infus yang masih separuh kantong terus menetes memberi asupan tenaga baginya. Di samping kanan tempat dia berbaring, tampak layar monitor yang menunjukkan bahwa detak jantung masih berfungsi sebagaimana mestinya, pertanda dia masih hidup. Sambil terus menggenggam erat tangan Ara, dia membaca sebuah buku, lalu membenarkan kacamatanya yang melorot. Sesekali melirik Ara, Nathan kembali membuka lembaran buku bersampul coklat yang sebelumnya sedang dia baca. Buku harian Ara.

Kamis, 19 April 2013

Dear Diary..
Besok adalah hari wisuda Nathan, gue udah nggak sabar buat liat dia pake toga. Gue juga mau tampil cantik didepan Nathan, soalnya gue mau kasih surprise datang ke wisudanya pake dress. Hihihi, nggak kebayang deh liat reaksi Nathan liat gue nggak pake celana jeans :D
Hmm, gue juga udah nyiapin pesta kecil-kecilan buat dia, surprise gitu ceritanya. Gue nyiapin semua ini bareng Mama, juga Edo dan Anggun. Gue harap pesta perayaan wisuda Nathan besok akan menyenangkan. ^_^

Nathan menitikan air mata saat membaca lembar terakhir buku harian Ara, dia tidak menyangka bahwa Ara telah menyiapkan semua itu untuknya. Seketika ingatannya kembali pada saat hari wisudanya.
“Nathan, kamu nggak pulang dulu?”
Nathan menoleh saat Tante Widya memasuki kamar, dia segera mengusap air matanya. Tante Widya membawa tas yang terlihat berat, Nathan beranjak segera membantunya. “Ntar tante, Nathan masih pingin nemenin Ara. Tante bawa apa aja sih? Berat banget?” Kemudian Tante Widya mengeluarkan isi dari tas tersebut,
“Tante cuma bawa beberapa pakaian ganti, sama buah. Kamu mau nggak Than? Ntar tante kupasin.” Dia menata beberapa buah apel dan pear di sebuah keranjang buah yang terletak di atas meja depan sofa. Nathan langsung mencomot sebuah apel, “Nggak usah tante, enak dimakan langsung gini.” Saat Nathan mengunyah apelnya, Tante Widya bertanya, “Kamu udah makan malem belum?”
“Udah Tante.”
“Apa kamu nggak bosen nungguin Ara terus-terusan kayak gini?” Nathan terhenyak mendengar pertanyaan Tante Widya. Dia membelai anak gadisnya yang masih terpejam, matanya berkaca-kaca. Nathan merangkul pundak Tante Widya, “Tante, sampai kapanpun Nathan mau tunggu Ara. Tante jangan ngomong kaya gitu.”
Tante Widya menangis, “Tante tahu, tapi kamu tahu sendiri gimana keadaan Ara kan? Udah hampir setengah tahun Ara nggak menunjukkan tanda-tanda akan sadar dari komanya.” Nathan membelai lembut pundak Tante Widya, lalu memandang Ara.
“Tante nggak boleh pesimis gitu, mungkin Ara emang nggak sadar, tapi dia bisa denger kita. Kita mesti optimis kalo Ara akan segera sadar dan berkumpul bareng kita lagi.” Nathan meyakinkan. Sebutir kristal bening mengalir dari pelupuk mata Ara, sepertinya dia memang mendengar dan mengerti apa yang sedang Nathan dan ibunya bicarakan. Hanya saja dia tetap terpejam, tak bergeming.
Nathan sangat mencintai Ara, gadis berkulit sawo matang dan berambut ikal sepunggung itu telah lama bertahta di hatinya. Mereka berdua bersahabat sejak SMA, dan bertemu kembali selepas Ara menyelesaikan pendidikan Diploma nya. Nathan yang tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan Ara, lama-kelamaan menyadari bahwa hatinya mulai tertambat pada gadis itu. Pembawaan Ara yang ceria, cerewet, dan ramah menjadikan Nathan yang agak pendiam merasa lengkap. Satu tahun sebelum wisuda, Nathan mengutarakan isi hatinya. Gayung pun bersambut, Ara juga memiliki perasaan yang sama pada Nathan. Hanya saja, rencana lamaran mereka harus tertunda karena Ara mengalami kecelakaan dan koma. Nathan telah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia akan menunggu sampai Ara sadar dari komanya.
Setelah menenangkan Tante Widya, Nathan kembali duduk di samping Ara. Menggenggam erat tangannya, lalu berbisik, “Aku menunggumu, aku mohon segeralah kembali.” Nathan yakin Ara bisa mendengar apa yang dia ucapkan. 

-bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar