My Read Lists

Senin, 08 April 2013

Don’t You Remember-Part 2

Sepulang kerja dari kantornya di bilangan Mampang Selatan, Nathan akan segera menuju rumah sakit, mengunjungi Ara, seperti biasa. Tangannya memegang beberapa gulungan sketsa rancangan bangunan yang sedang ia persiapkan. Walaupun baru lulus dari S1 Teknik Arsitek setengah tahun yang lalu, kemampuan Nathan tidak bisa dianggap remeh. Buktinya dia sudah bekerja sama dengan beberapa arsitek ternama di ibu kota untuk merancang proyek pembangunan masjid, rumah, atau gedung. Desain-desain Nathan yang kreatif cukup mendapat sambutan yang hangat dari klien-klien kantornya. Karir Nathan meroket dengan pesat, walaupun dia harus merawat Ara sepulang bekerja, tapi seluruh pekerjaannya selalu selesai sesuai jadwal. Para klien pun puas dengan kinerjanya.
Saat melaju menuju rumah sakit, handphone Nathan menjerit. Dia meraihnya, nama “Anggun” tertera di layar.

“Halo.” Nathan memasang headset bluetooth, lalu meletakkan handphone di jok sebelahnya. “Halo Than, lo dimana?” jawab Anggun.
“Gue lagi mau balik, biasa ke rumah sakit. Kenapa?”

“Gue ikut boleh?”
“Boleh, lo sekarang dimana? Nggak sama Edo?”
“Hmm, nggak. Lo jemput gue ya, gue tunggu.”
“OK.” Klik, Nathan menutup sambungan telponnya. “Tumben si Anggun minta dijemput sama gue? Apa mungkin lagi ada masalah sama Edo?” Nathan menduga-duga, sambil memutar balik menuju apartemen Anggun.

Anggun melambaikan tangan saat melihat sedan hitam Nathan mendekati area parkir apartemennya. Dia segera masuk ke mobil, sepertinya dia mulai tidak rela angin merusak tiap helai rambut halusnya menjadi berantakan seperti surai singa. Nathan tersenyum melihat tingkah Anggun, baru saja sepersekian detik duduk di jok mobilnya, dia mengaduk-aduk isi tas nya. Lalu mengambil kondisioner rambut tanpa bilas untuk merapikan rambutnya, setelah rambutnya dirasa cukup rapi, Anggun memakai kacamata hitamnya. Tanpa banyak komentar, Nathan segera menjalankan mobilnya menuju rumah sakit.

“Apa kabar Ara-ku sayang? Kamu makin cantik aja.” ucap Nathan sesampainya di kamar rawat Ara, membelai lembut kepala Ara. Anggun memandang apa yang Nathan lakukan, tanpa memperdulikannya dia kemudian memeluk Tante Widya yang memang sejak tadi sedang merajut di sofa.

“Kamu apa kabar? Makin cantik aja.” sapa Tante Widya setelah mencium pipi kanan dan pipi kiri Anggun. “Baik tante, ini Anggun bawain brownies buat tante.” Anggun menyerahkan sekotak brownies. Tidak terlalu banyak berbasa-basi, Anggun memang orangnya kaku. “Makasih ya, duh jadi merepotkan.” Tante Widya meletakkan brownies di meja, “kamu udah makan Than?”

“Udah tante. Tenang aja.” Nathan kembali memandang Ara, lalu menceritakan apa saja yang dia lakukan di kantor tadi. Walaupun Ara tidak bisa menanggapi, tapi Nathan sudah terbiasa menceritakan semua padanya. Tante Widya yang biasa melihat sikap Nathan pun tidak heran.

“Kamu masih sibuk pemotretan atau fashion show ya? tanya Tante Widya sambil terus merajut, kelihatanya mulai membentuk seperti sebuah sweater, berwarna abu-abu. “Hmm, bulan ini Anggun lagi minta cuti tante, capek juga nggak ada istirahatnya.” jawab Anggun, mencuri pandang pada Nathan yang masih bermonolog dengan Ara. “Hmm gitu to. Than, tante pulang dulu ya beres-beres rumah dulu kaya biasa, nyalain lampu juga. Ntar tante kesini lagi.”  pamit Tante Widya. “Iya tante, tenang aja Ara nggak bakalan ilang kok.” Nathan menanggapi dengan candaan yang membuat Tante Widya tersenyum.

“Tante pulang dulu ya Anggun, kalo mau minum itu banyak air mineral di kulkas. Ada buah juga kok.” Tante Widya berpamitan pada Anggun. “Ohh iya tante, hati-hati dijalan.” Anggun mengantar sampai pintu kamar. Begitu Tante Widya menghilang dari pandangan, Anggun mendekati Nathan, membelai pundak Nathan dengan sentuhan yang membuat Nathan tersentak.

“Anggun, lo ngagetin gue aja.” Nathan merasa risih dengan sentuhan tangan Anggun, lalu ditepiskannya dengan perlahan.

“Lo mau nyampe kapan nungguin Ara? Apa lo nggak jenuh ngomong sama Ara yang bahkan nggak nanggepin lo sama sekali?” Anggun terlihat tidak senang dengan “penolakan” Nathan. “Maksud lo apa?” dahi Nathan mengernyit, dia merasakan tangan Ara seperti tersentak.

“Ya lo liat aja deh, Ara tuh persis banget kaya mayat hidup. Nggak bisa apa lo tinggalin dia? Masa depan lo masih panjang Than, jangan lah lo sia-siain buat nungguin Ara yang nggak jelas kapan bisa sadar.” Anggun mengucapkan semuanya tanpa beban, mengibaskan rambut panjangnya.

Nathan bangun dari duduknya, “Lo kenapa sih jadi gini? Ada masalah sama Edo?” Anggun melirik Nathan dengan pandangan acuh, “Gue sama Edo udah bubar. Gue bosen sama dia, sampe sekarang nggak dapet kerjaan juga.” Nathan terhenyak mendengar pernyataan Anggun, dia sama sekali tidak menyangka, sementara Edo memang tidak menceritakan sedikitpun perihal berakhirnya hubungan mereka.

“Kapan kalian bubar?” Nathan merasa iba pada Edo. “Ah nggak penting bahas ginian Than. Mending sekarang lo pertimbangin tawaran gue, lo lebih pantes bersanding sama gue. Ketimbang sama Ara yang.. ya lo tau lah gimana. Karir lo yang bagus bisa makin bersinar kalo lo bareng sama model terkenal macam gue.” dengan pongahnya Anggun mengucapkan hal tersebut. Nathan memandang dengan ekspresi tidak percaya, bagaimana mungkin Anggun mengatakan semua itu.

“Becanda lo nggak lucu tau.” Nathan memalingkan wajahnya, memandang Ara. Dibawah alam sadar Ara, dia dapat mendengar semua percakapan Nathan dan Anggun. “Lo kenal gue dengan baik Than, apa gue tipe orang yang bisa becanda?” ucapan Anggun membuat Nathan bersyukur sahabatnya berpisah dengan wanita macam Anggun.

“Temen macam apa lo, tega ngomong kaya gitu disaat sahabat lo lagi koma kaya gini. Bukannya lo sahabat dekatnya Ara.” ucap Nathan tanpa mengalihkan pandangannya dari Ara, lalu mengusap air mata yang mengalir dari pelupuk wajahnya. “Gue tau gue jahat, tapi gue suka sama lo dari pertama gue kenal lo. Tapi kenapa lo lebih milih Ara? Apa sih bagusnya Ara? Dia nggak secantik gue, lo lebih pantes sama gue!” nada suara Anggun meninggi.

“Stop!” bentak Nathan. Anggun terkejut dengan reaksi Nathan. “Kalo lo kesini cuma mau bikin Ara sedih, lebih baik lo pergi.” Nathan mempersilakan Anggun meninggalkan ruangan.

“Tapi Than…”

“Please, Ara butuh istirahat. Gue rasa lo lebih baik pulang.” Nathan kembali duduk, tidak memandang Anggun kembali. “OK Than, kalo itu mau lo. Tapi lo mesti inget, kalo gue bener-bener suka sama lo, kalo lo berubah pikiran..”
“Sampai kapanpun gue cuma mencintai Ara.” potong Nathan sebelum Anggun menyelesaikan perkataannya.

“Nathan! Bisa nggak sih lo kasih sedikit gue kesempatan bikin lo bahagia? Gue nggak mau liat lo sedih terus-terusan dengan kondisi Ara.”

“Siapa bilang gue sedih?!” Nathan berbalik, kilat kemarahan terlihat jelas di wajahnya, “siapa bilang gue sedih hah? Nggak usah sok tau deh lo, urus aja urusan lo sendiri.” rahang Nathan mengeras.

Tiba-tiba monitor di sebelah Ara berbunyi, detak jantungnya meningkat, seketika Nathan panik. “Ra, kamu kenapa? Ara please, bertahanlah.” Tubuh Ara kejang, Anggun ikut panik. “Tolong panggilin dokter!” perintah Nathan. Tanpa banyak tanya Anggun segera keluar ruangan dan memanggil dokter dan para suster. Saat mereka datang, Nathan dan Anggun diminta untuk menunggu di luar ruangan.
“Ma… maafin gue.” sesal Anggun. “Kalo sampe terjadi sesuatu sama Ara, gue nggak bakal maafin lo!” Nathan menatap Anggun penuh kebencian.

Setengah berlari, Tante Widya tergesa-gesa menuju kamar rawat Ara. Belum sampai satu jam berada di rumah, Nathan memberi kabar bahwa Ara kolaps. “Ara kenapa Than?” Tante Widya terlihat sangat cemas. “Tubuh Ara tiba-tiba kejang tante, sekarang lagi ditangani sama dokter.” jawab Nathan merasa bersalah, disaat dia harusnya menjaga dan memastikan keadaan Ara, Ara malah mengalami hal yang tidak terduga. Nathan memandang Anggun sengit, Anggun menunduk, tak berani banyak bicara.

Dokter keluar dari kamar, “Silakan masuk, pasien sudah kami tangani. Saya sarankan agar tidak membicarakan hal-hal yang dapat membuat pasien sedih atau shock. Walaupun pasien tidak dapat merespon, namun pasien dapat mendengarnya. Kalau bisa bicarakan hal-hal yang membuatnya senang, ajak pasien mengobrol hal-hal yang membuatnya optimis, agar tingkat kesadarannya segera pulih.”

“Baik dok, terimakasih.” ucap Tante Widya dan Nathan hampir bersamaan, dokter dan suster pun meninggalkan mereka. Tante Widya merasa curiga, pasti terjadi sesuatu saat dia pulang tadi. “Ada apa Than? Apa yang kamu bicarakan sama Anggun?” mata Tante Widya menyelidik keduanya.

“Err, Anggun pamit dulu tante. Besok Anggun datang lagi. Maaf sudah mengganggu.” pamit Anggun tanpa menunggu banyak waktu, dia segera berlalu dari hadapan Tante Widya dan Nathan. Sepertinya dia ketakutan, tidak ingin diinterogasi lebih banyak lagi oleh Tante Widya.

Tante Widya merasa ada yang janggal, namun begitu Nathan langsung membimbingnya ke kamar rawat Ara. “Tadi Nathan sempat bertengkar sama Anggun, maafin Nathan.” sesal Nathan. “Bertengkar? Kalian ada masalah apa?” Tante Widya merasa heran, karena dia tahu bahwa Nathan, Ara, dan Anggun memiliki hubungan pertemanan yang baik. Kemudian Nathan menceritakan kronologi kejadiannya hingga akhirnya Ara kejang.

“Ya sudah, mungkin untuk dalam waktu dekat ini sebaiknya kalian jangan bertemu Anggun dulu. Atau lebih tepatnya jangan izinkan Anggun menemui Ara, tante khawatir dia akan membuat kondisi Ara semakin memburuk.”

“Iya tante, Nathan kira itu langkah terbaik. Maafin Nathan, kalo Nathan tau kejadiannya bakal kaya gini, Nathan nggak akan biarin Anggun jenguk Ara.”

“Siapa yang tau kalo Anggun sebenernya menaruh rasa padamu Than, mungkin dia sedang dibutakan oleh cintanya sampai-sampai dia lupa persahabatannya dengan Ara. Tante nggak nyangka dia bisa seperti itu sama Ara, padahal mereka bersahabat cukup baik selama kuliah.” Tante Widya menatap Ara yang keadaanya kembali normal.

“Nathan pasti jagain Ara sampai kapanpun tante.” Nathan menggenggam erat tangan Ara. Tante Widya tersenyum, berharap segera ada keajaiban yang membuat Ara tersadar.

***

Hari-hari berlalu seperti biasa, Nathan pulang mengunjungi dan merawat Ara di rumah sakit sepulang dari kantor. Keadaan Ara sudah kembali normal, dan Anggun belum menunjukkan kehadirannya lagi. Mungkin dia masih takut Tante Widya mengetahui keterlibatannya atas kolapsnya Ara, atau mungkin sedang sibuk pemotretan dan fashion show disana dan disini. Kali ini tiba giliran Nathan yang dikejutkan oleh Tante Widya, mengenai kondisi Ara.

“Ada apa tante? Ara kenapa?” Nathan buru-buru meletakkan tas dan beberapa pekerjaannya di sofa, memburu jawaban Tante Widya yang sedang menangis. “Dokter bilang, Ara udah nggak ada harapan lagi. Udah hampir tujuh bulan Ara nggak menunjukkan kemajuan, apalagi tanda-tanda akan sadar. Dokter menyarankan Ara untuk dibawa pulang Than.” Tante Widya tersedu.

“Kok gitu sih tante? Kalo Ara dibawa pulang, keadaan Ara bisa memburuk bukan?” cemas Nathan. “Itu juga yang tante khawatirkan, tapi tante juga udah nggak punya biaya lagi untuk perawatan Ara di rumah sakit.” Tante Widya semakin tidak bisa menahan kesedihannya, dia berlalu keluar dari kamar. Nathan tak kuasa mencegahnya, memberi kesempatan Tante Widya untuk sendiri.

Nathan menatap Ara lamat-lamat, “Kamu mau sampe kapan kaya gini Ra? Sampai kapan? Apa kamu tega biarin mama mu sedih terus tanpa kehadiranmu? Kamu tega? Lihat aku Ra! Apa kamu tega biarin aku nunggu terus kaya gini? Sampe kapan? Sampe kapan Ra?!” Tante Widya menangis, memandang Nathan yang berbicara pada Ara lewat kaca yang ada di pintu kamar.

“Aku mohon, segeralah bangun Ra. Jangan biarin aku nunggu kamu lebih lama lagi, aku udah kepingin bareng sama kamu. Siapa yang dulu bilang mau nikah sama aku? Siapa yang bilang mau hidup bareng aku, jadi ibu dari anak-anakku.”- monitor menunjukkan detak jantung Ara meningkat- “bangun Ra! Kenapa diem aja? Kamu jahat banget biarin aku bermonolog terus-terusan kaya gini!” kali ini Nathan membiarkan seluruh perasaannya tercurahkan, air mata mengalir di pipinya. Menetes, tepat di pipi Ara.


-bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar