Sepulang kerja dari kantornya di bilangan Mampang Selatan,
Nathan akan segera menuju rumah sakit, mengunjungi Ara, seperti biasa.
Tangannya memegang beberapa gulungan sketsa rancangan bangunan yang
sedang ia persiapkan. Walaupun baru lulus dari S1 Teknik Arsitek
setengah tahun yang lalu, kemampuan Nathan tidak bisa dianggap remeh.
Buktinya dia sudah bekerja sama dengan beberapa arsitek ternama di ibu
kota untuk merancang proyek pembangunan masjid, rumah, atau gedung.
Desain-desain Nathan yang kreatif cukup mendapat sambutan yang hangat
dari klien-klien kantornya. Karir Nathan meroket dengan pesat, walaupun
dia harus merawat Ara sepulang bekerja, tapi seluruh pekerjaannya selalu
selesai sesuai jadwal. Para klien pun puas dengan kinerjanya.
Saat melaju menuju rumah sakit, handphone Nathan menjerit. Dia meraihnya, nama “Anggun” tertera di layar.
“Halo.” Nathan memasang headset bluetooth, lalu meletakkan handphone di jok sebelahnya. “Halo Than, lo dimana?” jawab Anggun.
“Gue lagi mau balik, biasa ke rumah sakit. Kenapa?”
“Gue ikut boleh?”
“Boleh, lo sekarang dimana? Nggak sama Edo?”
“Hmm, nggak. Lo jemput gue ya, gue tunggu.”
“OK.”
Klik, Nathan menutup sambungan telponnya. “Tumben si Anggun minta
dijemput sama gue? Apa mungkin lagi ada masalah sama Edo?” Nathan
menduga-duga, sambil memutar balik menuju apartemen Anggun.
Anggun
melambaikan tangan saat melihat sedan hitam Nathan mendekati area
parkir apartemennya. Dia segera masuk ke mobil, sepertinya dia mulai
tidak rela angin merusak tiap helai rambut halusnya menjadi berantakan
seperti surai singa. Nathan tersenyum melihat tingkah Anggun, baru saja
sepersekian detik duduk di jok mobilnya, dia mengaduk-aduk isi tas nya.
Lalu mengambil kondisioner rambut tanpa bilas untuk merapikan rambutnya,
setelah rambutnya dirasa cukup rapi, Anggun memakai kacamata hitamnya.
Tanpa banyak komentar, Nathan segera menjalankan mobilnya menuju rumah
sakit.
“Apa kabar Ara-ku sayang? Kamu makin cantik
aja.” ucap Nathan sesampainya di kamar rawat Ara, membelai lembut kepala
Ara. Anggun memandang apa yang Nathan lakukan, tanpa memperdulikannya
dia kemudian memeluk Tante Widya yang memang sejak tadi sedang merajut
di sofa.
“Kamu apa kabar? Makin cantik aja.” sapa Tante
Widya setelah mencium pipi kanan dan pipi kiri Anggun. “Baik tante, ini
Anggun bawain brownies buat tante.” Anggun menyerahkan sekotak
brownies. Tidak terlalu banyak berbasa-basi, Anggun memang orangnya
kaku. “Makasih ya, duh jadi merepotkan.” Tante Widya meletakkan brownies
di meja, “kamu udah makan Than?”
“Udah tante. Tenang
aja.” Nathan kembali memandang Ara, lalu menceritakan apa saja yang dia
lakukan di kantor tadi. Walaupun Ara tidak bisa menanggapi, tapi Nathan
sudah terbiasa menceritakan semua padanya. Tante Widya yang biasa
melihat sikap Nathan pun tidak heran.
“Kamu masih sibuk
pemotretan atau fashion show ya? tanya Tante Widya sambil terus
merajut, kelihatanya mulai membentuk seperti sebuah sweater, berwarna
abu-abu. “Hmm, bulan ini Anggun lagi minta cuti tante, capek juga nggak
ada istirahatnya.” jawab Anggun, mencuri pandang pada Nathan yang masih
bermonolog dengan Ara. “Hmm gitu to. Than, tante pulang dulu ya
beres-beres rumah dulu kaya biasa, nyalain lampu juga. Ntar tante kesini
lagi.” pamit Tante Widya. “Iya tante, tenang aja Ara nggak bakalan
ilang kok.” Nathan menanggapi dengan candaan yang membuat Tante Widya
tersenyum.
“Tante pulang dulu ya Anggun, kalo mau minum
itu banyak air mineral di kulkas. Ada buah juga kok.” Tante Widya
berpamitan pada Anggun. “Ohh iya tante, hati-hati dijalan.” Anggun
mengantar sampai pintu kamar. Begitu Tante Widya menghilang dari
pandangan, Anggun mendekati Nathan, membelai pundak Nathan dengan
sentuhan yang membuat Nathan tersentak.
“Anggun, lo ngagetin gue aja.” Nathan merasa risih dengan sentuhan tangan Anggun, lalu ditepiskannya dengan perlahan.
“Lo
mau nyampe kapan nungguin Ara? Apa lo nggak jenuh ngomong sama Ara yang
bahkan nggak nanggepin lo sama sekali?” Anggun terlihat tidak senang
dengan “penolakan” Nathan. “Maksud lo apa?” dahi Nathan mengernyit, dia
merasakan tangan Ara seperti tersentak.
“Ya lo liat aja
deh, Ara tuh persis banget kaya mayat hidup. Nggak bisa apa lo
tinggalin dia? Masa depan lo masih panjang Than, jangan lah lo sia-siain
buat nungguin Ara yang nggak jelas kapan bisa sadar.” Anggun
mengucapkan semuanya tanpa beban, mengibaskan rambut panjangnya.
Nathan
bangun dari duduknya, “Lo kenapa sih jadi gini? Ada masalah sama Edo?”
Anggun melirik Nathan dengan pandangan acuh, “Gue sama Edo udah bubar.
Gue bosen sama dia, sampe sekarang nggak dapet kerjaan juga.” Nathan
terhenyak mendengar pernyataan Anggun, dia sama sekali tidak menyangka,
sementara Edo memang tidak menceritakan sedikitpun perihal berakhirnya
hubungan mereka.
“Kapan kalian bubar?” Nathan merasa
iba pada Edo. “Ah nggak penting bahas ginian Than. Mending sekarang lo
pertimbangin tawaran gue, lo lebih pantes bersanding sama gue. Ketimbang
sama Ara yang.. ya lo tau lah gimana. Karir lo yang bagus bisa makin
bersinar kalo lo bareng sama model terkenal macam gue.” dengan pongahnya
Anggun mengucapkan hal tersebut. Nathan memandang dengan ekspresi tidak
percaya, bagaimana mungkin Anggun mengatakan semua itu.
“Becanda
lo nggak lucu tau.” Nathan memalingkan wajahnya, memandang Ara. Dibawah
alam sadar Ara, dia dapat mendengar semua percakapan Nathan dan Anggun.
“Lo kenal gue dengan baik Than, apa gue tipe orang yang bisa becanda?”
ucapan Anggun membuat Nathan bersyukur sahabatnya berpisah dengan wanita
macam Anggun.
“Temen macam apa lo, tega ngomong kaya
gitu disaat sahabat lo lagi koma kaya gini. Bukannya lo sahabat dekatnya
Ara.” ucap Nathan tanpa mengalihkan pandangannya dari Ara, lalu
mengusap air mata yang mengalir dari pelupuk wajahnya. “Gue tau gue
jahat, tapi gue suka sama lo dari pertama gue kenal lo. Tapi kenapa lo
lebih milih Ara? Apa sih bagusnya Ara? Dia nggak secantik gue, lo lebih
pantes sama gue!” nada suara Anggun meninggi.
“Stop!”
bentak Nathan. Anggun terkejut dengan reaksi Nathan. “Kalo lo kesini
cuma mau bikin Ara sedih, lebih baik lo pergi.” Nathan mempersilakan
Anggun meninggalkan ruangan.
“Tapi Than…”
“Please,
Ara butuh istirahat. Gue rasa lo lebih baik pulang.” Nathan kembali
duduk, tidak memandang Anggun kembali. “OK Than, kalo itu mau lo. Tapi
lo mesti inget, kalo gue bener-bener suka sama lo, kalo lo berubah
pikiran..”
“Sampai kapanpun gue cuma mencintai Ara.” potong Nathan sebelum Anggun menyelesaikan perkataannya.
“Nathan!
Bisa nggak sih lo kasih sedikit gue kesempatan bikin lo bahagia? Gue
nggak mau liat lo sedih terus-terusan dengan kondisi Ara.”
“Siapa
bilang gue sedih?!” Nathan berbalik, kilat kemarahan terlihat jelas di
wajahnya, “siapa bilang gue sedih hah? Nggak usah sok tau deh lo, urus
aja urusan lo sendiri.” rahang Nathan mengeras.
Tiba-tiba
monitor di sebelah Ara berbunyi, detak jantungnya meningkat, seketika
Nathan panik. “Ra, kamu kenapa? Ara please, bertahanlah.” Tubuh Ara
kejang, Anggun ikut panik. “Tolong panggilin dokter!” perintah Nathan.
Tanpa banyak tanya Anggun segera keluar ruangan dan memanggil dokter dan
para suster. Saat mereka datang, Nathan dan Anggun diminta untuk
menunggu di luar ruangan.
“Ma… maafin gue.” sesal Anggun. “Kalo
sampe terjadi sesuatu sama Ara, gue nggak bakal maafin lo!” Nathan
menatap Anggun penuh kebencian.
Setengah berlari, Tante
Widya tergesa-gesa menuju kamar rawat Ara. Belum sampai satu jam berada
di rumah, Nathan memberi kabar bahwa Ara kolaps. “Ara kenapa Than?”
Tante Widya terlihat sangat cemas. “Tubuh Ara tiba-tiba kejang tante,
sekarang lagi ditangani sama dokter.” jawab Nathan merasa bersalah,
disaat dia harusnya menjaga dan memastikan keadaan Ara, Ara malah
mengalami hal yang tidak terduga. Nathan memandang Anggun sengit, Anggun
menunduk, tak berani banyak bicara.
Dokter keluar dari
kamar, “Silakan masuk, pasien sudah kami tangani. Saya sarankan agar
tidak membicarakan hal-hal yang dapat membuat pasien sedih atau shock.
Walaupun pasien tidak dapat merespon, namun pasien dapat mendengarnya.
Kalau bisa bicarakan hal-hal yang membuatnya senang, ajak pasien
mengobrol hal-hal yang membuatnya optimis, agar tingkat kesadarannya
segera pulih.”
“Baik dok, terimakasih.” ucap Tante
Widya dan Nathan hampir bersamaan, dokter dan suster pun meninggalkan
mereka. Tante Widya merasa curiga, pasti terjadi sesuatu saat dia pulang
tadi. “Ada apa Than? Apa yang kamu bicarakan sama Anggun?” mata Tante
Widya menyelidik keduanya.
“Err, Anggun pamit dulu
tante. Besok Anggun datang lagi. Maaf sudah mengganggu.” pamit Anggun
tanpa menunggu banyak waktu, dia segera berlalu dari hadapan Tante Widya
dan Nathan. Sepertinya dia ketakutan, tidak ingin diinterogasi lebih
banyak lagi oleh Tante Widya.
Tante Widya merasa ada
yang janggal, namun begitu Nathan langsung membimbingnya ke kamar rawat
Ara. “Tadi Nathan sempat bertengkar sama Anggun, maafin Nathan.” sesal
Nathan. “Bertengkar? Kalian ada masalah apa?” Tante Widya merasa heran,
karena dia tahu bahwa Nathan, Ara, dan Anggun memiliki hubungan
pertemanan yang baik. Kemudian Nathan menceritakan kronologi kejadiannya
hingga akhirnya Ara kejang.
“Ya sudah, mungkin untuk
dalam waktu dekat ini sebaiknya kalian jangan bertemu Anggun dulu. Atau
lebih tepatnya jangan izinkan Anggun menemui Ara, tante khawatir dia
akan membuat kondisi Ara semakin memburuk.”
“Iya tante,
Nathan kira itu langkah terbaik. Maafin Nathan, kalo Nathan tau
kejadiannya bakal kaya gini, Nathan nggak akan biarin Anggun jenguk
Ara.”
“Siapa yang tau kalo Anggun sebenernya menaruh
rasa padamu Than, mungkin dia sedang dibutakan oleh cintanya
sampai-sampai dia lupa persahabatannya dengan Ara. Tante nggak nyangka
dia bisa seperti itu sama Ara, padahal mereka bersahabat cukup baik
selama kuliah.” Tante Widya menatap Ara yang keadaanya kembali normal.
“Nathan
pasti jagain Ara sampai kapanpun tante.” Nathan menggenggam erat tangan
Ara. Tante Widya tersenyum, berharap segera ada keajaiban yang membuat
Ara tersadar.
***
Hari-hari berlalu
seperti biasa, Nathan pulang mengunjungi dan merawat Ara di rumah sakit
sepulang dari kantor. Keadaan Ara sudah kembali normal, dan Anggun belum
menunjukkan kehadirannya lagi. Mungkin dia masih takut Tante Widya
mengetahui keterlibatannya atas kolapsnya Ara, atau mungkin sedang sibuk
pemotretan dan fashion show disana dan disini. Kali ini tiba giliran
Nathan yang dikejutkan oleh Tante Widya, mengenai kondisi Ara.
“Ada
apa tante? Ara kenapa?” Nathan buru-buru meletakkan tas dan beberapa
pekerjaannya di sofa, memburu jawaban Tante Widya yang sedang menangis.
“Dokter bilang, Ara udah nggak ada harapan lagi. Udah hampir tujuh bulan
Ara nggak menunjukkan kemajuan, apalagi tanda-tanda akan sadar. Dokter
menyarankan Ara untuk dibawa pulang Than.” Tante Widya tersedu.
“Kok
gitu sih tante? Kalo Ara dibawa pulang, keadaan Ara bisa memburuk
bukan?” cemas Nathan. “Itu juga yang tante khawatirkan, tapi tante juga
udah nggak punya biaya lagi untuk perawatan Ara di rumah sakit.” Tante
Widya semakin tidak bisa menahan kesedihannya, dia berlalu keluar dari
kamar. Nathan tak kuasa mencegahnya, memberi kesempatan Tante Widya
untuk sendiri.
Nathan menatap Ara lamat-lamat, “Kamu
mau sampe kapan kaya gini Ra? Sampai kapan? Apa kamu tega biarin mama mu
sedih terus tanpa kehadiranmu? Kamu tega? Lihat aku Ra! Apa kamu tega
biarin aku nunggu terus kaya gini? Sampe kapan? Sampe kapan Ra?!” Tante
Widya menangis, memandang Nathan yang berbicara pada Ara lewat kaca yang
ada di pintu kamar.
“Aku mohon, segeralah bangun Ra.
Jangan biarin aku nunggu kamu lebih lama lagi, aku udah kepingin bareng
sama kamu. Siapa yang dulu bilang mau nikah sama aku? Siapa yang bilang
mau hidup bareng aku, jadi ibu dari anak-anakku.”- monitor menunjukkan
detak jantung Ara meningkat- “bangun Ra! Kenapa diem aja? Kamu jahat
banget biarin aku bermonolog terus-terusan kaya gini!” kali ini Nathan
membiarkan seluruh perasaannya tercurahkan, air mata mengalir di
pipinya. Menetes, tepat di pipi Ara.
-bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar